Jakarta (ANTARA) - Pemilu Amerika Serikat tengah memasuki hari-hari menentukan setelah menyelesaikan debat calon presiden yang terakhir pada 23 Oktober di Tennessee.
Petahana Donald Trump tampil lebih baik dibandingkan dengan debat pertama, namun itu tidak menghindarkan dia untuk terus di belakang calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden dalam jajak pendapat.
Jajak pendapat pascadebat terakhir oleh CNN, Democratic Pollsrter dan YouGov misalnya, menunjukkan Biden unggul sampai selisih dua digit.
Trump juga ditempel ketat di beberapa negara bagian yang selama ini memilih Partai Republik seperti Montana, Texas dan Ohio.
Sebanyak 51 juta pemilih telah menyalurkan suara dalam pemungutan suara dini yang menurut laman Politico memunculkan fenomena besar meluapnya jumlah pemilih terdaftar Demokrat di negara bagian-negara bagian bersuara mengambang yang tidak pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Tentu saja pemilu ini sangat menentukan rakyat AS apalagi terjadi ketika negara multiras terbesar di dunia itu tengah menghadapi isu besar keadilan ras.
Namun dunia juga turut mengikuti cermat pemilu AS yang walau dalam beberapa tahun terakhir pengaruhnya meluntur di panggung dunia tetap saja menentukan konstelasi kekuatan dunia.
Lebih menariknya lagi, Trump dan Biden menampilkan sosok yang berseberangan. Ini membuat jika keunggulan Biden konstan sampai 3 November, maka dunia akan dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya perubahan besar dalam kebijakan luar AS yang niscaya mempengaruhi banyak negara.
Trump dan Biden berbeda tajam dalam melihat dunia. Trump cenderung inward looking lewat "America-First"-nya sehingga pendekatannya unilateralis, proteksionis dan menjalankan diplomasi yang transaksional. Sebaliknya, Biden kemungkinan akan mempermak wajah AS menjadi lebih multilateralistis dan proaktif yang bahkan mungkin intervensionis.
Sekalipun demikian hal itu tidak harus dengan memproyeksikan kekuatan militer, kecuali mungkin jika sudah menyangkut China, Korea Utara dan juga Iran.
Biden kemungkinan besar tidak akan melembutkan sikap AS terhadap China yang saat ini merupakan lawan paling bisa menandingi AS dalam matra apa pun.
Tetapi Biden akan melakukan itu semua dalam kerangka kerjasama internasional dengan menginstal kembali platform-platform multilateralisme yang dicampakkan oleh Trump belakangan ini.
"Liga Nasionalis"
Trump meninggalkan hampir semua kerangka kerja sama multilateral di mana AS memimpinnya, mulai dari organisasi perdagangan dunia WTO, Perjanjian Iklim, Kemitraan Trans-Pasifik, Perjanjian Nuklir Iran, sampai WHO dan banyak lagi. Tak hanya itu Trump juga mengusik pakta-pakta baik ekonomi maupun keamanan dengan sekutu-sekutunya di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur.
Kecenderungan nasionalistisnya sendiri tumpah melintasi batas teritorial AS sehingga menciptakan apa yang disebut Shivshankar Menon dari Brookings India dengan istilah "Liga Nasionalis" yang merujuk kepada Presiden Argentina Jair Messias Bolsonaro, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman yang sama-sama terinspirasi unilateralisme "America First"-nya Trump.
Kemenangan Biden akan mengoreksi hal itu, bahkan itu mencakup Boris Johnson di Inggris di mana implementasi Brexit bisa lebih sulit lagi karena kemenangan Biden bisa menyempati kekuatan-kekuatan anti-Brexit, termasuk Skotlandia yang aspirasinya dalam memisahkan diri dari Britania Raya membesar setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa ketika mayoritas Skotlandia tak menginginkannya.
Gaung kemenangan Biden juga bisa mengusik pemimpin-pemimpin populis nasionalistis yang terinspirasi Trump seperti Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban dan Presiden Polandia Andrzej Duda, selain juga bisa mendepopulerisasi kekuatan-kekuatan kanan di Eropa.
Hal itu juga terjadi di kawasan lain, termasuk Asia, di antaranya presiden populis Rodrigo Duterte di Filipina yang mungkin tidak akan nyaman oleh pendekatan Biden.
Tetapi AS di bawah Biden tidak akan banyak berubah terhadap China, bahkan bisa lebih keras, terutama dalam masalah hak asasi manusia. Hong Kong, Taiwan dan Xinjiang adalah titik-titik panas hubungan AS-China, jika Biden menang.
Sekalipun Trump terang-terangan menyerang China, namun raksasa ekonomi nomor dua dunia itu tahu pasti Trump cuma menggertak demi menarik insentif ekonomi.
Tetapi AS di bawah Biden akan jauh lebih dari sekadar itu. Demokratisasi dan HAM akan menjadi senjata Biden sekaligus momok bagi China. Biden juga kemungkinan besar akan mendorong AS aktif lagi di berbagai teater keamanan dunia di mana China memproyeksikan kekuatan, termasuk Laut China Selatan.
Trump yang mengesampingkan multilateralisme memang telah menciptakan kevakuman di panggung politik internasional, termasuk di Laut China Selatan itu, juga Timur Tengah dan kawasan-kawasan lain.
Kevakuman itu menjadi pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan seperti Rusia dan Turki aktif di Timur Tengah dan Afrika Utara, sedangkan China kian agresif di Pasifik barat dan perbatasan darat sebelah baratnya dengan negara-negara Asia Selatan termasuk India.
