Jejak Islam dan Soekarno di Dagestan, Rusia Oleh M. Wahid Supriyadi*

id dubes ri di moskow

Jejak Islam dan Soekarno di Dagestan, Rusia  Oleh M. Wahid Supriyadi*

dav

Moskow, Rusia (ANTARA) - Nama kedua anak itu bernama Sukarno bin Kamil (Rusia: Sukarno Kamilevich) dan Sukarno bin Muhammad (Rusia: Sukarno Magomedovich), berumur 12 dan 10 tahun. Orang tua mereka kakak adik, jadi mereka saudara sepupu, tinggal sekitar 1 jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan. Mereka datang ke Makhachkala atas undangan Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara, yang baru saja saya resmikan (26/03/19).

Ceritanya panjang, kata Abdulaev. Dimulai dari Musa Gashimovich, yang pada Juni 1961 menghadiri sidang Partai Komunis di Kremlin. Dia warga asli Dagestan yang saat itu menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani (Kolkhoz). Pada sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet kala itu hadir beberapa kepala negara asing, termasuk Presiden pertama RI, Sukarno. Sidang hari itu jatuh pada hari Jum’at.  Ketika saatnya waktu dzuhur, tiba-tiba Presiden Sukarno berdiri dan minta ijin kepada Sekjen Partai Komunis, Nikita Khrushchev, untuk meninggalkan ruangan karena akan menunaikan sholat. Nikita Khrushchev pun mengijinkan.

Musa pun terkejut dan seolah tidak percaya. Kegiatan beragama, termasuk Islam, selama jaman Uni Soviet dilarang atau dilakukan diam-diam. Menurut Musa, apa yang dilakukan oleh Sukarno sangatlah luar biasa dan di luar pikiran kebanyakan orang Rusia ketika itu. Atas kekagumannya pada Sukarno, Musa pun memberi nama anaknya Sukarno bin Musa (Sukarno Musaevich), yang lahir pada tahun 1962. Menurut Abdulaev, Musa sempat menulis surat kepada KBRI Moskow kala itu untuk meminta ijin memberi nama anaknya “Sukarno”, tapi tidak pernah dijawab.

Salah seorang anak Sukarno, Kamil menamai anaknya Sukarno bin Kamil (Sukarno Kamilevich). Anehnya, saudara sepupu Kamil, Muhammad, juga memberi nama anaknya Sukarno bin Muhammad (Sukarno Magomedovich) karena kekagumannya pada bapaknya (Musa). Nah berarti kedua anak yang datang pada peresmian Pusat Nusantara tersebut, Sukarno bin Kamil dan Sukarno bin Muhammad, adalah cicit dari Musa Gashimovich yang hadir di sidang Konggres Partai Komunis Uni Soviet 1961.

Sampai saat ini nama Sukarno masih banyak dikenal oleh generasi tua, terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Soekarno seperti di Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan. Di Moskow, Soekarno mengunjungi Masjid Katedral (Agung) yang saat itu sangat kecil dan fotonya masih tersimpan di masjid kebanggaan umat Muslim Rusia. Di Saint Petersburg dalam kunjungannya tahun 1956, Soekarno meminta Nikita Khrushchev agar mengijinkan kembali dibukanya Masjid Biru sebagai tempat ibadah umat Islam. Khrushchev pun mengijinkannya 10 hari setelah kunjungan Soekarno. Imam Masjid Biru, Cafer Nasibullahoglu, pun mengakui jasa Soekarno.

Demikian juga dengan cerita makam Imam Bukhari. Walaupun tidak ada sumber sejarah resmi, masyarakat Samarkand sampai saat ini meyakini bahwa makam Imam Bukhari dibangun oleh Uni Soviet atas jasa Soekarno. Konon Soekarno bersedia memenuhi undangan Nikita Khruschev dengan syarat ditemukannya makam Imam Buchari. Dan benar saja Khruschev memenui syarat itu dan Soekarno sendiri dalam rangkaian kunjungannya tahun 1956 mengunjungi makam tersebut dengan perjalanan kereta api yang ditempuh sekitar 3 hari.

