Ekspor kopi Gayo anjlok 70 persen akibat COVID-19

id kopi gayo,ekspor kopi,permintaan kopi,aceh tengah

Ekspor kopi Gayo anjlok 70 persen akibat COVID-19

Ilustrasi: Petani menjemur kopi arabika yang baru dipanen di tepi danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Aceh, Minggu (19/1/2020). Kopi arabika Gayo merupakan sumber utama perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan luas perkebunan sekitar 100.000 hektar lebih dengan produksi per tahun mencapai 200.000 ton dan telah meenjadi produk andalan Aceh untuk pasar ekspor. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/foc/aa. (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)

Banda Aceh (ANTARA) - Aktivitas ekspor komoditas Kopi Arabica Gayo ke pasar Internasional semakin terpuruk akibat pandemi COVID-19, bahkan permintaan anjlok mencapai 70 persen.

Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop) Aceh Tengah Joharsyah, Sabtu, mengatakan permintaan ekspor Kopi Gayo berkurang hingga 70 persen dari volume ekspor sebelum wabah Virus Corona.

"Jadi kalau kita lihat itu terjadi penurunan yang sangat signifikan sampai 70 persen. Itu berdasarkan hasil meeting kami beberapa hari lalu dengan Fair Trade, sebuah lembaga sertifikasi Internasional. Mereka juga terpuruk sekarang," kata Joharsyah, di Aceh Tengah.

Menurut dia, Pemkab Aceh Tengah masih terus berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut agar komoditas kopi hasil panen tidak menumpuk di gudang, apalagi harus tertahan di tingkat petani.

"Jadi kita sudah banyak lakukan komunikasi secara nasional maupun Internasional, tapi memang seluruhnya sedang dalam kondisi sulit," ungkapnya.

Kalau pemerintah daerah disuruh beli kopi, lanjut dia, pertama pemerintah kan tidak pernah melakukan bisnis kopi, jadi setelah dibeli mau dibawa kemana. Kemudian uangnya juga dari mana.

Ia mengatakan untuk dapat membeli keseluruhan hasil panen kopi petani di daerah dataran tinggi Gayo tersebut membutuhkan biaya mencapai Rp1,8 triliun. Angka itu, kata dia, tidak sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

"Produksi kopi di Aceh Tengah itu berkisar antara 28.000 ton per tahun, itu nilainya sekitar Rp1,8 triliun. Itu berdasarkan luas lahan kopi di kita sekitar 48.000 hektare dengan produktivitas minimal rata-rata 700 kilogram per hektare per tahun," ujarnya.

Dalam rapat dengan Wakil Ketua DPRD Aceh Hendra Budian, kata Joharsyah, Dewan terkejut perlu anggaran sebanyak itu untuk membeli kopi dari petani, khusus Aceh Tengah. Belum lagi Kabupaten Bener Meriah. Kalau digabungkan keduanya, kata dia, kebutuhan dana mencapai Rp3,8 triliun.

"Untuk saat ini pemerintah daerah melalui Disperindag hanya bisa berupaya membantu para pelaku ekspor di bawah naungan koperasi dengan memberikan dana talangan agar kopi dari petani bisa terus dibeli," katanya.