Tutupan hutan di Provinsi Jambi tinggal 17 persen

id Luasan Hutan di Provinsi Jambi tersisa 17 persen dri luas provinsi,tutupan hutan,hutan tutupan,tutupan hutan di jambi,hu

Tutupan hutan di Provinsi Jambi tinggal 17 persen

Foto tutupan hutan di Provinsi Jambi dilihat dari citra satelit Lansat TM 8 yang dilakukan oleh Unit GIS Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Tutupan hutan di Provinsi Jambi tinggal 900 ribu hektaer atau tersisa 17 persen dari luas Provinsi Jambi. (Antara/Muhamad Hanapi)

Kawasan hutan yang terbakar tersebut tersebar di dua perusahaan HPH, 14 perusahaan HTI dan lima perusahaan HGU perkebunan sawit, kata Rudi Syah

Jambi (ANTARA) - Berdasarkan analisa citra satelit Lansat TM 8 yang dilakukan oleh Unit GIS Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menunjukkan tutupan hutan Jambi tinggal 900 ribu hektare atau 17 persen dari 50.160 kilometer persegi luas wilayah Provinsi Jambi.

Jika dibandingkan dengan analisis citra satelit yang dilakukan tahun 2017, tutupan hutan Provinsi Jambi berkurang 20 ribu hektare.

“Angka ini memperlihatkan keseimbangan ekosistem Jambi berada di angka yang sangat memprihatinkan,” kata Direktur KKI Warsi Rudi Syah di Jambi, Kamis.

Berkurangnya luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. di antaranya aktivitas illegal drilling, aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI), dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Namun berkurangnya luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi tersebut didominasi oleh karhutla yang terjadi secara masif. Pada tahun 2019 saja, kawasan yang terbakar akibat karhutla mencapai 157.137 hektare, dengan berbagai peruntukan kawasan, dan titik panas yang terdeteksi mencapai 30.947 titik.

Baca juga: 19 orang ditetapkan sebagai tersangka pelaku karhutla di Jambi

Lokasi karhutla di Provinsi Jambi didominasi di lahan konsesi perusahaan. Di kawasan Hak Pengusaha Hutan (HPH) terdapat 40.865 hektare lahan yang terbakar. Di kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit terdapat 24.938 hektare lahan yang terbakar. dan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) terdapat 21.226 hektare lahan yang terbakar.

“Kawasan hutan yang terbakar tersebut tersebar di dua perusahaan HPH, 14 perusahaan HTI dan lima perusahaan HGU perkebunan sawit,” kata Rudi Syah.

Selain itu, luasan lahan gambut yang terbakar cukup besar. Di tahun 2019 ini, kebakaran lahan gambut mencapai 101,418 hektare. Dimana lahan gambut dengan kedalaman 200-400 centimeter cukup mendominasi kebakaran lahan gambut, dengan luasan mencapai 68,862 hektare.

Sementara itu, jika dilihat dari tahun 2015 hingga tahun 2019, luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi berkurang seluas 246.667 hektare. Pada tahun 2015 luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi 1.147.380 hektare, dan pada tahun 2019 luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi hanya 900.713 hektare.

Baca juga: Sedikitnya 70 ha kawasan Tahura Jambi terbakar

Jika dilihat, regulasi untuk pengendalian kebakaran hutan sudah cukup banyak, termasuk untuk mengatur tinggi muka air gambut. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2016, jelas tertulis kewajiban untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 centimeter dari permukaan.

Selain itu, juga terdapat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jambi nomor 2 tahun 2016 tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dalam perda tersebut sudah ditetapkan sejumlah ketentuan untuk mencegah karhutla.

“Tingkat kepatuhan dalam implementasi semua aturan tersebut masih belum dijalankan dengan baik, sehingga karhutla kembali berulang dengan hebat,” katanya.

Tidak hanya karhutla, aktivitas PETI turut menyumbang berkurangnya luasan tutupan hutan di Provinsi Jambi. Di tahun 2019 luasan bukaan lahan PETI mencapai 33.832 hektare yang tersebar di enam kabupaten, yakni di Kabupaten Sarolangun 14.126 hektare, Kabupaten Merangin 12.349 hektare, Kabupaten Bungo 4.711 hektare, Kabupaten Tebo 2.562 hektare, Kabupaten Batanghari 37 hektare dan di Kabupaten Kerinci 47 hektare.

Baca juga: Lahan terbakar di Provinsi Jambi capai 500 hektare

Begitu pula dengan aktivitas ilegal drilling, seperti yang terjadi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Sayifudin Batanghari menyebabkan 225 hektare lahan rusak. Aktivitas ilegal drilling tersebut tidak hanya merusak lahan, namun juga merusak dan mencemari anak-anak sungai yang mengganggu ekosistem di kawasan Tahura dan sekitarnya.

Sementara itu, sumur minyak illegal yang tersebar di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari diperkirakan mencapai 1.650 sumur. Selain itu, aktivitas ilegal drilling di daerah itu turut menjadi sebab timbulnya penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan penyakit infeksi kulit. Di sekitar lokasi penambangan tersebut terdapat 2.666 kasus ISPA dan 559 kasus infeksi kulit.

Dari 11 kabupaten dan kota di Provinsi Jambi, kabupaten yang luasan tutupan hutannya paling banyak berkurang terjadi di kabupaten dengan kawasan hutan yang masih banyak, di antaranya di Kabupaten Tebo, Merangin dan Muaro Bungo. Namun kebakaran lahan gambut turut menyebakan luasan tutupan hutan dijambi berkurang secara signifikan.

Baca juga: Kata pakar mengembalikan fungsi gambut langkah nyata cegah karhutla

Semua kejahatan ekosistem yang akan dan telah merusak lingkungan tersebut menyebabkan dampak yang cukup luas, mulai dari bencana ekologis, konflik satwa, konflik lahan dan kerugian yang sangat besar terhadap lingkungan. Maka dari itu sangat diperlukan keterlibatan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan untuk membantu melakukan pengawasan serta penjagaan lingkungan.

Ruang kelola masyarakat untuk menjaga hutan harus diperbanyak, agar masyarakat dapat mengelola kawasan secara bijak dan lestari. Selain itu, implementasi dan pengawasan secara menyeluruh terkait dengan pelaksanaan kebijakan pemulihan ekosistem harus ditingkatkan.

“Namun yang terpenting transparansi penanganan kasus hukum terkait dengan kejahatan ekosistem harus segara diterapkan,” kata Rudi Syah.