Pagi ini Prati sedang bersiap menyambut kedatangan lansia di meja penyuntikan vaksin COVID-19 di Gedung Pusat Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Kejuruan ( P2KPTK2) Jakarta Timur.
Hijab putih yang dikenakan Prati serasi dengan balutan hazmat, sarung tangan hingga masker. Jari kanannya menggenggam satu ampul kosong vaksin Sinovac yang baru saja disuntikan ke lengan salah satu peserta.
Prati tidak sendiri, ruangan tertutup berukuran sekitar 7 x 5 meter persegi diisi enam dokter yang menempati meja observasi dan lima bidan lainnya.
Kesibukan mulai terlihat saat lansia mulai berbondong-bondong mendatangi meja registrasi di lobi gedung. Tidak kurang dari 40 tenaga medis dipersiapkan oleh Puskesmas Duren Sawit untuk pelaksanaan vaksinasi bagi warga lanjut usia (lansia).
"Baru menyuntik lima orang, nih. Kelihatannya mereka antusias sekali ikut vaksinasi. Mudah-mudahan COVID-19 cepat hilang, ya," katanya saat membuka obrolan.
Satu hal terkait COVID-19 yang tidak terlupakan di benak Prati adalah peristiwa lonjakan kasus di awal Januari 2021 yang membuat sebagian besar tenaga kesehatan kelabakan.
Saat itu, pimpinan Puskesmas harus membagi waktu tenaga perawat selama 15 hari kerja dan 15 hari libur dalam sebulan. Strategi itu demi meminimalisasi penularan penyakit terhadap tenaga medis maupun keluarga.
Prati harus rela berpindah-pindah tempat kerja untuk mengisi kekosongan tenaga medis di beberapa rumah sakit maupun puskesmas di Jakarta saat sebagian besar tenaga perawat lain libur.
"Tempat merawat pasien juga berpindah-pindah. Tadinya ruang ICU, kemudian direnovasi lalu dipindah di ruang anak di rumah sakit lain di Jakarta Utara. Terus pernah juga di Rumah Sakit Duren Sawit. Tergantung permintaan aja," katanya.
Dalam setahun COVID-19 di Indonesia, Prati berharap vaksinasi bagi tenaga medis bisa melengkapi perlindungan bagi mereka terhadap serangan COVID-19 yang kerap ditularkan melalui interaksi dengan pasien.
"Saya sendiri sudah dua kali disuntik vaksin pada 11 dan 25 Februari 2021," katanya.
Harapan lain Prati kepada pemerintah adalah perlindungan secara menyeluruh, bukan hanya ketersediaan alat perlindungan, namun juga sistem kerja yang lebih baik.
Ketersediaan tenaga perawat
Pada kurun Januari-Februari 2021, penyedia jasa konsultasi kesehatan berbasis aplikasi, Halodoc, melaporkan kasus positif COVID-19 di Indonesia terus melonjak sudah menembus angka satu juta.
Lonjakan itu dipengaruhi libur panjang akhir tahun di tengah penerapan karantina parsial memasuki tatanan baru di masyarakat.
Kekhawatiran para pemimpin daerah atas lonjakan pasien COVID-19 di tengah keterbatasan tenaga maupun fasilitas kesehatan terjadi. Lonjakan jumlah pasien menuntut ketersediaan ruang isolasi maupun tenaga medis yang ideal pada rumah sakit rujukan di daerah.
"Kalau angkanya (kasus) tinggi, kita butuh tenaga baru, tenaga kesehatan ditarik dari mana-mana. Akibatnya, rumah sakit asal nakes jadi kekurangan orang. Tenaga kesehatan bekerja per institusi, tidak bisa kita tambah dari institusi lain, perlu ada perencanaan seperti tenaga cadangan dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan tenaga," kata Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadilah.
Harif mencontohkan, DKI memang memiliki banyak tenaga perawat kesehatan, namun yang telah memiliki standar kompetensi menangani COVID-19, jumlahnya masih terbatas.
Jumlah perawat yang dilaporkan oleh PPNI belum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) pada kurun 2020 diperkirakan mencapai 10 ribu orang.
Bagi Harif standar kompetensi adalah hal penting demi menghindari bertambahnya perawat yang wafat akibat tertular COVID-19, juga penanganan terhadap pasien secara optimal.
"Sampai sekarang saja, jumlah perawat yang wafat karena COVID-19 di Indonesia mencapai 264 orang dengan santunan per ahli waris berkisar Rp300 juta," ujar Harif.
