Survei IDEAS: Krisis akibat pandemi tidak turunkan konsumsi rokok

id Dompet Dhuafa, surve ideas, ideas,konsumsi rokok

Survei IDEAS: Krisis akibat pandemi tidak turunkan konsumsi rokok

Gambar ilustrasi rokok. ANTARA/HO-Dompet Dhuafa

Secara ironis, 17,9 persen dari kepala keluarga miskin dengan perokok, berstatus tidak bekerja
Lampung Timur (ANTARA) - Survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa sebanyak 77,1 persen responden dari keluarga miskin menyatakan tidak menurunkan konsumsi rokoknya selama pandemi, bahkan cenderung meningkat. 

Survei tersebut digelar di lima wilayah aglomerasi utama di Indonesia, yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek), Semarang  Raya, Surabaya Raya, Medan Raya, dan Makassar Raya. Survei dilakukan kepada 1.013 kepala keluarga miskin secara tatap muka.

Dengan berposisi sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah, sebesar 73,2 persen perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokoknya meski kondisi ekonomi menurun.

“Dengan kata lain, pengeluaran kebutuhan lain yang turun atau bahkan ditiadakan, agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Lampung Timur, Senin.

Bahkan, Yusuf menambahkan, sebanyak 39,7 persen responden mengaku rela membeli lebih mahal rokok pilihannya, yang di masa pandemi harganya meningkat. 

Namun, turunnya penghasilan secara drastis dan membuat semakin miskin, ternyata mempengaruhi perilaku perokok miskin. Sebesar 21,2 persen responden menurunkan pengeluaran rokoknya di masa pandemi, meski hal ini tidak selalu berimplikasi pada turunnya konsumsi rokok.

"Mereka di antaranya mengaku pada masa pandemi beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah. Berpindah ke rokok murah membuat perokok miskin mempertahankan kuantitas konsumsi rokoknya dengan pengeluaran yang lebih rendah,” ujar Yusuf.

Krisis tidak mampu membuat si miskin mengurangi konsumsi rokoknya, terlebih berhenti darinya. Di tengah kondisi ekonomi yang kian terpuruk pun, perokok miskin tetap keras berusaha untuk dapat terus merokok. 

“Terhempas pandemi, pengeluaran rokok rata-rata keluarga miskin turun hingga 10 persen, dari Rp406 ribu menjadi Rp364 ribu per bulan. Meski secara nominal turun, namun secara riil beban pengeluaran rokok keluarga miskin tidak menurun antara sebelum dan saat pandemi,” kata Yusuf lagi.

Dia menambahkan bahwa proporsi pengeluaran rokok pada pengeluaran utama keluarga miskin tidak berubah di kisaran 15 persen, baik sebelum maupun saat pandemi. Krisis tidak membuat keluarga miskin mengurangi beban pengeluaran rokoknya.

Dalam survei tersebut terlihat bahwa perokok di keluarga miskin didominasi laki-laki dengan posisi di keluarga sebagai ayah (suami) dan anak laki-laki, mencapai 89,4 persen responden perokok. 

“Prevalensi (jumlah) perokok di keluarga miskin rata-rata 11,3 persen, dengan konsumsi rokok rata-rata mencapai 8,6 batang per hari, dimana prevalensi perokok tertinggi adalah ayah (suami) yang mencapai 45,1 persen,” ujar Yusuf pula.

Profil keluarga miskin perokok dicirikan dengan pendidikan kepala keluarga yang rendah, lebih dari 75 persen paling tinggi hanya menamatkan SMP, dengan profesi dominan adalah berdagang, buruh bangunan, buruh lepas, dan bekerja serabutan. 

“Secara ironis, 17,9 persen dari kepala keluarga miskin dengan perokok, berstatus tidak bekerja,” ujar Yusuf.

Menurut Yusuf, bagi keluarga miskin perokok, rokok telah menjadi ‘kebutuhan dasar’, setara dengan kebutuhan pangan. Rokok adalah pengeluaran keluarga miskin yang prioritas dan signifikan, mencapai hingga Rp 400 ribu per bulan, dan tidak tergeser bahkan ketika pandemi menerpa.

“Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari, dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik,” katanya pula.

Kemampuan perokok miskin untuk terus merokok bahkan di masa pandemi, banyak terdorong oleh harga rokok yang murah, sehingga terjangkau oleh kelompok miskin dan distribusi penjualan yang masif nyaris tanpa batas, dengan sebagian besar jalur distribusi rokok dilakukan melalui jalur ritel tradisional. 

“Penjualan jalur ritel tradisional ini tidak hanya menjual rokok per bungkus, namun juga secara ‘ketengan’ (per batang), yang kian memudahkan perokok muda dan perokok termiskin sekali pun untuk tetap terus merokok,” kata Yusuf.

IDEAS merupakan lembaga think tank tentang pembangunan nasional dan kebijakan publik berbasis keindonesiaan dan keislaman yang didirikan dan bernaung di bawah Yayasan Dompet Dhuafa.

IDEAS memulai program sejak Juni 2015 dan secara resmi diluncurkan ke publik pada 23 Mei 2016, hingga kini telah melakukan berbagai riset tentang pembangunan nasional dan kebijakan publik..


TENTANG DOMPET DHUAFA
Dompet Dhuafa adalah lembaga Filantropi Islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum Dhuafa dengan pendekatan budaya melalui kegiatan filantropis (welasasih) dan wirausaha sosial. Selama 27 tahun lebih, Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi layanan bagi perkembangan umat dalam bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan kebencanaan serta CSR.
Baca juga: Di Jakarta, 61,2 persen warung rokok berada 100 meter dari area sekolah
Baca juga: Rokok bisa berdampak pada kemiskinan hingga kekerdilan