OrangutanDays dan YKAN implementasikan pariwisata berkelanjutan

id Orangutan,Pariwisata

OrangutanDays dan  YKAN  implementasikan pariwisata berkelanjutan

Satu individu Orangutan bernama Popi belajar beraktivitas di atas pohon di sekolah hutan Centre for Orangutan Protection (COP) Borneo di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. ANTARA FOTO/HO/COP Borneo-Ruweti Nurpiana/jhw/ama.

Jakarta (ANTARA) - Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), afiliasi dari The Nature Conservancy (YKAN I TNC) dan OrangutanDays mengimplementasikan konsep pariwisata berkelanjutan.

“Bagi kami, kerja sama ini kian memperkuat misi kami dalam menjalankan program ekowisata. Sejak berdiri 11 tahun lalu, kami berkomitmen untuk melestarikan hutan, air, dan lingkungan secara keseluruhan, serta mengedukasi pentingnya pelestarian alam kepada seluruh karyawan, kolega, dan klien kami,” ujar pendiri OrangutanDays, Yomie Kamale dalam informasi tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu.

OrangutanDays beroperasi di wilayah wilayah Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Utamanya di Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Wisata Alam Tanjung Keluang, Senggora Marine Park, jelajah desa suku Dayak, dengan membawa misi konservasi dan edukasi.

Sesuai dengan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, OrangutanDays membangun kesadaran dan kepedulian terhadap budaya dan lingkungan dalam setiap paket perjalanannya, dengan tetap melibatkan komunitas lokal.

Baca juga: Populasi Orangutan Sumatera tersisa 13.000

OrangutanDays pun mengajak setiap peserta tur menanam pohon, yang menjadi cara untuk penghijauan kembali dan turut mencegah pemanasan global.

Ketua YKAN I TNC Rizal Algamar menuturkan, semakin berkembangnya tren ekowisata secara global dewasa ini menjadi salah satu langkah untuk mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya pelestarian alam.

"Berwisata, sejatinya tidak hanya untuk menjelajah dan mencari petualangan, tetapi juga untuk membangun kesadaran akan pentingnya keselarasan hubungan antara manusia dengan alam dan ekosistem yang ada di dalamnya,” katanya.

Yomie juga menambahkan, Tanjung Puting merupakan destinasi wisata minat khusus sehingga edukasi pada wisatawan agar mendapat pengetahuan dan perubahan perilaku, terutama dalam memperlakukan alam dengan bijak, amat diperlukan. Namun, pemahaman ini pun wajib dimiliki oleh setiap pelaku wisata. Di antaranya pemahaman tentang pengelolaan sampah, penggunaan air, dan pentingnya habitat orangutan dan hutan dalam kehidupan.

Terus meningkatnya jumlah pengunjung ke Tanjung Puting di sisi lain menimbulkan tekanan tersendiri. Yomie menggarisbawahi pentingnya pendistribusian wisatawan ke beberapa spot lain di dalam kawasan.

Banyaknya orang di satu tempat yang sama tidak hanya akan memberi ketidaknyamanan bagi pengunjung, tetapi juga dikhawatirkan akan mengubah perilaku satwa. Di sisi lain, bertambahnya jumlah klotok/kapal meningkatkan beban sungai dan menciptakan polusi suara akibat suara knalpot klotok maupun pencemaran air akibat limbah yang terbuang ke sungai.

Mengantisipasi hal ini, para pelaku dan pengelola kawasan pun tengah merancang pengaturan tata kelola wisata agar dampaknya tidak kian meluas dan dapat diminimalkan.



Penerapan praktik pariwisata berkelanjutan yang dikemas dalam ekowisata dalam hal ini menjadi amat penting. Setiap wisatawan, operator wisata, maupun pihak taman nasional memiliki peranan tersendiri dalam menjaga kelestarian ekosistem orangutan ini.