AS pimpinan Biden akan tergoda untuk membendung kecenderungan itu, walaupun lewat mekanisme multilateralisme.
Tak cuma terhadap China. Pemilu 2020 yang dimenangi Biden dan Demokrat juga akan membuat Rusia gerah.
Kemenangan Biden bisa menjadi titik balik bagi Rusia yang dituding oleh komunitas intelijen AS aktif mencampuri pemilu AS yang sebagian ditujukan guna mengganggu AS agar tak lagi memproyeksikan kekuatannya ke luar perbatasan nasionalnya.
Tak bisa mengisolasi
Bagi Vladimir Putin yang gamang menghadapi konflik Nagorno Karabakh karena menciptakan dilema antara melibatkan diri dan memercikkan lagi api separatismenya sendiri di Chechnya atau daerah-daerah Rusia lainnya di Kaukasus dan epilog pemilu Belarus yang berada di teras depan wilayahnya serta satu-satunya negara Eropa timur bekas Soviet yang masih kuat dalam genggamannya, Biden bisa amat merugikan dirinya.
Di bawah Biden, AS akan kian keras menerapkan sanksi kepada Rusia, terutama dalam kaitan dengan aneksasi Semenanjung Krimea dan separatisme di Ukraina, selain juga tudingan intervensi dalam pemilu AS.
Sementara bagi Timur Tengah, kemenangan Biden bisa membuat Arab Teluk tidak nyaman, kecuali mungkin Qatar.
Bagi Arab Teluk, kemenangan Biden mengingatkan kepada kebijakan Barack Obama yang dianggap telah memberi pintu bagi ekspansi pengaruh Iran di wilayah ini.
Biden kemungkinan mengaktifkan lagi Perjanjian Nuklir Iran warisan Obama yang dicampakkan oleh Trump dan ditentang Arab Saudi, selain juga Israel dan Mesir.
Perjanjian nuklir itu membuat ekonomi Iran aktif kembali untuk kemudian membuat negara ini bisa melumasi mesin-mesin perangnya dan mendanai agenda perang proksinya di berbagai wilayah Timur Tengah, termasuk Yaman dan Irak yang berbatasan dengan Saudi sehingga mendorong Saudi mengambil langkah polisional terhadap Yaman.
Saat bersamaan gejolak di Timur Tengah mendorong Turki masuk. Sama dengan Iran, Turki yang sunni seperti umumnya negara Arab tak begitu disukai oleh dunia Arab.
Catatan sejarah di mana Persia dan Ottoman Turki berabad-abad menduduki Timur Tengah, perbedaan etnis dan budaya sekalipun Turki dan Iran sama-sama memuliakan bahasa Arab yang digunakan di Timur Tengah, telah membuat kedua negara itu dipandang curiga oleh dunia Arab. Turki juga sering berseberangan dengan Arab pada umumnya seperti membantu Qatar saat Saudi dan Arab Teluk memblokade Qatar, atau berseberangan dengan Mesir dalam konflik Libya.
Rezim Arab sepertinya lebih bisa menerima Israel. Tidak heran terjadi normalisasi hubungan diplomatik di negara-negara Arab Teluk belakangan ini.
Masih banyak lagi dampak hasil pemilu AS 3 November nanti terhadap bagian dunia lainnya, termasuk Indonesia, apalagi ini menyangkut kemungkinan berubahnya peta dan arsitektur politik dunia seandainya Biden menang.
Tetapi Trump yang terpilih kembali mungkin juga bisa lain dari Trump saat ini.
Selama ini Trump mengadopsi pendekatan lembut kepada kekuatan yang bisa nekad sehingga mengganggu konsentrasi AS seperti Kim Jong-Un di Korea Utara tapi saat bersamaan menekan keras negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi kuat dengannya baik itu sekutunya maupun bukan seperti China, guna mendapatkan konsesi ekonomi.
Ini membuat AS terlihat lebih isolasionis dan proteksionis. Tetapi tidak ada Trump akan mempertahankan isolasionismenya itu dan tak ada pula yang bisa menjamin orientasi nasionalistis tidak tumpah ke luar batas nasional sebuah negara.
Sejarah mencatat politik yang nasionalistis kerap menjadi awal ekspansi ketika sumber daya nasional di dalam negeri menyurut atau mengharuskan diproyeksikan ke luar wilayah nasionalnya. Perang Dunia Kedua dan aneksasi berbagai wilayah beberapa tahun belakangan adalah buktinya.
Memang kecil kemungkinan AS melakukan intervensi militer, tetapi sejak Doktrin Monroe 1823 sampai Doktrin Bush 2001, AS tidak pernah bisa mengisolasi diri dari dunia karena kepentingan nasionalnya sudah kelewat jauh merentang di luar batas teritorialnya.
Berita Terkait
Israel diguncang demo besar anti usulan Netanyahu
Senin, 27 Maret 2023 9:45 Wib
Jenderal AS sebut ISIS lebih kuat di Afghanistan
Jumat, 24 Maret 2023 13:32 Wib
UNHCR ingatkan para pengungsi Rohingya di Aceh agar tidak kabur
Kamis, 23 Maret 2023 17:34 Wib
Brompton dan CHPT3 kembali berkolaborasi rilis sepeda edisi ke-4
Kamis, 23 Maret 2023 13:07 Wib
RUU asal-usul COVID-19 sebagai serangan AS terhadap China
Rabu, 22 Maret 2023 5:35 Wib
Dai Dompet Dhuafa lepas 24 Dai Ambassador ke 14 negara selama bulan Ramadan
Selasa, 21 Maret 2023 20:04 Wib