Jangan pilih kepala daerah koruptor

id pilkada serentak,gubernur, wali kota, bupati

Jangan pilih kepala daerah koruptor

Ilustrasi (ANTARA)

Para pimpinan partai politik beserta ribuan tokoh dengan hati dag-dig-dug menanti hasil pemungutan suara pemilihan kepala daerah di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, 27 Juni 2018. Mereka ingin mengetahui apakah jagoannya dipilih rakyat atau tidak.

Gara-gara pemungutan suara di 171 daerah itu, ribuan orang yang merasa layak untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota ramai-ramai mendaftarkan diri ke komisi pemilihan umum (KPU), baik di tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten. Mereka amat menaruh harapan agar gambar mereka di surat suara dicoblos oleh para pemilih sehingga bisa menjadi kepala daerah.

Entah mengapa begitu banyak orang yang berebut posisi kepala daerah di daerahnya masing-masing? Mudah-mudahan mereka memang pantas menjadi tokoh-tokoh lokal untuk memperjuangkan aspirasi rakyat setempat.

Karena akan berlangsungnya pesta demokrasi lima tahunan itu, tidal kurang dari Presiden RI Joko Wido dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan harapannnya.

Jokowi yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Surakarta sehingga berpengalaman sebagai kepala daerah menyampaikan harapannya agar pesta demokrasi ini bisa berlangsung dengan damai dan lancar sekalipun bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan agama serta latar belakang kebudayaan yang beraneka ragam sehingga prinsip Bhinneka Tunggal Ika harus dijunjung tinggi.

Harapan Kepala Negara itu tentu amat wajar karena lebih dari 90 persen calon kepala daerah itu berasal dari begitu banyak partai politik, bahkan ada yang datang dari kalangan perseorangan alias independen. Sebut saja ada yang datang dari PKB, PKS, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, serta beberapa partai lainnya.

Pada tahun 2019 (kalau jadwalnya tak berubah), pada bulan April akan berlangsung pemiihan anggota DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hingga Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Penyelenggara pesta ini adalah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) hingga KPU di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten.

Penyelenggara lainnya pada Pemilu 2019 adalah Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI), kemudian Bawaslu tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Selain itu, juga ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bertugas bersidang jika ada perselisihan.

Untuk mengawal pesta 27 Juni itu, Polri yang didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengerahkan ratusan ribu prajurit mereka supaya acara akbar ini bisa berlangsung secara aman. Kehadiran anggota Polri dan TNI ini terasa makin penting karena ratusan juta rakyat di Tanah Air pernah merasakan atau mengetahui adanya kelompok- kelompok teroris yang berusaha mengacaukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang amat dicintai ini sehingga harus terus dijaga keselamatannya.

Oleh karena itu, Komandan Komando Resor Militer (Korem) 161 Wirabakti Kupang Brigadir Jenderal TNI Teguh Muji menegaskan bahwa pihaknya siap mengamankan pilkada pada tanggal 27 Juni 2018 itu agar bisa berlangsung dengan baik dan lancar.

Apabila KPU, Bawaslu, DKPP, serta Polri dan TNI sudah siap menjamin pilkada serentak ini, pertanyaannya adalah apakah semua parpol yang menjadi peserta pesta demokrasi ini juga siap melaksanakan pesta ini sehingga berlangsung jujur dan adil atau jurdil? Pertanyaan mendasar yang pantas diajukan oleh para pemilih adalah apakah semua partai telah menyeleksi dan memilih calon-calon kepala daerah itu secara baik karena selama beberapa bulan terakhir ini saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap atau bahasa halusnya menahan beberapa kepala daerah yang disangkakan melakukan korupsi atau menerima suap yang kini acap kali disebut gratifikasi.

