Penyintas pemerkosaan di Pakistan trauma saat ikuti tes "dua jari"

id korban perkosaan di Pakistan,pemerkosaan di Pakistan,tes keperawanan di Pakistan,perempuan Pakistan

Penyintas pemerkosaan di Pakistan trauma saat ikuti tes "dua jari"

Sejumlah perempuan menunjukkan berbagai tulisan saat aksi melawan pemerkosaan di Karachi, Pakistan (12/9/2020). ANTARA/REUTERS/Akhtar Soomro/aa.

Karachi (ANTARA) - Dua bulan berlalu sejak Shazia menjalani tes keperawanan untuk pemeriksaan kasus pemerkosaan di sebuah rumah sakit di Karachi, Pakistan.

Shazia, seorang penyintas pemerkosaan, diwajibkan melalui tes itu, dan ia masih trauma.

Ia terlihat mengernyitkan dahi saat menceritakan kembali pengalamannya mengikuti tes keperawanan itu. Dokter, kata Shazia, melakukan "tes dua jari" (TFT), yaitu memasukkan jari ke dalam vagina untuk mengetahui apakah korban aktif secara seksual.

"Dia memasukkan jarinya dan alat lain ke dalam tubuh saya. Saya berteriak kencang karena sakit sekali dan memintanya untuk berhenti, tetapi dia tetap melakukannya dan dengan marah mengatakan saya harus menahan sakitnya," kata Shazia, bukan nama sebenarnya.

Kalangan aktivis hak perempuan di Pakistan telah lama menuntut pemerintah agar menghentikan tes keperawanan, karena pemeriksaan itu diyakini merendahkan harkat martabat perempuan.

Para aktivis juga mengatakan riwayat hubungan seksual korban pemerkosaan tidak kaitannya dengan kejahatan yang mereka alami.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui laporannya yang terbit pada 2018 mengatakan tes itu tidak memiliki dasar ilmiah, menyakitkan, dan memalukan bagi korban. WHO mendesak negara-negara di dunia melarang tes keperawanan.

Rangkaian putusan hukum yang dibuat oleh otoritas di Pakistan memberi harapan baru bahwa tes itu akan segera distop. Putusan pengadilan terbaru yang dibacakan pada Januari 2020 menyebut tes itu ilegal.

Putusan itu menambah dukungan bagi permintaan para aktivis perempuan di Pakistan.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak Mahkamah Agung memutuskan aduan pemerkosaan tidak dapat ditolak hanya dengan mempertimbangkan hasil tes keperawanan.

Walaupun demikian, sejumlah perempuan yang bekerja di sistem penegakan hukum Pakistan mengatakan tes itu masih banyak digunakan karena kurangnya sumber daya serta banyaknya kekeliruan memahami masalah kekerasan seksual.

Summaiya Syed Tariq merupakan seorang dokter bedah di kepolisian yang telah memeriksa sejumlah penyintas di Provinsi Sindh, Pakistan, sejak 1999. Tariq pernah memeriksa korban pemerkosaan, melakukan otopsi, dan menunjukkan bukti-bukti ke pengadilan.

Ia berhenti melakukan tes dua jari sejak 2006 setelah mengetahui dampaknya terhadap korban. Ia berusaha mengedukasi pihak lain terkait masalah tersebut.

Namun dengan memiliki hanya 11 dokter perempuan yang dapat melakukan pemeriksaan terhadap korban di Karachi, kota terbesar di Pakistan yang dihuni oleh 16 juta jiwa,  Tariq mengatakan tes dua jari kerap dianggap sebagai "cara tercepat".

"Isu keperawanan, atau bagaimana 'kebiasaan' seorang perempuan dalam kemungkinan melakukan 'perbuatan' itu,  seharusnya tidak pernah jadi pertimbangan oleh para pemeriksa," kata Tariq saat dihubungi via Whatsapp.

