Kepatuhan rendah, Pemprov Sulsel didesak buat perda

id COVID-19, pemprov sulsel

Kepatuhan rendah, Pemprov Sulsel didesak buat perda

Pemeriksaan suhu badan di Jalan Tanjung Bunga Makassar dalam rangka pelaksanaan PSBB. ANTARA/Nur Suhra Wardyah

Makassar (ANTARA) - Ketua Tim Konsultasi Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Penyakit COVID-19 Sulsel, Prof Ridwan Amiruddin menyarankan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk membuat peraturan daerah terkait protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19.

"Kita dari tim sudah menyampaikan ke Pak Gubernur. Beliau cukup responsif, jadi akan disusun oleh Dinkes Provinsi, juga mendorong supaya Pemkot Makasaar juga segera menginisiasinya sebagai episentrum di Sulsel," ungkapnya di Makassar, Minggu.

Saran tersebut disampaikan lantaran tingkat kepatuhan masyarakat Sulsel terhadap protokol kesehatan dinilai masih sangat rendah dalam menghadapi pandemik COVID-19.

Bahkan, jika pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tahap tiga akan diberlakukan, hal itu dianggap tidak akan begitu mempengaruhi mobilitas masyarakat yang mulai normal kembali di masa transisi saat ini.

"Kalau Makassar, rasanya jika pun PSBB kembali diberlakukan, masyarakat sudah masuk ke fase sulit kembali untuk patuh," ungkapnya.

Pelaksanaan PSBB tahap 1 dan 2 tidak akan jauh berbeda dengan PSBB tahap 3 dengan tujuan utama membatasi mobilitas warga karena kepatuhan terhadap protokol kesehatan itu tidak dijalankan dengan baik.

Sementara, kata dia, semakin tinggi mobilitas warga maka harus pula disertai disiplin dalam hal penerapan protokol kesehatan.

Sehingga, kata Prof Ridwan, yang paling mungkin ialah membuat perda terkait protokol kesehatan, seperti penggunaan masker, keberadaan sarana cuci tangan serta wajib jaga jarak tempat umum.

Prof Ridwan menyampaikan skenario untuk menekan laju insidensi COVID-19 yang meningkat yakni menekan tingkat mobilitas masyarakat di area publik, serta melakukan tracking dan testing yang semakin masif.

"Skenario tersebut yang dijalankan dengan mengembalikan pengendalian ini pada masyarakat. Jika tidak mau disiplin sendiri maka tidak menutup kemungkinan penerapan pengetatan mobilitas warga dilakukan secara coersive atau pemaksaan," katanya.