Peraih Kalpataru, Alex Waisimon menjaga cenderawasih dan hutan Papua lestari

id Alex Waisimon, Burung Cenderawasih, PON Papua

Peraih Kalpataru, Alex Waisimon menjaga cenderawasih dan hutan Papua lestari

Alex Waisimon, pelestari hutan adat dan pemiik sekaligus pengelola Isyo Hills Bird Watching di Rhepang Muaif, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, pada 5 Oktober 2021, memandu tim ANTARA mengintip kemunculan burung cenderawasih yang ikonik yang hanya muncul setiap pagi dan sore. (ANTARA/Jafar Sidik)

Jayapura (ANTARA) - Ketika Alex Waisimon memperoleh Kalpataru atas upayanya menyelamatkan lingkungan pada 2017, dia tak mau berhenti pada sebatas penghargaan.

"Saya ingin keberlanjutan," kata Alex kepada ANTARA di hutan adat kelolaannya "Isyo Hills Bird Watching" di Rhepang Muaif, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.

Alex tak berharap orang berduyun-duyun datang ke tempatnya karena dia hanya menginginkan mereka yang sungguh mencintai alam dan mempedulikan konservasi hutan beserta isinya, khususnya burung cenderawasih yang menjadi maskot PON Papua 2021.

Alex menganggap ber-massal datang malah merusak keaslian alam, apalagi tak dibarengi kepedulian kepada alam.

Dia ingin menunjukkan jika orang mencintai burung, maka nikmatilah di habitat aslinya, bukan dengan mengurungnya dalam sangkar.

Lebih dari itu, dia ingin menyelamatkan para penghuni hutan, dari penangkapan dan perusakan habitat, termasuk penebangan liar yang tetap marak walau sudah begitu banyak undang-undang dan aturan yang diterbitkan.

Lahir 19 September 1968 di Nimbokrang yang jauhnya waktu tiga jam dari kota Jayapura, Alex adalah petualang sejati.

Dia selalu ingin mencari jawaban untuk apa pun yang belum diketahuinya, sekalipun itu mengharuskan dia pergi jauh dari kampungnya.

Dan dia pergi merantau ribuan kilometer ke Jawa, segera setelah lulus SMA.

Dia nekad menyeberang lautan, melintasi selaksa pulau, mencari peruntungan dan menimba ilmu di nusa seberang, sampai berkuliah di Universitas Satwacana, Semarang.

"Saya hanya dua tahun kuliah di sana sekitar 1980-an," kata dia, usai memandu tim ANTARA memburu penampakan cenderawasih, Selasa pagi 7 Oktober lalu.

Alex lalu malang melintang di tanah yang awalnya dianggap tanah orang lain tapi kemudian dianggap tanahnya juga karena sama-sama Indonesia.

Semarang, Jakarta, Surabaya dan terakhir Bali menjadi tempat-tempat yang dia tinggali, sampai berjodoh dengan seorang perempuan jawa asal Malang di Bali yang mengkarunianya dengan empat anak.

Lalu, bekerja untuk ILO dari 2009 sampai 2014 membuat dia bepergian ke luar negeri sehingga semakin banyak ilmu dan pengetahuan yang dia serap yang akhirnya membentuk dirinya seperti sekarang.

Awalnya ditentang

Pada 2014, dia kembali ke Papua. Hatinya pedih menyaksikan kondisi hutan Papua. Ilegal logging di mana-mana, hutan tempat keluarga besarnya berada, rusak.

Dia terpanggil, lalu memutuskan pindah ke Papua. Dia bertekad mempertahankan hutannya karena itulah harta dan kekayaan yang sebenar-benarnya.

Dia kemudian menyulap hutan adat di Rhepang Muaif untuk ekowisata, dengan tujuan menjaga habitat asli fauna, khususnya cenderawasih yang ikonik itu.

Dia bujuk dan dekati kawan seiring sekampung sampai melibatkan belasan suku bergandengan mengelola hutannya.

Dia membangun kesadaran bahwa merusak hutan dan membunuh atau menangkap satwanya untuk diperjualbelikan adalah salah besar yang malah merusak identitas Papua.

Di hutannya yang seluas 200 hektar, dia dirikan spot-spot untuk mereka yang tertarik menyaksikan langsung cenderawasih di habitat aslinya.

Mulanya ide Alex tidak diterima oleh kawan seiring di tanah bunda mengandungnya. Bahkan Sandra, putri keduanya yang lahir dan besar di Bali, awalnya tak bisa membayangkan hidup di tanah leluhurnya itu.

