Menelusuri jejak kejayaan komoditas gambir di Kepulauan Riau

id Jejak gambir Kepri

Menelusuri jejak kejayaan komoditas gambir di Kepulauan Riau

Jalan Gambir di Kota Tanjungpinang menjadi saksi sejarah bahwa tanaman gambir pernah menjadi komoditas ekspor pada masa lampau. ANTARA/Ogen

Tanjungpinang (ANTARA) - Barangkali tidak banyak masyarakat yang tahu kalau tanaman gambir pernah tumbuh subur dan menjadi komoditas pertanian primadona ekspor di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) di masa lampau.

Persisnya pada zaman Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Lingga yang berpusat di Pelabuhan Hulu Riau (Sungai Carang), sekarang masuk wilayah administratif Kota Tanjungpinang.

Pelabuhan Hulu Riau dalam Historiografi Indonesia seperti yang dikutip dari laman web Kebudayaan. Kemdikbud.go.id/bpnbkepri/. Adalah pelabuhan transito yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pelabuhan ini menjadi pelabuhan ekspor gambir termasuk lada.

Konon kapal-kapal dagang dari Jawa, Sulawesi, dan kerajaan Melayu sekitar dan asing, seperti Siam, Cina, Persia, Arab, Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis berlabuh dan berdagang di sana.

Ketika pusat perdagangan bergeser dari Pelabuhan Hulu Riau ke Pelantar Tanjungpinang, kini Pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP) sekitar abad ke 17. Gambir masih tetap menjadi produk penting dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor pertanian di Kepulauan Riau.

Meski pada masanya sentra gambir di Nusantara adalah Sumatera Barat dan diklaim menjadi pemasok gambir terbesar di dunia dengan persentase sebesar 80 persen.

Namun, gambir yang dihasilkan oleh Kepulauan Riau turut menyokong ekspor Indonesia ke beberapa negara seperti Bangladesh, India, Pakistan, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Prancis dan Swiss.

Ekspor gambir Kepulauan Riau sangat menjanjikan pada tahun 1820-1830 an. Tahun 1824 48.600 pikul dan naik tahun 1825 jadi 70.400 pikul. Tahun 1830, ekspor gambir dari Kepri 47.000 pikul. Tahun 1831 lebih dari 60.000 pikul. Tahun 1832 lebih dari 80.000 pikul. Gambir dikirim ke Singapura. Sebelumnya gambir dijual ke Pulau Jawa.
Kapal cepat melintasi Sungai Carang yang dulunya menjadi pusat kerajaan Johor-Riau-Pahang-Lingga. (Ogen)



Asal usul

Penulis Sejarah Kepulauan Riau Anastasia Wiwik Swastawi mengatakan salah satu sumber tertulis resmi memuat tentang gambir di Kepulauan Riau termuat di dalam kitab Tuhfat Al-Nafis, karya Sastrawan Raja Ali Haji.

Buku itu menceritakan bagaimana gambir pertama kali didatangkan dari Sumatera. Tepatnya pada tahun 1743 saat Daeng Celak sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II memimpin. Ia mengutus Punggawa Tarung dan Penghulu Jedun untuk mendapatkan bibit gambir dari Pulau Perca atau Sumatera.

Kemudian bibit gambir ditanam di Pulau Bintan (Tanjungpinang-Bintan) hingga ke Pulau Batam.

Sumber valid lainnya tercatat pada perhimpunan plakat naskah Melayu kuno. Di situ tertulis kalimat berbunyi "Bahwa yang pergi ke Pulau Cembul dan Bulang (Batam) akan membuka lada serta gambir dan di tanahku maka jangan siapa membuat haru".

Wanita akrab disapa Wiwik itu mengungkapkan saat bibit gambir pertama kali ditanam di Pulau Bintan. Ribuan pekerjanya didatangkan langsung dari China bagi menanam gambir di kebun milik Bangsawan Bugis hingga Melayu. Mereka ditempatkan di kawasan Senggarang, Tanjungpinang.

Ketika Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Johor-Riau-Pahang-Lingga) memindahkan pusat kerajaan ke Daik, Lingga pada tanggal 24 Juli 1787.

Orang-orang Tionghoa tersebut tidak ikut pindah. Mereka memilih tetap bertahan di Pulau Bintan dengan mengupayakan tanaman gambir sendiri. Mereka mulai dari menanam, mengolah sampai menjualnya sendiri ke tauke gambir.

Sampai sekarang jejak orang Tionghoa masih banyak ditemui di Senggarang.

Ini dibuktikan dengan adanya Pecinan atau kampung China yang mayoritas warganya bermukim di kawasan pesisir.

Sekitar tahun 1906-1910, menurut Wiwik, masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang menjadi konsentrasi penduduk terbesar dibanding kota lainnya di Indonesia dengan persentase sebesar 58 persen.

"Mereka dulunya memang khusus bekerja di kebun gambir," kata Wiwik.

Di Senggarang ternyata juga pernah berdiri gudang penyimpanan gambir milik seorang pedagang gambir keturunan Tionghoa bernama Ling Sing She. Dia sudah lama wafat, namun anak dan cucunya dikabarkan masih hidup dan menetap di Tanjungpinang.

Seorang tokoh masyarakat Senggarang Jo Seng (71) mengaku sempat menyaksikan bagaimana aktivitas usaha gambir yang dijalani Ling Sing She pada zaman itu. Kebetulan gudang gambir milik yang bersangkutan berada tak jauh dari rumah Jo Seng.

Menurutnya Ling Sing She menanam gambir di Engkang Anculai, Kabupaten Bintan. Setelah siap diolah, baru dibawa melalui jalur laut menggunakan pukat gambir menuju pelantar Senggarang. Gambir kemudian disimpan di dalam gudang tersebut.

"Saban hari dia menjemur gambir di atas pelantar kayu tanpa sebarang alas apapun. Setelah kering, baru dijual kepada tauke gambir," kata Jo Seng saat ditemui di kediamannya, Senggarang, Selasa (30/8).

Lebih kurang seabad berlalu, jejak keberadaan gudang gambir itu pun tidak lagi dapat dilihat. Kini lokasi itu sudah dipadati pemukiman penduduk dan menjadi ladang usaha bagi orang-orang Tionghoa.
Mereka membuka toko sembako, kedai kopi, hingga rumah makan. Saat pagi dan menjelang sore hari kawasan itu selalu tampak ramai dengan aktivitas perbelanjaan.

Jejak gambir lainnya juga diabadikan menjadi sebuah nama "Jalan Gambir". Lokasinya berada di kawasan Kota Lama dan kini menjadi salah satu satu pusat perbelanjaan bagi warga Tanjungpinang. Di kiri dan kanan Jalan Gambir banyak terdapat bangunan lama yang disulap menjadi rumah dan toko untuk berbagai aktivitas perdagangan sembako, kuliner, pakaian hingga peralatan elektronik.

Konon sekitar abad 18 hingga 19, Jalan Gambir menjadi sentra jual beli gambir antara petani dengan tauke gambir yang notabane orang-orang Tionghoa sampai tanah Jawa.

Masa keemasan hingga kemunduran

Pada abad 18 hingga 19 gambir di Kepulauan Riau sedang mencapai masa keemasan. Tanaman gambir banyak diburu oleh para pedagang dari Pulau Jawa hingga Eropa, paling banyak dari Belanda.

Orang-orang bahkan menyebut tanaman itu dengan nama Terra Japonica, karena sebelum sampai ke Eropa gambir terlebih dahulu dibawa melalui Jepang.

Peneliti Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepulauan Riau Dedi Arman menyatakan sebelum tembus pasar Eropa, pada abad ke 18 gambir juga dijual ke Pulau Jawa. Seiring munculnya Singapura, pada abad ke 19 hingga ke 20 gambir tak lagi dijual ke Pulau Jawa, melainkan Singapura melalui jalur laut.

