Menakar netralitas TNI-purnawirawan dalam Pilpres

id tni, pilpres, netralitas tni,netralitas tni-purnawirawan

Menakar netralitas TNI-purnawirawan dalam Pilpres

Lambang TNI (antara/istimewa)

TNI adalah kekuatan yang tak ternilai besarnya bagi seluruh rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sekalipun pemilihan presiden- wakil presiden serta  anggota DPD-RI, DPR-RI serta DPRD  tingkat satu dan II akan berlangsung lima bulan lagi atau tepatnya pada April 2019, tetapi situasi hangat atau bahkan panas sudah terasa di hampir seluruh daerah di Tanah Air.

Pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini  hanya akan diikuti dua pasangan calon yaitu nomor urut satu Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta nomor urut dua Prabowo Subianto-Sandaiaga Salahuddin Uno, namun para kandidat telah mengerahkan segala daya dan dana untuk merebut hati sekitar 191 juta pemilih. Berbagai daya upaya dikerahkan untuk menarik simpati para pemilih.

Suara partai- partai politik baik yang sudah lama berdiri maupun yang baru "lahir" demi politik terus diperebutkan. Jutaan pemilih praktis sudah mengetahui partai mana saja yang 99,99 persen bakal mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin serta mana yang bakal memilih Prabowo-Sandiaga.

Tidak ketinggalan begitu banyak ormas alias organisasi kemasyarakatan yang terus "dipelet" atau dirayu supaya para anggota dan simpatisannya langsung mencoblos gambar calon dengan nomor urut satu ataupun dua.

Namun di tengah-tengah hiruk-pikuk upaya mewujudkan pemilihan presiden tersebut yang jujur, adil tersebut ada satu unsur yang juga diperebutkan oleh dua pasangan kontestan tersebut, yaitu Tentara Nasional Indonesia atau TNI serta kepolisian Republik Indonesia.

Jumlah anggota TNI memang tak banyak, paling- paling 400.000- 500.000 orang prajurit sedangkan jajaran Polri mungkin ada pada kisaran angka 300.000  orang.

Akan tetapi Jokowi-Ma'ruf serta Prabowo-Sandiaga terlihat  sadar betul bahwa ratusan ribu prajurit TNI serta Polri itu  mempunyai satu kelebihan yang tak dimiliki oleh partai politik atau ormas bahkan lembaga swadaya masyarakat alias LSM yang mana pun juga di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Bisa dikatakan 99,99 persen  prajurit kekuatan pertahanan dan keamanan amat dihormati, dihargai bahkan dipuji rakyat Indonesia.

Tak kalah pentingnya adalah semua prajurit TNI dan Polri hampir setiap hari menjalankan tugas dengan menenteng senjata mulai dari senjata ringan seperti pistol hingga senapan otomatis, panser, tank, kapal perang, pesawat tempur hingga bahan yang lazim disebut "nubika"   alias nuklir dan biokimia. Prajurit-prajurit itu tidak hanya bertugas di dalam negeri tapi juga di luar negeri.

Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sejak tahun 1950-an telah  puluhan kali memberikan kepercayaan atau amanah kepada ribuan personel TNI dan Polri untuk bergabung dalam pasukan perdamaian PBB seperti   di Kongo dan hingga detik ini di Lebanon. Mereka setiap hari harus menjaga keamanan di negara-negara yang sedang dilanda konflik internal maupun internasional.

Melihat bahwa TNI dan Polri begitu dihormati, maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah para politisi sanggup "memikat hati" ratusan ribu prajurit TNI dan Polri itu untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden mereka pada April 2019?
   
Joko Widodo  salah satu calon yang saat ini menjadi Presiden  dan bahkan selaku Panglima Tertinggi TNi di depan ratusan komandan komando resor militer alias Danrem  dan juga komandan distrik militer atau Dandim di Bandung, Jawa Barat pada Senin, 26 November 2018 juga menyinggung masalah netralitas TNI.

Presiden menegaskan bahwa netralitas TNI harus betul- betul dijaga demi stabilitas poltitik yang berujung kepada pembangunan.

