Jakarta (ANTARA) - Suhu politik di Myanmar memanas setelah muncul isu militer akan melancarkan kudeta, sehingga memaksa Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan sejumlah kedutaan besar Barat di negara itu bereaksi.
"Kami menegaskan dukungan kami kepada transisi demokratik di Myanmar dan upaya-upaya mempromosikan perdamaian, hak asasi manusia dan pembangunan di negara ini," kata negara-negara Barat itu dalam pernyataan bersama.
"Kami menantikan sidang parlemen yang damai pada 1 Februari dan pemilihan presiden dan ketua parlemen,” sambung pernyataan bersama yang ditandatangani Denmark, Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia, Swiss, Inggris, AS, Norwegia dan Selandia Baru itu.
"Kami mendesak militer dan semua pihak di negara ini agar mematuhi norma-norma demokrasi dan kami menentang setiap upaya mengubah hasil pemilu atau merintangi transisi demokrasi di Myanmar."
PBB dan Barat cemas setelah militer Myanmar mengisyaratkan akan mengambil tindakan jika keluhan mereka mengenai kecurangan dalam pemilu 8 November 2020 tidak ditanggapi oleh komisi pemilihan umum (UEC). Pernyataan ini ditafsirkan sebagai prolog untuk kudeta.
Demonstrasi pro-militer pun meletus di berbagai kota besar di Myanmar, termasuk Sabtu kemarin ketika 200 orang berdemonstrasi di Yangon guna menunjukkan dukungan kepada militer dan menentang apa yang disebut mereka intervensi asing terhadap urusan dalam negeri Myanmar.
Mereka mendesak pemerintah Aung San Suu Kyi dan UEC menjawab tudingan kecurangan pemilu tahun lalu di mana Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi memenangkan 83 persen kursi parlemen.
UEC menolak tuduhan itu dengan menyatakan ketidakwajaran yang ada tidak signifikan untuk sampai merusak kredibilitas pemilu.
Tetap saja, militer, lewat partai proksinya Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP), menuntut digelar pemilu baru yang disupervisi militer, selain menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Agung.
Hasil suara NLD memang mengusik militer karena bisa memupus jatah 25 persen kursi parlemen untuk militer seperti diamanatkan Konstitusi 2008 yang juga pintu militer untuk mengisikan orang-orangnya dalam pemerintahan.
Kekhawatiran kudeta itu kian besar setelah pada Rabu, kepada para perwira militer dalam Dewan Pertahanan Nasional lewat konferensi video, pemimpin militer Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan jika Konstitusi 2008 bentukan militer tak dipatuhi, maka konstitusi harus dicabut.
Konstitusi itu pernah direferendumkan pada April 2008. NLD memboikotnya. Partai pimpinan Suu Kyi ini juga memboikot pemilu 2010 yang digelar di bawah payung konstitusi 2008.
Konstitusi 2008 adalah peta jalan menuju demokrasi yang disusun militer yang terpaksa diadopsi karena tekanan hebat dari Barat dan janji militer membuka Myanmar kepada dunia luar.
Momen kritis untuk militer
Konstitusi 2008 salah satunya mengamanatkan militer berkuasa atas masalah-masalah nasional yang membuat mereka mendapatkan jatah 25 persen kursi parlemen dan mendudukkan para pejabat militer dalam pemerintahan.
Tetapi hasil pemilu November 2020 membuat skenario tidak relevan karena NLD memenangkan 85 persen kursi. Militer pun menghadapi krisis eksistensi dalam politik Myanmar.
Mengutip laman The Irrawaddy, para loyalis NLD sendiri menolak keras tuntutan-tuntutan militer, termasuk desakan mengadakan pemilu ulang dan membubarkan UEC.
Suu Kyi sepaham dengan kolega-koleganya, tetapi dia diyakini bakal memilih cara rekonsiliatif, apalagi selama puluhan tahun tak henti dikelilingi musuh walaupun secara tidak langsung mempromosikan prinsip perjuangan dan statusnya di dalam negeri dan di luar negeri.
Jika NLD menolak tuntutan militer, sejumlah pengamat di Myanmar meyakini militer mungkin akan mengambil salah satu dari tiga langkah berikut.
Pertama, memboikot sidang parlemen 1 Februari; kedua mengikuti sidang parlemen tetapi menolak mencalonkan menteri pertahanan, menteri dalam negeri dan menteri perbatasan (yang semuanya mesti diisi militer sesuai dengan amanat konstitusi) dalam kabinet persatuan; atau ketiga melancarkan kudeta.
Semua dari ketiga opsi ini mengkhianati kehendak rakyat dan norma demokrasi karena sama artinya menolak hasil pemilu 8 November di mana 27 juta rakyat telah menyalurkan suaranya.