Dalam kurun waktu 1850, kata Dedi, gambir tak dijual menurut beratnya namun menurut jumlah potongannya. Harga 10.000 potong gambir dijual 5 dollar Spanyol atau sepikul dijual 25 dollar Spanyol.

Di sisi lain, orang-orang Tionghoa yang tadinya didatangkan sebagai pekerja gambir, lambat laun tak lagi menanam sendiri. Orang-orang Tionghoa mulai menjadi pengumpul dan menjadi tauke gambir. Mereka mengumpulkan segala hasil alam masyarakat pribumi.

Pengalaman memasarkan hasil kebunnya membuka jaringan perdagangan orang-orang Tionghoa, terutama dengan pedagang-pedagang Tionghoa di Singapura. Mereka akhirnya memegang peranan penting terhadap kemajuan perdagangan gambir di Tanjungpinang.

Dalam arsip Politiek Verslag (Laporan Politik) Residentie Riouw tahun 1860. Masa-masa kejayaan produksi dan perdagangan gambir juga membawa kemakmuran baru di Tanjungpinang.

Semua itu terlihat pada jalan yang beraspal, rumah rumah yang diperbaiki dan indah serta kelenteng masyarakat Tionghoa yang dihiasi dengan indah. Hal paling penting kapal-kapal wangkang yang membawa gambir ekspor berlayar keluar masuk Tanjungpinang.

Di Tanjungpinang, masa kejayaan gambir ditandai dengan mewahnya kehidupan para tauke. Mereka memiliki dan pengguna transportasi mewah asal Jepang yang disebut rickshaw (jin rick shaw) dan kuda baru.

Peranan tauke gambir ini dalam kaitannya pembangunan di Tanjungpinang, juga dapat dilihat dengan keberadaan Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tanjungpinang. Ini rumah sakit tertua di Kepri. Cikal bakalnya telah dimulai sejak zaman Belanda, namun bukan oleh pemerintah, akan tetapi oleh sebuah perkumpulan atau kongsi para pengusaha kebun gambir, karet, dan panglong.

Namun, pada abad ke 20 bisnis gambir di Kepulauan Riau secara perlahan mulai mengalami kemunduran. Beberapa faktor jadi pemicu, antara lain permintaan dunia akan gambir menurun sehingga menyebabkan harga gambir jadi anjlok.

Dedi Arman mengatakan pada awal abad itu antusias masyarakat menanam gambir juga makin turun. Sebab, saat bersamaan muncul beberapa komoditas lain semisal karet, cengkeh dan lada.

Di sisi lain faktor kerusakan lingkungan/hutan dampak dari perluasan kebun gambir makin parah. Pengolahan gambir yang membutuhkan kayu untuk pembakaran, memicu pembabatan hutan secara besar-besaran.

Usaha gambir juga tidak lagi menjanjikan, karena biaya operasional cukup besar. Namun tak sebanding dengan pemasukan. Di sisi lain produksinya memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak.

"Akhirnya, satu per satu usaha gambir ditutup," kata Dedi Arman.

Belakangan ini usaha gambir masih dapat ditemukan Desa Kudung Lingga Timur, Kabupaten Lingga dan Kecamatan Kundur Barat, Kabupaten Karimun. Tanaman gambir diusahakan oleh keluarga orang-orang Tionghoa.

Pemilik kebun gambir di Kabupaten Lingga Acuang menyampaikan hasil gambir dari kebun dijual di kedai milik anak Mok Ciukeng di Kampung Cina, Daik Lingga. Harga gambir per kilogram senilai Rp30 ribu sampai Rp40 ribu.

Acuang tak berniat menutup operasi usaha kebun gambir, karena sudah berlangsung sejak turun temurun. Ia tetap saja khawatir jika suatu hari bisnis gambir itu akan punah bila tidak diteruskan oleh ahli keluarganya.

