Tim kajian pempek warisan dunia meminta Pemkot Palembang redam isu pajak

id Pajak pempek, isu pajak pempek kota palembang, perda pajak pempek, polemik pajak pempek, aturan pajak 10 persen kota pal

Tim kajian pempek warisan dunia meminta Pemkot Palembang redam isu pajak

Anggota tim kajian (adhoc) pempek untuk warisan dunia tak benda UNESCO, Vebri Al-lintani, Jumat (26/7) (Antara News Sumsel/Aziz Munajar/19)

Palembang (ANTARA) - Tim kajian pengajuan pempek sebagai warisan dunia tak benda UNESCO meminta Pemerintah Kota Palembang segera meredam isu pajak kuliner khas tersebut karena khawatir akan mengganggu proses pemilihannya.

Anggota tim kajian (adhoc) pempek untuk warisan dunia tak benda, Vebri Al-lintani, Jumat, mengatakan bahwa informasi yang simpang siur mengenai pajak pempek membuat gejolak negatif di masyarakat.

"Jika melihat reaksi masyarakat akhir-akhir ini sebenarnya cukup mengganggu perjuangan tim dalam memantapkan pempek sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO, lebih baik biarkanlah dulu UMKM pempek itu, sebab pempek belum mencapai puncak perkembangannya," ujar Vebri Al-lintani kepada ANTARA.

Menurutnya informasi pajak pempek muncul di saat yang kurang tepat, sebab pempek baru saja mendapatkan predikat kuliner kota kreatif dari Bekraf RI pada akhir Juni 2019, namun satu pekan berselang isu pajak pempek muncul ke publik yang ternyata sudah ada peraturan daerahnya sejak 2018.

Sedangkan pada Agustus 2019 tim adhoc yang berjumlah 10 orang akan mengirimkan hasil kajian mengenai pempek dari berbagai aspek ke UNESCO, bersaing dengan 24 usulan warisan tak benda lainnya.

Sebelumnya pempek telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional pada 2014 yang memicu pempek semakin berkembang terutama saat Asian Games 2018 dengan angka pengiriman luar kota mencapai tujuh ton perhari.

"Jika pempek ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda, maka dampaknya akan luar biasa sekali, karena itulah Pemkot seharusnya bergembiar dan mendukung dengan regulasi bisnis yang memudahkan UMKM, agar perkembangannya sesuai harapan," jelasnya.

Ada ribuan pedagang pempek mulai skala kecil hingga industri di Kota Palembang, kata dia, berkat pedagang tersebut pempek semakin mengakar dalam kehidupan sosial di Palembang, sehingga Pemkot setempat perlu meninjau ulang aturan pajak pempek.

"Jika 10 persen rasanya terlalu besar, turunkan lagi menjadi dua atau tiga persen saja, mungkin pedagang sanggup membayarnya," pungkas Vebri.

Sementara berdasarkan kajian tim, pempek sudah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya dengan nama klesaan, lalu pada awal abad 19 muncul seorang penjual klesaan keturunan Tionghoa yang sering dipanggil dengan sebutan apek-apek, sampai akhirnya lahirlah istilah empek-empek.

“Kajian sejarah ini masih terus disempurnakan dengan menguatkan bukti sejarah lainnya,” demikian Vebri.