Dampak pandemi, S&P proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 melambat jadi 1,8 persen

id s&p,bi,pertumbuhan ekonomi 2020,ekonomi indonesia

Dampak pandemi, S&P proyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 melambat jadi 1,8 persen

FILE PHOTO: People pass by the logo of Standard Chartered plc at the SIBOS banking and financial conference in Toronto, Ontario, Canada October 19, 2017. REUTERS/Chris Helgren (Reuters)

Fleksibilitas nilai tukar rupiah akan memberikan manfaat bagi daya saing eksternal Indonesia selama beberapa tahun ke depan

Jakarta (ANTARA) - Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8 persen pada tahun ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19, sebelum membaik secara kuat pada satu atau dua tahun ke depan.

Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah langkah kebijakan fiskal yang berani akan membantu mencegah pemburukan ekonomi jangka panjang. Karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia diperkirakan akan tetap jauh di atas rata-rata negara peers, kata Departemen Komunikasi Bank Indonesia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.

Menurut S&P, keunggulan dari sisi kinerja ekonomi jangka panjang ini mengindikasikan dinamika ekonomi yang konstruktif di Indonesia.
Baca juga: Kebijakan ekonomi Indonesia untuk merespons COVID-19 diapresiasi IMF

Di sisi eksternal, S&P memandang bahwa nilai tukar rupiah yang sempat terdepresiasi cukup tajam telah berdampak negatif terhadap sektor eksternal dan meningkatkan biaya utang luar negeri sehingga dapat mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam membayar kewajibannya.

Meskipun demikian, S&P meyakini Indonesia dapat mengelola risiko tersebut mengingat dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mempunyai akses yang besar dan berkelanjutan ke pasar keuangan dan penanaman modal asing, bahkan ketika situasi pasar keuangan sedang bergejolak.

S&P juga memandang fleksibilitas nilai tukar rupiah akan memberikan manfaat bagi daya saing eksternal Indonesia selama beberapa tahun ke depan dan memperbesar ruang bank sentral dalam menjaga cadangan devisa.

S&P memperkirakan nilai tukar rupiah akan secara bertahap menguat seiring dengan kondisi pasar keuangan global yang berlanjut stabil hingga akhir 2020, kata Dekom BI.

Di sisi fiskal, kenaikan defisit fiskal akan memperbesar jumlah utang pemerintah dalam beberapa tahun ke depan. Namun, S&P memahami bahwa kenaikan defisit tersebut merupakan dampak dari langkah-langkah “extraordinary” yang diambil oleh pemerintah sebagai respons terhadap guncangan eksternal yang sangat tidak mudah diprediksi.

Dukungan fiskal yang kuat dibutuhkan untuk mengelola krisis kesehatan masyarakat akibat wabah COVID-19 yang terus meluas dan untuk memitigasi dampaknya, baik yang bersifat sementara maupun struktural, terhadap perekonomian Indonesia.
Baca juga: Dampak COVID-19, Presiden umumkan 9 langkah cegah perlambatan ekonomi

Secara khusus S&P menyoroti peran penting Bank Indonesia dalam mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Perppu, yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk membeli surat berharga Pemerintah di pasar perdana apabila permintaan pasar dinilai tidak memadai.

Hal ini dapat membantu pemerintah dalam mengelola biaya pinjaman ketika pasar keuangan sedang mengalami gangguan ekstrem. Sejak krisis keuangan dunia 2008, banyak bank sentral di negara-negara maju juga diberikan kewenangan yang sama. Karena kewenangan ini hanya digunakan saat situasi pasar keuangan sedang tertekan maka dampaknya terhadap inflasi dan nilai tukar relatif terkendali.

Dalam kaitan ini, S&P mengakui bahwa dengan dukungan independensi yang dimilikinya, Bank Indonesia telah mampu mengelola inflasi pada tingkat yang selaras dengan negara-negara peers.

S&P juga mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia (RI) pada BBB (Investment Grade) dan merevisi outlook menjadi negatif pada 17 April 2020.

Dalam laporannya S&P menyatakan bahwa peringkat Indonesia dipertahankan pada BBB karena tatanan kelembagaan yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan kebijakan fiskal yang secara historis cukup prudent.

Sementara itu, outlook negatif mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia menghadapi kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi COVID-19.

S&P sebelumnya meningkatkan Sovereign Credit Rating Indonesia menjadi BBB dengan outlook Stabil pada 31 Mei 2019.
Baca juga: BI turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 jadi 4,2-4,6 persen