Maka itu, ia mulai mengajak anak-anaknya turun memanen hingga mengajarkan cara mengolah gambir dikebun miliknya. Ini demi melestarikan agar perkebunan gambir tidak lekang dimakan zaman.

Menurutnya berkebun gambir sangat rumit. Mengikuti petuah nenek moyang terdahulu, seseorang sebelum menanam gambir harus bersih bahkan mandi bunga, kalau tidak maka gambir akan sulit tumbuh.

Secara singkat, Acuang bercerita proses mengolah gambir hingga siap jual. Diawali panen atau carang, setelah itu dibawa pulang ke rumah pengolahan gambir atau disebut Bangsal.

Keesokan harinya, gambir direbus di dalam sebuah kawah besar selama kurang lebih tujuh jam. Selanjutnya gambir diangkat lalu dibekukan sekitar lima jam menggunakan sebuah wadah ember.

Lalu setelah itu gambir dipotong membentuk bulat seperti bola dan diletakkan diancak/bambu. Setelahnya dikeringkan melalui proses pengasapan, baru boleh dijemur.

“Proses produksi gambir setidaknya membutuhkan delapan orang pekerja,” ungkap Acuang.

Sementara di Kundur Barat luas kebun gambir hanya 187 hektar dan memiliki pekerja sebagai petani sebanyak 94 orang tahun 2015. Usaha perkebunan gambir di Kundur Barat juga milik pengusaha Tionghoa. Ada satu perusahaan pemilik kebun gambir di sana.

Mantan Gubernur Kepri, H. Muhammad Sani dalam bukunya Untung Sabut juga menulis potensi gambir yang ada di Kundur ini. Sejak dahulu gambir dari Kundur sudah diekspor ke Singapura. Untuk sekali ekspor mencapai 100 ton dan aktivitas ekspor itu masih berlangsung sampai saat ini, meski mengalami penurunan secara kuantitas.

Pemanfaatan gambir

Gambir atau getah gambir adalah sari yang diekstraksi dari tanaman yang juga memiliki nama gambir. Tanaman sejenis biji kopi ini memiliki segudang manfaat kesehatan bagi masyarakat Kepulauan Riau bahkan dunia industri farmasi di berbagai belahan negara dunia.

Pada zaman dulu umumnya warga perdesaan di Kepulauan Riau menggunakan gambir untuk “Nginang” atau nyirih dengan campuran buah pinang, daun sirih dan gambir.

Hal itu dilakukan karena khasiatnya yang mampu membuat napas lebih harum dan wangi, hal ini juga sekaligus membuat gambir juga sebagai bahan olesan pada gusi balita.

Meski produksi gambir tak dominan seperti Sumatera Barat, dari daerah Kepulauan Riau dikenal varietas gambir Riau. Nama Riau pada masa lampau merujuk ke Kerajaan Johor Pahang Riau Lingga yang pusatnya di Hulu Riau (Sungai Carang).

Gambir Riau dikenal dengan kualitasnya bagus karena kandungan tanin-nya yang tinggi. Perbedaan ketiga varietas gambir terdapat pada daunnya. Gambir tipe udang memiliki kelebihan dibandingkan tipe lain. Tipe ini memiliki produksi daun dan rendemen getah lebih tinggi dibandingkan tipe lain.

Dedi Arman menyatakan dalam dunia industri farmasi di Jepang, Singapura dan Swiss. Gambir digunakan untuk pengobat penyakit hati, sakit perut dan sakit gigi. Gambir juga digunakan untuk pelega tenggorokan dan mampu menetralisir nikotin.

Selain itu, gambir juga dapat mencegah diare karena gambir mengandung zat tanin. Tanin dapat digunakan untuk penawar racun alkohol dan logam.

Zaman keemasan gambir produksi Pulau Bintan itu bahkan sempat diburu oleh para saudagar pabrik kulit dari Italia. Karena, getah gambir diyakini dan terbukti dapat menjadi alat pencampur yang baik dalam proses produksi sutera dan kulit di Italia.

