Bingkai itu bernama PSBB, hadang episentrum pandemi COVID-19

id Jakarta,PSBB,corona jakarta

Bingkai itu bernama PSBB, hadang episentrum pandemi COVID-19

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah) saat memberikan pernyataan kepada wartawan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/4/2020). (ANTARA/HO-Pemprov DKI)

Gambaran ini sangat menyedihkan bagi kita, karena kita tahu di luar masih terjadi penularan
Jakarta (ANTARA) - Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengendalikan penyebaran virus corona jenis baru (COVID-19) tampaknya akan lebih tegas dan terpadu mengingat hingga kini grafik penyebarannya belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Belum adanya penurunan jumlah warga DKI Jakarta yang terinfeksi virus ini secara langsung menggambarkan perkembangan penanganan secara nasional. Hal itu karena Jakarta masih menjadi episentrum pandemi ini.

Secara nasional, kasus positif terpapar virus corona jenis baru ini di Indonesia pada Kamis (9/4) bertambah 337 kasus sehingga menjadi 3.293 kasus. Dari jumlah itu, 252 pasien sembuh dan 280 orang meninggal dunia.

"Gambaran ini sangat menyedihkan bagi kita, karena kita tahu di luar masih terjadi penularan," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto saat konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Kamis.

Berdasarkan data sejak Rabu (8/4) pukul 12.00 WIB hingga Kamis pukul 12.00 WIB, pasien sembuh bertambah 30 orang serta pasien meninggal dunia bertambah 40 kasus.
Baca juga: IDEAS ingatkan waspadai ledakan COVID-19 jelang Ramadhan dan Lebaran


Jumlah itu meningkat dibanding pada Rabu yang tercatat 2.956 kasus positif COVID-19. Dari jumlah itu 222 orang dinyatakan sembuh setelah dites dua kali dengan hasil negatif dan 240 orang meninggal dunia.

Dari 3.293 kasus yang diumumkan pada Kamis, di DKI Jakarta 1.706 kasus. Sejak awal diumumkan adanya warga Indonesia yang terpapar pada 2 Maret 2020, Jakarta berada di zona merah.

Mulai Pembatasan
Sejak saat itu, upaya pengendaliannya terus dilakukan dengan berbagai kebijakan. Selain mempersiapkan rumah-rumah sakit berikut dokter dan paramedis, juga mengurangi mobilitas orang.

Mulai pekan kedua Maret atau seminggu setelah diumumkan dua orang terinfeksi COVID-19, dirancang pembatasan aktivitas publik di Jakarta. Objek-objek wisata seperti Monas, Ancol dan Taman Margasatwa Ragunan ditutup mulai 14 Maret 2020.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meliburkan sekolah dan memberlakukan kerja dari rumah (work from home/WFH) bagi karyawan perusahaan hingga tanggal 5 April 2020 kemudian diperpanjang lagi. Selain itu membatasi kegiatan beribadah dan membatasi kerumunan.

Kemudian Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB/CFD) ditiadakan mulai 15 Maret. Mulai hari itu, armada dan frekuensi TransJakarta dan MRT juga dikurangi.

Baca juga: Gubernur BI : PSBB bangun kepercayaan pelaku pasar
 
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Sabtu (4/4/2020) terkait 18 orang yang ditangkap karena tidak patuh pada ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). ANTARA/HO Polda Metro Jaya/am.

Namun sebagian orang dan sebagian pengguna moda transportasi yang dikelola BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu bereaksi. Tak sedikit yang mengecam kebijakan itu.

Persoalan itu justru dimanfaatkan sebagian orang untuk menariknya ke arah politisasi. Padahal di depan jelas terlihat bayang-bayang grafik terus naik berdasarkan jumlah orang terpapar yang meningkat dari hari ke hari sejak 2 Maret.



Sejenak publik terbelah dan larut dalam perdebatan demi perdebatan. Energi yang semestinya tercurahkan untuk menyatukan langkah semua kekuatan bangsa sirna sia-sia.

Tampaknya semua baru tersadar ketika jumlah orang terjangkit terus bertambah dan virus ini pun mulai menelan korban jiwa. Grafiknya terus naik dan tak siapapun bisa memastikan kapan akan mulai melandai.