Namun fakta ini tak menghilangkan godaan kudeta karena militer tengah menghadapi momen yang bisa mengakhiri kiprah mereka dalam politik Myanmar.
Myanmar sudah mengalami tiga kudeta yang menghasilkan junta militer yang berkuasa selama 51 tahun.
Dua kali kudeta pertama menghasilkan junta pimpinan Jenderal Ne Win dari 1958 sampai 1960 (dua tahun) dan 1962 sampai 1988 (26 tahun), serta kudeta terakhir menciptakan periode junta pimpinan Jenderal Saw Maung, Than Shwe dan Khin Nyunt dari 1988 sampai 2011 (23 tahun).
Kini mayoritas rakyat Myanmar menilai kudeta bukan solusi, melainkan bisa menjerumuskan negara ke jurang krisis terdalam apalagi pada masa pandemi ini di mana Myanmar makin dibelit kesulitan ekonomi.
“Kudeta militer masih segar dalam ingatan rakyat dan mereka benci mengingatnya,” kata Khin Zaw Win, analis politik dari Tampadipa Institute di Yangon.
Jurnalis dan pendiri laman The Irrawaddy, Aung Zaw, menilai militer harus berpikir dua kali sebelum melakukan hal yang bisa membawa Myanmar ke era yang disebutnya “zaman batu.” “Mereka hanya akan menggali lubang kuburnya sendiri,” kata dia.
Tetangga mencermati
Andai pun kudeta terjadi, justru bakal membuat dukungan moral dan simpati kepada Suu Kyi baik dari dalam maupun dari luar negeri makin besar, selain melesatkan citra NLD.
Tapi setelah Sekjen PBB dan Barat mengeluarkan pernyataan eksplisit meminta militer tidak merusak hasil pemilu November, militer membantah akan melakukan perebutan kekuasaan.
"Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) melindungi konstitusi 2008 dan bertindak sesuai undang-undang. Beberapa organisasi dan media telah menafsirkan sekehendak mereka dan menulis bahwa Tatmadaw akan menghapus konstitusi," kata militer Mynamar seperti dikutip Reuters.
Tetapi, U Myint Kyaw, anggota Dewan Pers Myanmar, menolak tudingan media salah menafsirkan ucapan sang panglima militer.
“Itu terjadi gara-gara tak ada saluran bagi media untuk membuat klarifikasi dengan mengajukan pertanyaan semacam, ‘Apakah ini maksud Anda?’”, kata Myint Kyaw seperti dikutip laman Th Irrawaddy.
“Seandainya wartawan punya pertanyaan, mereka terpaksa menyimpannya sampai militer menggelar konferensi pers. Para pejabat semestinya belajar bahwa saluran komunikasi biasa itu diperlukan untuk konfirmasi. Jika tidak, media akan terus dikambinghitamkan,” sambung dia.
Pernyataan Myint Kyaw ini mengisyaratkan situasi di Myanmar belum jelas benar, termasuk kemungkinan terjadi kudeta.
Yang pasti dinamika politik di Myanmar ini diawasi cermat oleh tetangga-tetangganya, termasuk dua raksasa Asia yang berbatasan dengan Myanmar; India dan China.
China berkepentingan karena selain menjadi mitra BRI (Prakarsa Sabuk dan Jalan), Myanmar menawarkan akses yang mempersingkat rute ke Samudera Hindia yang selama ini harus menyusuri dulu Selat Malaka dan Laut China Selatan dengan cukup melalui pantai Myanmar yang memang berada di tepi Samudera Hindia. Selain karena wilayah pantai Myanmar menyimpan energi untuk dieksploitasi.
India yang bersengketa dengan China di perbatasan mereka, menganggap Myanmar pasar penting dan pintu masuk ke Asia Tenggara dan Asia Timur.
Sedangkan Jepang berusaha keras menjauhkan Myanmar dari China dengan mengguyur investasi masif ke negeri itu. Rusia juga berkepentingan, yang dalam hal ini dengan militer Myanmar karena menjadi pasar untuk produk pertahanannya.
AS, Inggris dan Uni Eropa juga bermain dalam bungkus demokrasi, kendati belakangan, seperti umumnya Asia Tenggara, Myanmar mendekat ke China karena tak kuasa melawan banjir modal dari negara ini.
ASEAN yang memiliki riwayat panjang untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota-anggotanya, sepertinya menginginkan hasil pemilu dihormati yang dengan demikian berharap kudeta tidak terjadi sehingga stabilitas Mynamar tidak terganggu karena dampaknya bisa lintas perbatasan ke Asia Tenggara.