"Saudagar minuman keras dari jenis anggur di Perancis juga rajin berburu gambir di Bintan," ujar Dedi Arman..

Kegunaan gambir lainnya hingga sampai diburu oleh pedagang dari Eropa di antaranya karena dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan minuman keras sejenis anggur.

Selain itu, ia berguna bagi pabrik pembuatan sutera maupun perlengkapan baju militer. Untuk permintaan lokal, gambir banyak dikirim ke Aceh, Bengkulu dan Jawa. Di Jawa, getah gambir dibutuhkan dalam proses pencelupan dalam pembuatan batik, dan untuk daerah-daerah lainnya.


Mengembalikan kejayaan

Masyarakat Kepulauan Riau, apalagi generasi muda kini tak lagi familiar dengan tanaman perkebunan gambir. Kalau pun dikenal, itu pun gambir sebagai campuran makan sirih.

Padahal sejarah perkebunan gambir di Kepulauan Riau berusia panjang. Gambir di Kepulauan Riau belum pernah dikaji secara utuh dalam studi tentang sejarah ekonomi pertanian khususnya perkebunan.

Faktanya, gambir pada masa kolonial menjadi komoditi ekspor utama dari daerah ini selain lada. Dari lembar demi lembar gambir mampu mencetak banyak lapangan pekerjaan dan tentunya ikut menopang ekonomi masyarakat Kepulauan Riau.

Tapi itu cerita dahulu, sekarang orang Kepulauan Riau seakan lupa dengan gambir. Perkembangan harga gambir saat ini juga cukup bagus. Per kilogram menyentuh angka Rp30 ribu hingga Rp40 ribu.

Wiwik yang juga seorang Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang itu mendorong pemerintah daerah Kepulauan Riau kiranya dapat menggalakkan kembali penanaman gambir dengan memberdayakan lahan-lahan kosong.

Sektor ini perlu jadi perhatian utama, ketimbang pemerintah daerah sibuk ujicoba penanaman komoditas pertanian lain yang selama ini belum pernah teruji sukses.

Giat penanaman gambir perlu dibarengi dengan sosialisasi tentang pemanfaatan gambir itu sendiri dan ditopang dengan serapan pasar yang luas.

Karena harus diakui kendala yang dihadapi di era ini adalah permintaan gambir di pasaran cenderung turun. Secara logika, bagaimana mungkin produksi gambir dapat bertahan di tengah minimnya permintaan pasar.

Di sisi lain produksi gambir yang dilakukan secara tradisional memakan banyak modal, tenaga dan waktu. Akan tetapi, tidak sebanding dengan hasil keuntungan yang diperoleh para penanam gambir.

Selain itu, dewasa ini pemanfaatan gambir juga perlu dikaji kembali. Gambir harus didorong untuk produk-produk inovatif tertentu, sehingga ekosistemnya dapat terjaga.

Mengingat, beberapa produk andalan pertanian Kepulauan Riau sejak abad ke-20, seperti lada dan cengkeh di Pulau Natuna dan Anambas sampai saat ini tetap terjaga ekosistemnya untuk produk inovatif, meskipun produksinya kadang naik turun sesuai permintaan pasar.

“Misalnya, cengkeh untuk bahan minuman teh. Lada pun demikian, biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Nah kalau gambir untuk apa, itu yang perlu dikaji lagi,” ujar Wiwik.

Sedangkan kegunaan gambir, misalnya dalam konteks untuk pewarna pakaian sudah tidak lagi menjanjikan. Sebab, sudah banyak produk-produk inovatif yang lebih murah dan gampang didapatkan di pasaran.

Begitu pula jika dipakai untuk "Nginang". Secara umum, kini sudah mulai jarang ditemukan di kalangan masyarakat Kepulauan Riau apalagi kaum milenial.

Dalam kaitannnya komoditas gambir, tak ada salahnya bagi pemerintah maupun masyarakat Kepulauan Riau untuk berusaha menggali kembali potensi kejayaan masa lampau demi kesejahteraan di masa depan.