Mengapa demonstrasi jadi tontonan?

id psikologi sosial,fenomena demonstrasi,unjuk rasa

Mengapa demonstrasi jadi tontonan?

Ilustrasi seseorang menyaksikan unjuk rasa (ANTARA FOTO/AJI STYAWAN)

Jakarta (ANTARA) - Pakar psikolog sosial, Dicky Chresthover Pelupessy, M.DS., Ph.D. mengatakan pada dasarnya manusia memiliki sikap kolektif.

Rasa ingin tahu akan sebuah peristiwa yang terjadi merupakan faktor utama pendorong seseorang untuk menyaksikan demonstrasi atau kejadian yang mengundang keramaian lain yang berlangsung di sekitar lingkungannya.

"Enggak usah saat demo deh, di jalan tol macet gara-gara ada kecelakaan, terus orang jadi melambatkan mobilnya, sesama pemobil nih, dia melambatkan mobilnya terus menonton. Ini kalau di tempat lain, atau negara lain ya jalan aja. Agak macet tapi enggak semacet di sini karena orang betul-betul pengin lihat dan itu enggak dilarang," kata Dicky kepada ANTARA, Jumat.

Kepedulian terhadap lingkungan yang masih tinggi, membuat seseorang berusaha mencari tahu sesuatu yang sedang terjadi. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat yang individualis, bagi mereka "urusan saya adalah urusan saya, urusan kamu adalah urusan kamu," sehingga diharapkan untuk tidak saling terlibat satu sama lain.

Fenomena menonton demonstrasi secara langsung di tempat kejadian, dianggap oleh Dicky sebagai hal yang wajar untuk masyarakat kolektif, apalagi tidak ada pelarangan mengenai hal tersebut.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut mengatakan penonton demonstrasi atau audiens bukanlah bagian dari demonstrasi itu sendiri. Sebab, para penonton tidak ikut terlibat dalam pengorganisasian ataupun kelompok tertentu.

Manusia adalah makhluk kolektif
Sebagai makhluk kolektif, sudah menjadi karakter dasarnya untuk selalu berkelompok atau berkerumun dengan manusia lain. Namun, budaya berkumpul atau ngariung menjadi ciri khas dari masyarakat Indonesia.

Jangan heran melihat kafe yang selalu ramai atau warung-warung kopi yang tempat duduknya tidak pernah sepi. Ujung jalan di setiap lingkungan selalu ada tempat untuk nongkrong dan berbincang hingga berjam-jam.

Kegiatan ini mungkin sulit ditemukan di wilayah Eropa atau Amerika yang masyarakatnya lebih bersikap individual. Sementara masyarakat di Indonesia, berkerumun adalah bagian dari kehidupan.

"Masyarakat kita itu memang masyarakat kolektif dan kita punya kebiasaan untuk kumpul-kumpul. Itu sebenarnya karakter dasar manusia tapi terlebih lagi budaya masyarakat yang kolektif jadi ngumpul-ngumpul itu udah jadi bagian dari kehidupan," ujar Dicky.

Berkumpul untuk menguatkan identitas sosial
Menjadi hal yang wajar jika seseorang ingin menjadi bagian dari kelompok tertentu, dan berkumpul adalah salah satu caranya. Dengan bergabung dalam sebuah kelompok, ada identitas baru yang dikuatkan selain personal.

Sebagai contoh, seorang penggemar grup musik atau mengidolakan klub sepakbola tertentu, mereka kan rela menyaksikan pertunjukan atau pertandingan secara langsung dihadiri oleh ribuan orang.

Terlebih lagi jika sudah menjadi anggota dari komunitas tertentu, maka seseorang akan menguatkan posisinya sebagai bagian dari grup dengan menghadiri pertunjukan atau pertandingan tersebut.

"Kita punya identitas diri tapi kita juga punya identitas sosial. Kita menguatkan identitas sosial kita, siapa kita, bagian dari kelompok apa dengan ikut kegiatan kelompok itu," ujar Dicky.

Di Indonesia menyukai segala sesuatu yang berbau keramaian bukanlah hal yang aneh dan dianggap wajar. Sebab berkerumun adalah karakter dasar manusia yang juga sebagai makhluk sosial.