Gempa yang mengguncang jiwa

id gempa palu

Gempa yang mengguncang jiwa

Petugas membawa jenazah yang ditemukan dalam reruntuhan bangunan di Kelurahan Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10). (FOTO: ANTARA/Mohamad Hamzah)

Anak yang terguncang jiwanya akibat bencana dan tak segera dipulihkan akan bungkam, sulit untuk diajak bicara. Kemudian setelahnya ia jadi sering melamun pada dunianya yang lain
Ronald berdiri termenung menatap eskavator bekerja menggali lumpur bercampur reruntuhan rumah warga di Kelurahan Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Lumpur dan reruntuhan yang digali itu adalah rumah di mana bibinya yang hilang belum ditemukan.

Ronald memakai peci dan gamis putih, berdiri di atas gundukan lumpur kering sambil menggandengkan kedua tangannya di belakang. Dia bersama pamannya telah menunggu proses evakuasi sejak pagi, berharap ada jenazah bibinya yang mungkin bisa dikenali lewat pakaian.

Anak berusia 13 tahun itu teramat murung. Sangat terlihat duka masih mengairi wajahnya. Jikapun tersenyum, dia hanya memberikan senyum tipis yang terasa getir.

Gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR) yang berpusat di timur laut Kabupaten Donggala memicu likuifaksi di Perumnas Balaroa. Membuat lokasi padat penduduk itu luluh lantak akibat tanah yang amblas menimbun semua yang ada di atasnya.

Wikipedia menulis bahwa likuifaksi (soil liquefaction) atau pencairan tanah adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.

Seperti halnya warga Balaroa lainnya, bencana yang terjadi pada Jumat 28 September 2018 sebelum Maghrib itu membuatnya kehilangan bibi dan dua adik sepupu yang dekat dengannya.

Sepanjang perbincangan dengan Antara, suara Ronald kecil dan tampak lesu. Hingga akhirnya saat hendak berpisah ia mengucap salam perpisahan, "dadah kak", sambil tersenyum yang tanpa getir. Senyum murni yang terlihat senang karena sudah ditemani.

Sungguh sikap Ronald sangat berbeda dibandingkan dengan anak-anak di tenda pengungsian Kantor Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah.

Anak-anak di Dinsos Sulteng sangat tampak bahagia sebagaimana anak-anak mestinya, kendatipun mereka habis dilanda bencana yang sama dengan Ronald.

Yang membedakan adalah anak-anak di Dinsos Sulteng ditangani dengan upaya pemulihan trauma, sedangkan Ronald tidak.

"Apakah kita siap memetik generasi masa depan yang pemurung, pendiam, kurang percaya diri dan sebagainya," kata pemerhati anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi.

Kasus seperti Ronald apabila tidak tertangani dengan upaya pemulihan trauma secara tepat, akan berpengaruh pada pembentukan karakter dan kepribadiannya di masa mendatang.

Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terguncang jiwanya saat mengalami peristiwa bencana, namun juga menjadi yang paling cepat untuk pulih.

Anak yang terguncang jiwanya akibat bencana dan tak segera dipulihkan akan bungkam, sulit untuk diajak bicara. Kemudian setelahnya ia jadi sering melamun pada dunianya yang lain.

Bila hal itu terus berlanjut, dia akan tidak optimal bila melanjutkan sekolah. Anak yang tadinya cerdas, kata Seto, akan berubah menjadi tampak bodoh apabila tidak ada pendekatan pemulihan pascabencana.

"Dampaknya anak-anak jadi kurang percaya diri, anak yang cepat marah, mudah meledak-ledak secara negatif, penuh dengan masalah, tidak bisa bekerja sama, tidak percaya pada orang, potensi-potensinya akan redup," papar Seto.

Dunia anak-anak adalah dunianya bermain. Maka yang harus dilakukan adalah mengajak mereka bermain dan menggembirakannya agar lupa terhadap bencana. Sesederhana itu.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto setuju bahwa upaya pemulihan trauma perlu digencarkan oleh semua pihak.

Setiap orang memiliki peran dalam upaya pemulihan trauma pascabencana. Namun hati-hati, kata Yurianto, upaya pemulihan trauma jangan menjadi kontradiktif dengan adanya hal-hal yang malah membangun trauma.

Setiap lembaga atau organisasi kemanusiaan bisa berkontribusi dengan mengirimkan relawan untuk program pemulihan trauma. Sementara media massa, jangan lagi membangun trauma dengan menampilkan video detik-detik kejadian bencana yang akan mengingatkan pada kengerian kala itu.

Sedangkan para "warganet", sangat dimohon untuk bersikap dan berbuat bijak agar tidak menebar kabar bohong atau hoaks.

Menyebarkan informasi seperti Palu akan tenggelam, atau akan ada gempa susulan yang lebih besar, mungkin tak berdampak bagi yang tidak merasakan bencana. 

Tapi bagi para penyintas, berita bohong sangat cukup untuk membangkitkan kengerian akan getaran gempa dahsyat yang pernah dirasakannya.

Suara-suara tentang "Palu Bangkit" tentu lebih baik ketimbang ajakan "Pray for Palu" yang mendayu-dayu