Alasan Shinta Nuriah pilih sahur bersama

id Shinta nuriah, shaur bersama, ibu shinta,ramadhan 1440 H,sambut ramadhan,tradisi ramadhan,bulan puasa,puasa ramadhan

Alasan Shinta Nuriah pilih sahur bersama

Suasana saat Shinta Nuriah memberikan sambutan sebelum pelaksanaan sahur bersama di Bondowoso,, Rabu (29/5) (Masuki M Astro)

Bandarlampung (ANTARA) - Setiap bulan puasa, hampir setiap hari Ibu Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid berkeliling ke sejumlah tempat untuk mengajak para duafa dan kaum terpinggirkan melakukan buka puasa bersama.

Namun, mantan Ibu Negara itu telah meninggalkan kegiatan tersebut. Bukan berarti ia meninggalkan kebiasaannya untuk bersantap bersama kaum tidak punya itu, melainkan hanya mengubah waktunya, dari berbuka bersama menjadi sahur bersama. Istri dari mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini memiliki alasan mengenai sahur bersma ini.

"Kalau buka bersama itu kan bersama-sama membatalkan puasa, kalau sahur artinya bersama-sama mengajak orang berpuasa. Jadi daripada mengajak orang membatalkan puasa, saya sekarang memilih mengajak orang puasa. Kalau sahur bersama artinya kan saya mengajak orang besok berpuasa. Perkara besok setelah sahur bersama mereka puasa atau tidak, bukan urusan saya, yang penting saya sudah mengajak," kata perempuan berkerudung yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 8 Maret 1948, ini dalam kegiatan sahur bersama dengan masyarakat di pendopo Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Rabu dini hari.

Ibu Shinta yang dalam kegiatan itu ia didampingi oleh Bupati Bondowoso KH Salwa Arifin, Dandim Bondowoso Letkol Inf Tarmuji, Kapolres Bondowoso AKBP Febriansya dan sejumlah anggota Forkopimda itu juga mengemukakan alasan lainnya memilih kegiatan sahur keliling.

"Alasan lainnya karena kalau buka puasa bersama itu kan sudah banyak dan ada dimana-mana. Ada di masjid, hotel-hotel, rumah gedongan dan lainnya. Bahkan kadang yang mengundang untuk buka puasa bersama itu tidak puasa, termasuk kadang-kadang yang buka puasa bersama juga tidak puasa," katanya sambil tersenyum.

Ibu dari empat anak yang menyandang gelar magister humaniora atau MHum bidang kajian perempuan di Universitas Indonesia ini mengemukakan bahwa dalam kegiatan di bulan Ramadhan itu biasanya dia makan bersama dengan kuli bangunan, abang becak, pengamen dan lainnya. Ia kemudian makan sahur bersama dengan mereka di kolong jembatan, di pasar-pasar atau di pinggir jalan bersama dengan para pengamen.