Sebut saja nama Gubernur Jambi Zumi Zola yang dituduh melakukan korupsi dalam pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2018 yang bernilai miliaran rupiah. Berikutnya, Immas Ayumningsih yang merupakan Bupati Subang, Jabar, yang yang didakwa terlibat dalam kasus korupsi pembangunan proyek pelabuhan Patimban. Selain karena seorang perempuan, dua pendahulu Immas juga ditangkap KPK atas kasus yang sama, yakni korupsi juga. Selanjutnya, Marianus Sae yang merupakan Bupati Ngada yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Pilihlah yang Baik Semua partai politik yang mengajukan "jagoan-jagoan" mereka pada pilkada serentak seharusnya menampilkan calon-calon yang bersih dalam arti tidak pernah korupsi atau memakan uang rakyatnya atau sedikitnya tidak terindikasi atau menunjukkan tanda-tanda bakal melakukan penyalahgunaan uang rakyat yang tercantum dalam APBD masing-masing daerah.

Namun, pada kenyataannya penangkapan Bupati Purbalingga yang bernama Tasdi pada tanggal 4 Juni 2018 serta rekan-rekannya yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa masih ada saja pejabat negara yang amat tega "memakan" uang rakyatnya sendiri. Rakyat amatlah pantas bertanya-tanya mengapa masih ada saja pejabat yang justru sudah diberi amanah untuk menjadi pemimpin di daerahnya malahan justru tetap "berkorupsi ria".

Sekalipun para pejabat itu masih harus dibawa ke "meja hijau" untuk membuktikan kesalahan mereka dari segi hukum, masyarakat tentu pernah mengetahui bahwa 99 persen pejabat yang diseret lembaga antirasuah itu telah terbukti secara hukum menyalahgunakan tugas dan wewenang mereka.

Selama ini, ada anggapan bahwa para bupati, wali kota, hingga gubernur itu melakukan tindak pidana korupsi karena mereka telah menghabiskan dana miliaran rupiah supaya terpilih sebagai pejabat daerah. Bahkan, KPK pernah memperkirakan bahwa untuk pemilihan wali kota atau bupati saja, seseorang harus menyediakan "anggaran" sedikitnya Rp15 miliar hingga Rp20 miliar.

Kalau si A, misalnya terpilih jadi pejabat, yang pertama-tama dipikirkannya adalah bagaimana mengembalikan "modal "itu, apalagi tidak semua orang, terutama pejabat merupakan orang kaya atau mampu. Setelah "modal" kembali, mereka berpikir bagaimana mencari "untung sekadarnya" agar kalau tak terpilih lagi untuk masa jabatan keduanya, sudah bisa "hidup" tujuh turunan.

Pilihan untuk "memakan" uang rakyat itu biasa dilakukan dengan mengajak para pengusaha yang berminat menggarap proyek-proyek pemerintah yang nilainya miliaran rupiah, asalkan sang usahawan mau memberikan "imbalan" yang lazimnya disebut "fee".

Jadi kalau seorang gubernur, bupati, dan wali kota "sukses" mengajak beberapa pengusaha untuk "berkolusi", tentu "fee"-nya makin besar. Jika hal itu sampai terjadi, tentu saja "kantung" sang pejabat menjadi sangat tebal.

Karena pilkada serentak tinggal beberapa hari lagi, rakyat atau ratusan juta pemilih tentu amat berhak bertanya kepada semua partai politik apakah para calon gubernur, bupati, dan wali kota itu sudah benar-benar merupakan orang yang suci dan "tak doyan duit" lagi? Apabila para pejabat daerah 5 tahun mendatang itu sudah benar-benar menjadi orang yang benar-benar "amanah" terhadap kepercayan yang diberikan masyarakat, hati jutaan pemilih bisa menjadi tenang. Akan tetapi, jika pilkada ini cuma menghasilkan koruptor-koruptor, pertanyaan mendasarnya adalah apakah partai-partai politik itu masih diperlukan atau tidak oleh rakyat? Jika praktik-praktik kotor dan busuk itu tetap terjadi, jangan heran jika suatu saat rakyat menghendaki lagi agar pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota berlangsung seperti masa lalu saja yaitu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Jadi harapan rakyat pada acara lima tahunan yang bakal berlangsung pada tanggal 27 JUni 2018 adalah dihasilkannya para pemimpin daerah yang mampu melaksanakan harapan rakyat yang tak muluk-muluk, yakni cukupnya dan terjangkaunya sembilan bahan pokok, murahnya biaya pendidikan dan kesehatan, hingga tak sulitnya mencari pekerjaan.