Sementara itu, Kepala staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono yang akan sgera menyerahterimakan jabatannya kepada jenderal TNI Andika Perkasa menegaskan bahwa prajurit tidak dibiarkan terkotak-kotak dalam kegiatan politik praktis.

Seluruh jajaran TNI  sadar betul bahwa mereka tidak diperkenankan terlibat dalam kegiatan politik praktis  sehingga secara resmi tak dibenarkan atau kasarnya " haram" mendukung calon presiden dan wakil presiden yang mana pun juga.

Akan tetapi,  kenapa suara TNI   amat diperhitungkan oleh politisi atau partai politik yang mana pun juga?

Keluarga besar
  
Setiap anggota TNI dan juga Polri bisa dikatakan mempunyai istri, atau  suami serta anak-anak dan juga orang tua, adik, kakak serta keluarga terdekat lainnya.

Jumlah keluarga besar TNi dan Polri itu bisa dibilang jutaan orang sehingga suara mereka pasti sangat penting bagi pemenangan dalam pemilihan umum. Belum lagi jika keluarga besar TNI itu berhasil meyakinkan orang- orang di sekitarnya supaya memilih calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Jadi, bisa dibayangkan betapa berpengaruhnya dukungan secara tidak langsung oleh ratusan ribu prajurit TNI dalam pemiihan umum mendatang pada 2019.

Prajurit- prajurit TNI pasti tak mungkin menenteng atau bahkan dilarang secara hukum memaksa keluarganya atau orang- orang di sekitarnya untuk mencoblos pasangan tertentu dalam pesta demokrasi.

Karena itu, yang paling diharapkan dari para prajurit itu adalah mendorong lingkungannya untuk memilih calon- calon presiden yang terbaik bagi bangsa indonesia untuk masa bakti 2019-2024, atau mereka menjadi panutan untuk menentukan pilihan.

Memang mustahil atau hampir tak mungkin  bila mengharapkan  pemilihan umum 2019 akan menghasilkan pemimpin yang l 100 persen sesuai dengan kebutuhan atau keinginan rakyat, tetapi para pemilih, rakyat Indonesia pasti mengharapkan dari pilpres itu akan muncul pemimpin yang 90 persen atau 95 persen mendekati harapan rakyat.

Salah satu yang amat dinantikan bagi pemilu mendatang adalah bagaimana pula peranan para purnawirawan dalam mendukung calon- calon presiden mendatang tersebut.

Para pemilih pasti sudah bisa melihat betapa banyak jenderal purnawirawan "bertaburan" di sekitar Joko Widodo dan Prabowo Subianto.  
   
Para pensiuman jenderal itu tentu sah- sah saja menjatuhkan pilihannya apalagi sebagai seorang warga negara sipil telah memiliki hak politik penuh untuk memilih presiden dan wakil presiden.

Di lingkaran Jokowi misalnya  ada nama Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko yang jabatannya sekarang adalah Kepala Staf Kepresidenan. Juga ada nama-nama Luhut Binsar Panjaitan serta Agum Gumelar. Sementara itu, di jajaran Prabowo, terdapat nama  Jenderal TNI Purnawirawan Djoko Santoso serta sejumlah "bintang" lainnya.

Sekalipun  bukanlah perang di medan laga yang sesungguhnya, para purnawirawan tersebut pasti sudah menyusun siasat perang atau strategi untuk meraih simpati 191 juta calon pemilih. Pasti perang urat syaraf alias "psy war" pun sudah ditabur  genderangnya atau dikumandangkan demi memenangkan "pertempuran" politik ini.

Jadi rakyat bisa merasakan dan melihat betapa akan serunya upaya untuk meraih simpati dari ratusan ribu prajurit TNI dan juga Polri demi kemenangan dama Pemilu 2019.

 Akan tetapi, semua calon presiden-- tanpa kecuali-- dan juga para pemimpin partai politik harus tahu diri  untuk tidak memperebutkan suara keluarga besar TNI serta Polri dengan cara yang melanggar hukum.

TNI adalah kekuatan yang tak ternilai besarnya bagi seluruh rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harapan rakyat bisa dibilang cuma satu yakni agar kedua kubu kandidat presiden dan wakil presiden tidak  menjerumuskan TNI dan Polri serta keluarga  besar mereka ke dalam jurang kesalahan.