"Pekerja seks komersial juga dapat diperkosa. Adanya tuduhan pemerkosaan seharusnya cukup untuk jadi dasar pemeriksaan dan penyelidikan. Riwayat hubungan seksual korban tidak harusnya jadi bahan pemeriksaan," kata dia menegaskan.


Hukuman ringan

Banyak organisasi pembela hak asasi manusia mengecam tes keperawanan dan menyebutnya sebagai tindakan tidak manusia dan tidak etis.

Tes itu telah dilarang di banyak negara.

Pemerintah India pada 2014 mengeluarkan panduan yang mengatakan tes itu tidak punya keterkaitan terhadap kekerasan seksual. Namun, para aktivis hak perempuan mengatakan aparat masih menggunakan tes itu untuk memeriksa korban.

Sementara itu di Afghanistan, sebuah penelitian pada tahun lalu menemukan pemeriksaan pada sistem reproduksi perempuan secara paksa masih terjadi.

Tindakan itu bertentangan dengan aturan undang-undang yang ditetapkan pada 2018, yang mewajibkan kepolisian untuk mendapatkan persetujuan pasien atau perintah dari pengadilan jika ingin melakukan pemeriksaan pada sistem reproduksi korban.  

Presiden Pakistan Arif Alvi pada Desember 2020 melarang tes keperawanan sebagai upaya memperkuat undang-undang anti kekerasan seksual. Larangan itu berlaku setelah masyarakat Pakistan menyatakan kegeraman atas kasus seorang perempuan yang diperkosa beramai-ramai.

Korban saat itu diperkosa saat ia terjebak di tengah jalan karena mobilnya kehabisan bahan bakar.

Namun, larangan itu dapat berakhir kecuali parlemen mengesahkannya jadi undang-undang.

Mirza Shahzad Akbar, penasihat perdana menteri, mengatakan rancangan undang-undang untuk melarang tes keperawanan akan diserahkan ke parlemen setelah pemilihan umum. Draf RUU akan disampaikan ke sidang majelis tinggi, yang dijadwalkan berlangsung pada 3 Maret.

Menteri Hak Asasi Manusia Pakistan Shireen Mazari menyampaikan dukungannya terhadap larangan tes keperawanan bulan lalu. Ia menyebut tes itu "merendahkan dan absurd".

Pernyataannya itu merupakan tanggapan atas putusan pengadilan tinggi di Lahore, yang menyebut tes keperawanan tidak boleh dilakukan. Hakim menyebut tes keperawanan sebagai "perbuatan memalukan yang bertujuan mencurigai korban, sementara fokus harusnya ke para pelaku".

Gugatan serupa juga dilayangkan ke pengadilan tinggi di Karachi, ibu kota Provinsi Sindh, tempat Tariq bertugas.

Ia pada tahun lalu memeriksa 100 kasus pemerkosaan secara acak di Sindh untuk mengetahui apakah tes tersebut digunakan. Ia menemukan 86 korban pemerkosaan, seperti Shazia, telah menjalani pemeriksaan seperti itu.

Shazia mengatakan dokter yang melakukan pemeriksaan itu tampak marah dan terburu-buru.

Pria yang jadi pelaku pemerkosaan masih dipenjara, tetapi korban beserta keluarganya harus menghadapi stigma buruk dari masyarakat.

Shazia menerima bantuan melalui pengacara, Asiya Munir, yang bekerja untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat War Against Rape (WAR). Ia yakin tes dua jari jadi salah satu penyebab rendahnya persentase penjatuhan hukuman pada kasus pemerkosaan.

Hanya kurang dari tiga persen kasus pemerkosaan di Pakistan dapat berlanjut ke persidangan, kata WAR, organisasi yang berkedudukan di Karachi.

"Ini sangat traumatis bagi seseorang yang telah mengalami trauma," kata Munir.

"Saya yakin pasti ada cara yang lebih martabat dan tidak memalukan bagi korban untuk mendapatkan kebenaran," kata dia menambahkan.

Sumber: Reuters