Republik Dagestan adalah salah satu negara bagian yang memiliki kekhasan di Rusia. Ada 22 negara bagian di Rusia dengan nama Republik karena mayoritas penduduknya bukan etnis Rusia. Walaupun secara resmi nama itu sudah dihapus, namun masih banyak yang menyebutnya sebagai republik, seperti Republik Tatarstan, dengan kepala pemerintahannya bergelar presiden. Sebagaimana Chechnya dan Tatarstan, mayoritas penduduk Dagestan beragama Islam, bahkan Menteri Kebijakan Nasional dan Agama Republik Dagestan, Enrik Muslimov, menyebut sekitar 95 persen warga Dagestan beragama Islam.

Secara kasat mata memang terlihat banyak masjid di Dagestan. Kita bisa mendengarkan suara adzan dan para wanitanya sebagian mengenakan jilbab, persis seperti di Indonesia. Tidak sedikit juga yang menggunakan baju modis ala wanita modern. Bahkan mereka umumnya berparas cantik karena campuran dari Persia, Arab, Barat dan lokal. Islam di Dagestan cukup toleran dan moderat dan beraliran Sunni seperti di Indonesia.
 

Di Makhachkala terdapat masjid yang diklaim sebagai yang terbesar di Rusia dan bahkan Eropa mengalahkan Masjid Katedral di Moskow. Masjid Jumma Makhachkala dapat menampung sekitar 17 ribu jamaah, dibanding Masjid Katedral Moskow yang hanya menampung 10 ribu orang. Bahkan saat ini sedang dibangun Islamic Center di tanah seluas 35 ha, dengan masjid yang akan mampu menampung sekitar 50 ribu jamaah. Beruntung saya sempat melihat pembangunan kompleks masjid dan Pusat Studi Islam ini dan menanam pohon perdamaian.

 Sekitar 170 kilometer ke arah selatan dari Makhachkala, atau  2,5 jam perjalanan darat,  terdapat kota tua Derbent yang telah berumur sekitar 2 ribu tahun bahkan lebih. Derbent dimasukkan UNESCO menjadi salah satu kota “heritage” yang dilindungi. Di situ terdapat benteng Naryn-Kala yang dibuat abad VI oleh Kerajaan Sasanian untuk melindungi diri dari serangan penduduk pegunungan Kaukasia.

Di kota itu juga terdapat masjid tertua yang dibangun tahun 734 atau 10 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat di jaman Kekhalifaan Rasyidin di bawah Abu Bakar, melalui peperangan. Tidak jauh dari masjid terdapat makam kuno para martir yang sampai saat ini masih dirawat dengan baik.

Selama ini Dagestan dianggap sebagai wilayah konflik dan bahkan situs-situs perjalanan masih menyebutkan daerah ini tidak aman untuk turis. Ternyata keadaan di lapangan berbicara lain. Di luar acara resmi, saya meminta untuk berkunjung ke pasar. Pasar adalah potret kehidupan masyarakat umum yang tidak bisa direkayasa. Protokol pun memenuhi permintaan saya. Saya melihat suasana yang ramai seperti pasar pada umumnya, tidak melihat adanya tentara yang berjaga, hanya satpam biasa. Kedatangan saya menarik para penjual, mungkin karena wajah saya berbeda dan mereka jarang melihat turis dari Asia Tenggara. Setelah mengetahui yang datang dari Indonesia, ramai-ramai mereka menawarkan oleh-oleh kepada saya untuk dibawa pulang. Hal ini sangat menyentuh hati. Saya pun harus mencari tas tambahan untuk membawa oleh-oleh dari mereka.

  

*. Penulis adalah Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus. Tulisan ini bersifat pribadi.

Tulisan ini dikirim melalui email dari Pensosbud KBRI Moskow
Dubes RI M Wahid Supriyadi saat kunjungi pasar. (dok.KBRI Moskow)