Pendeta radikal Myanmar ditangkap

id Wirathu,Pendeta,Surat Penangkapan,Myanmar

Pendeta radikal Myanmar ditangkap

Dokumentasi - Roshan Begum, seorang pengungsi Rohingya, mengusap matanya setelah mendengar berita bahwa anak lelakinya telah ditemukan di penjara Buthidaung di Myanmar melalui program permintaan melacak pesan Bangladesh Red Crescent Society Bangladesh, di sebuah kamp di Cox's Bazar, Bangladesh, 3 Juli 2018. Foto diambil tanggal 3 Juli 2018. (REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)

Yangon, Myanmar (ANTARA) - Satu pengadilan Myanmar telah mengeluarkan surat perintah penangkapan buat seorang pendeta Buddha nasional, Wirathu, dengan tuduhan menghasut, kata polisi pada Rabu (28/5).

Witathu dikenal karena pidatonya terhadap masyarakat minoritas Muslim, terutama Rohingya, tapi ia juga telah menjadi pengeritik pemerintah sipil, pimpinan Aung San Suu Kyi, pendukung militer tangguh Myanmar.

Juru Bicara Polisi Myo Thu Soe mengatakan surat perintah penangkapan tersebut dikeluarkan pada Selasa oleh pengadilan wilayah barat di Kota Utama Myanmar, Yangon.

Namun ia tidak memberi alasan bagi dikeluarkannya surat perintah penangkapan itu.

Dalam beberapa pertemuan belum lama ini, Wirathu telah menuduh pemerintah korupsi dan mengecamnya karena berusaha mengubah undang-undang dasar dengan cara yang akan mengurangi kekuasaan militer.

"Tuduhan menghasut mengganggu dia," kata Thu Saitta, sekutu Wirathu, kepada Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis sore.

"Kami tak mau mengatakan apa yang akan kami melakukan jika ia ditangkap, tapi tentu saja kami takkan tenang," katanya.

Wirathu adalah yang paling menonjol di antara pendeta nasionalis yang mendapat dukungan politik di Myanmar sejak peralihan dari kekuasaan militer dimulai pada 2011.

Wirathu dilarang berceramah oleh pengadilan agama tertinggi Myanmar selama satu tahun sampai awal tahun lalu karena pidato kebenciannya.

Ia telah sering menyerang Muslim Rohingya, yang lebih dari 700.000 di antara mereka menyelamatkan diri dari penindasan militer di Negara Bagian Rakhine pada 2017, yang dikatakan oleh penyelidik PBB dilakukan dengan "tujuan memusnahkan suku".

Wirathu menghadapi kemungkinan penangkapan berdasarkan hukum karena menyiarkan "kebencian atau penghinaan" atau menyulut rasa tidak senang terhadap pemerintah. Peraturan tersebut berisi ancaman hukuman sampai tiga tahun penjara.



Sumber: Reuters