Adu Kecepatan
Karena itu, kalau tanpa penanganan lebih fokus dengan dukungan semua elemen bangsa yang ada di Ibu Kota, masa sulit ini entah kapan akan berakhir.

Berkaca dari pengalaman banyak negara, keterpaduan yang optimal pun tak semudah yang dibayangkan untuk mengalahkan ekspansi virus ini. Kecepatan penanganannya harus berhadapan langsung dengan kecepatan penyebarannya.

Kini adu cepat sedang dilakukan ratusan negara yang dihinggapi virus corona. Jakarta sebagai episentrum wabah ini di Indonesia juga sedang beradu cepat.

Namun untuk bisa bertindak cepat sangat tergantung pada perangat birokrasi dan orang (SDM). Birokrasi yang bertindak cepat agaknya menjadi modal penting untuk mewujudkan laju kecepatan melebihi ekspansi virus ini.

Setelah melakukan serangkaian pembatasan pergerakan orang, penanganan virus corona memasuki babak baru dengan adanya aturan dari pemerintah pusat. Babak baru itu adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Penetapan PSBB untuk wilayah DKI Jakarta tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19

Penetapan PSBB untuk DKI Jakarta ditandatangani oleh Menkes Terawan Agus Putranto pada 7 April 2020. Dengan demikian, tak perlu ada lagi perdebatan atas kebijakan untuk mengatasi pagebluk global ini.

Kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melaksanakan PSBB sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya secara konsisten mendorong serta mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat.



Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menindaklanjuti hal itu dan PSBB mulai berlaku Jumat (10/3) pukul 00.00 WIB dinihari. Sebelum dilaksanakan telah disosialisasikan pada 8-9 April 2020.

Bagi Anies dan jajarannya, pemberlakuan PSBB di DKI Jakarta sebenarnya bukan hal baru karena sudah tiga minggu melaksanakan sejumlah pembatasan. Hanya saja, dalam beberapa pekan ke depan pembatasan itu akan lebih diperluas dan lebih tegas.

Pengecualian
Kendati pembatasan akan diperluas dan lebih tegas dengan penindakan terhadap pelanggarnya, tetapi ada delapan pengecualian. Artinya delapan kegiatan di masyarakat yang harus tetap beroperasi.

"Semua kegiatan dilakukan di rumah, kecuali yang diizinkan," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam pernyataan kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta.

Sektor pelayanan publik yang memperoleh pengecualian, yakni pertama, pelayanan kesehatan. Bukan saja pelayanan di rumah sakit dan klinik, melainkan juga usaha produksi sabun dan disinfektan yang sangat relevan dengan situasi sekarang.

Kedua, produksi makanan dan minuman yang perlu tetap berjalan selama COVID-19 mewabah. Ketiga, pelayanan energi, seperti air, gas, listrik dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Keempat, layanan komunikasi, seperti jasa komunikasi sampai media komunikasi. Kelima, sektor keuangan dan perbankan, termasuk pasar modal.

Keenam, kegiatan logistik berupa distribusi barang harus berjalan seperti biasa. Ketujuh, layanan ritel, seperti warung atau toko kelontong yang memberikan kebutuhan warga.

Kedelapan, sektor pelayanan industri strategis yang ada di Ibu Kota.
Sedangkan semua kegiatan lain di luar delapan kegiatan tersebut diharuskan bekerja dari rumah.
 
Bagaimana dengan kegiatan relawan dan organisasi sosial?



Kegiatan relawan dan organisasi sosial yang terkait dengan penanganan wabah COVID-19 bisa terus berkegiatan seperti biasa. Kegiatan pada lembaga pengelola bantuan sosial atau di bidang kesehatan terkait dengan penanganan COVID-19, diminta terus melakukan kegiatan tersebut.

Namun diingatkan bagi sektor yang dikecualikan harus mengikuti kegiatan mengikuti prosedur tetap penanganan COVID-19. Ada keharusan untuk jaga jarak fisik dan sosial ('physical distancing' dan 'social distancing').

Yang tidak kalah penting adalah diharuskan penggunaan masker, ada fasilitas cuci tangan dan cuci tangan secara rutin.