Jawa Timur berada di peringkat pertama dengan jumlah 101 perawat yang wafat, Jawa Barat di posisi kedua sebanyak 28 perawat yang wafat. "Daerah terbanyak di peringkat tiga adalah DKI dan keempat Jawa Tengah," katanya.
PPNI juga menyorot sistem kerja pemerintah yang dinilai masih lemah di awal pandemi, sehingga menyulitkan koordinasi dan pelayanan perawat terhadap pasien. Padahal saat itu angka kasus masih relatif sedikit.
Namun, keterlambatan respons pemerintah cukup beralasan, mengingat COVID-19 merupakan penyakit baru di dunia kedokteran yang memiliki karakteristik khusus serta memerlukan pendekatan ilmu pengetahuan baru.
Harif menilai pelibatan relawan dalam penanganan COVID-19 berskala ringan dan sedang cukup efektif membantu beban kerja tenaga medis.
Namun, perlu juga didukung dengan pemenuhan kompetensi bagi tenaga kesehatan melalui agenda pelatihan berskala cepat dalam rangka pemenuhan pelayanan berskala darurat.
Awal pandemi
Pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di Depok, Jawa Barat, terkonfirmasi positif terinfeksi SARS-CoV-2.
Kabar itu menjadi kasus pertama yang ditemukan di Indonesia. Seorang ibu dan anaknya terjangkit virus penyebab COVID-19 memiliki riwayat berinteraksi dengan warga negara Jepang yang diketahui lebih dulu menderita penyakit yang pertama merebak di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.
Pada awal pandemi, otoritas pemerintah pusat maupun daerah terkesan gelagapan menghadapi pandemi COVID-19, walaupun kondisi serupa juga dialami lebih dari 60 negara yang bernasib sama. Keterbatasan ruang isolasi, tenaga dokter hingga perawat semakin terasa mana kala penularan semakin meluas ke berbagai kota.
Seperti yang terjadi pada April 2020, saat lonjakan kasus di Jakarta masih di kisaran angka kasus positif COVID-19 mencapai 3.397 orang, sejumlah kepala daerah berinisiatif menerapkan kebijakan karantina wilayah demi menekan antrean pasien di berbagai fasilitas kesehatan. Sebab selain berisiko terhadap penularan, juga bertujuan menjaga stabilitas pelayanan kesehatan.
Dilansir dari laporan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak kurang dari 718 tenaga kesehatan wafat akibat COVID-19 hingga 28 Februari 2021. Mereka terdiri atas perawat, dokter gigi, bidan, apoteker, hingga Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM).
Upaya memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan dilakukan melalui pemberian vaksinasi kepada 1.468.764 tenaga kesehatan yang menjadi sasaran.
Dari data tersebut, 789.966 tenaga kesehatan sudah mendapat vaksinasi dosis kedua per Selasa (23/2/2021). Sementara, tenaga kesehatan yang baru mendapatkan vaksinasi dosis pertama tercatat ada 1.269.905 orang.
Ketua Tim Mitigasi PB-IDI yang juga merupakan Ketua terpilih PB-IDI periode 2021-2024 dr Adib Khumaidi meminta pemerintah segera memperkuat sinergi pada regulasi Sistem Kesehatan Nasional yang adaptif dengan pandemi.
Sinergi dapat diperkuat melalui Puskesmas yang berkemampuan melakukan testing dan penelusuran (tracing).
Selanjutnya, penguatan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dengan mengkluster rumah sakit yang difokuskan menangani COVID-19, namun tetap juga memperhatikan penanganan yang bukan pasien COVID-19.
Sektor industri teknologi dan kesehatan juga masuk dalam skala prioritas penguatan dalam membangun kesiapan infrastruktur industri, obat, alat kesehatan, termasuk vaksin.
Sistem kesehatan nasional juga harus memperkuat kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan memberdayakan organisasi informal, khususnya perangkat RT dan RW sebagai garda terdepan, kemudian, meningkatkan ketersediaan literasi dan sumber-sumber informasi tentang COVID-19.
Perlu juga mempersiapkan petugas di tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) mengondisikan warga setempat untuk memutus penularan COVID-19.
Setahun menghadapi pandemi COVID-19, bangsa ini sudah berusaha untuk terbebas dari pandemi. Berbagai inovasi dan vaksinasi sudah dilakukan. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan sebagai upaya pencegahan.*