Sandra tadinya memiliki bayangan tak terlalu meyakinkan soal Papua. "Lalu saya melihat papa masuk teve (mendapatkan penghargaan lingkungan)," kata Sandra. "Saya jadi ingin segera ke Papua.”

Tetapi mahasiswi jurusan biologi pada Universitas Cendrawasih ini tak asing dengan ide konservasi dan kepedulian kepada alam yang ditunjukkan sang ayah.

"Karena papa selalu mengajarkan kami untuk mencintai lingkungan, mulai dari hal-hal kecil seperti jangan buang sampah sembarangan," kata Sandra.

Sejawat-sejawat Alex di kampungnya juga begitu. Mereka awalnya asing dengan ide-ide konservasi, khususnya perlindungan cenderawasih.

"Sebelum Alex datang, orang cukup tembak (cenderawasih), sudah dapat 250 sampai 350 ribu. Tapi setelah ada Pak Alex kami baru tahu ternyata harganya lebih tinggi," kata Paul Wouw (60), tokoh masyarakat Rhepang Muaif.

Kini Paul melihat tiada lagi orang di daerahnya yang memburu cenderawasih. "Pak Alex telah mengajarkan anak-anak muda untuk mencintai dan melestarikan lingkungan serta melindungi semua yang ada di dalamnya," kata Paul.

Salah satu anak muda yang berubah mencintai alam gara-gara gagasan konservasi alam dari Alex adalah Daud Wouw yang berusia 20 tahun.

Daud adalah satu dari enam relawan yang menemani Alex memandu pengunjung guna mengakrabi Isyo Hills yang sebagian besar dari luar negeri.

Daud bergabung dengan Alex pada 2019 setelah dibohongi majikanya yang tak menggajinya untuk pohon-pohon yang dia tebang secara liar.

Bawa perubahan besar

Alex telah membawa perubahan besar kepada Daud, termasuk pada cara pemuda ini dalam memperlakukan alam.

"Senang sekali bekerja bersama Pak Alex. Bisa mendapatkan ilmu baru, bisa belajar bahasa Inggris, belajar burung," kata Daud di tengah perjalanan tim ANTARA berburu penampakan cenderawasih di Isyo Hills.

Daud juga berusaha menularkan pengetahuan konservasinya kepada rekan-rekan sekampung. "Saya ajak anak-anak lain naik (bukit), untuk membersihkan sampah, menyapu dan sebagainya," kata Daud.

Ajaran konservasi Alex pun pelan-pelan menular kepada yang lain, termasuk kaum muda.

Daud kini malah merasa tak habis pikir kepada orang yang masih saja memperdagangkan burung. Tetapi dia tak bisa berbuat lebih jauh.

"Sebenarnya ingin ngasih tahu, tapi tidak berani," kata Daud.

Daud dan Paul adalah dua di antara sekian banyak manusia yang terpengaruh ide-ide konservasi Alex.

Sementara yang mondok di Isyo Hills yang kebanyakan dari luar negeri, semakin deras memuji Alex. Apalagi mereka umumnya, seperti Alex, adalah pecinta lingkungan.

Bukan saja karena eksotisnya pemondokan Isyo Hilla yang walau tak bertelevisi, berpendingin ruangan dan koneksi internet yang buruk, tetapi juga oleh kesempatan besar dalam mendapatkan pengalaman menyatu dengan alam.

Yang mendatangi Iyo Hills memang pasar yang sudah tersegmen jelas, yakni orang-orang khusus yang peduli kepada lestarinya burung, satwa, dan flora.

Tak heran begitu menjejakkan kaki di tempat ini, mereka seolah menemukan nirwana, menemukan jawaban untuk mimpi mereka.

"Another nice experiment in ourl life, so many noises from bird and insects. Thanx Alex and family for the good food, stay and birdwatch," tulis Rudi dan Martina dari kota kecil di Jerman, Selgenstadt, dalam buku tamu Isyo Hills.

Semuaa terkesan oleh apa yang mereka saksikan, terutama bisa menyaksikan langsung salah satu jenis burung yang tersulit ditemukan ini, dan oleh komitmen Alex terhadap lingkungan dan idenya melindungi hutan Papua dari eksploitasi membabi buta demi profit.

"Lovely birdwatching, adventure trail and lot to see. We love this initiative and support it. Keep up the good work," tulis Oppy Magigie dari Nijmegen di Belanda.

Maka pantas jika Alex diganjar Kalpataru dan banyak lagi anugerah lingkungan.

Pantas pula idenya dihargai setinggi-tingginya dan ditiru siapa saja, apalagi saat ini alam memang terus berubah karena isinya terus dirambah padahal satwa dan fauna itu bagian vital dari paru-paru dunia yang menyelamatkan manusia.