IGJ soroti perang dagang berakibat perlambatan ekonomi Asia

id perlambatan ekonomi asia,perang dagang

IGJ soroti perang dagang berakibat perlambatan ekonomi Asia

Aktivitas pelabuhan bongkar muat, yang merupakan sarana vital dalam kegiatan perdagangan internasional. (en.wikipedia.org)

Penurunan angka perdagangan global sedikit banyak juga telah menurunkan kapasitas produksi dunia,
Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) menyoroti fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara  di kawasan Asia sebagai akibat dari perang dagang yang tidak kunjung usai antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

"Perlambatan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara di Asia hari ini akibat perang dagang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi ikut melambat," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Minggu.

Rachmi Hertanti mengemukakan bahwa penurunan angka perdagangan global sedikit banyak juga telah menurunkan kapasitas produksi dunia, yang pada akhirnya juga berdampak terhadap kapasitas sektor swasta.

Direktur Eksekutif IGJ berpendapat bahwa meningkatnya pertumbuhan infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air, bila tidak ditopang oleh penguatan sektor produksi maka akan menjadi perangkap bagi Indonesia.

Selain itu, ujar dia, berbagai pihak juga sudah memberikan peringatan soal rasio utang swasta yang dinilai sangat berisiko.

"Dampaknya terhadap Indonesia adalah potensi terhadap memburuknya neraca transaksi pembayaran. Pendapatan primer dalam neraca pembayaran masih sangat rendah," katanya.



Ia menyatakan, sukar untuk menaikan pendapatan sektor primer jika situasi krisis di Asia terus membayangi. Sedangkan di sisi yang lain, pendapatan dari sektor perdagangan barang dan jasa terus negatif.

Sebelumnya Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah menilai bahwa Pemerintah perlu benar-benar menyiapkan strategi besar dalam mengantisipasi dampak perang dagang antara dua raksasa global, Amerika Serikat dan China, yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional.

Ia memperkirakan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik.

Said Abdullah menilai selain imbas normalisasi kebijakan moneter The Fed (bank sentral AS), pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang.

"Jadi, kalau dua negara raksasa ekonomi ini berperang, maka akan membuat arus perdagangan dan rantai pasar global terhambat. Alhasil, kinerja ekspor Indonesia pun berpeluang terganggu karena penurunan permintaan," katanya.

Untuk itu, politisi PDIP itu meminta pemerintah menyiapkan strategi besar karena China dan AS merupakan negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan fokus mendorong ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk memperbaiki neraca perdagangan pada semester I 2019 yang saat ini telah mencapai angka 1,90 miliar dolar AS.

"Peningkatan ekspor di tengah situasi yang tidak pasti ini, kami harus melakukannya," kata Enggartiasto saat ditemui usai rapat pembahasan RAPBN 2020 di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8).

Menurut dia, langkah strategis itu diambil dengan memanfaatkan situasi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat.