Sutyarso Anak Petani Jadi Guru Besar Biomedik Unila

id Prof Sutyarso Guru Besar Biomedik, Anak Petani Jadi Guru Besar Biomedik, Guru Besar Biomedik Unila, Prof Sutyarso

Sutyarso Anak Petani Jadi Guru Besar Biomedik Unila

Prof Sutyarso bersama keluarga jelang pengukuhan guru besar biomedik FMIPA Unila. (FOTO: ANTARA Lampung/ist-dok keluarga))

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - "Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi guru, dan cita-cita itu telah terkabulkan meskipun harus diraih dengan perjuangan sangat berat," ujar Prof Dr Sutyarso MBiomed.

Sutyarso baru dikukuhkan menjadi guru besar biomedik di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Lampung (Unila) di Provinsi Lampung.

Sutyarso, lahir 24 April 1957 di Dusun Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara yang berasal dari keluarga kurang mampu (miskin).

Putra bungsu dari kedua orang tuanya, Ginem dan Sangido Adipawiro ini lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang hidup sebagai petani penggarap dan buruh tani dengan gizi yang serba terbatas. Makanan sehari-harinya adalah nasi tiwul yang dikonsumsinya hingga lulus SMA.

Namun dalam keluarga yang serba kekurangan ini, Sutyarso menuturkan bahwa sejak muda memang bercita-cita menjadi guru SMP. Untuk sampai pada cita-citanya ini, pada usia 7 tahun ia masuk sekolah dasar negeri di kampungnya, dan selanjutnya masuk MTs/SMP dan SMA.

Menurut Sutyarso, dia tergolong anak yang patuh kepada orang tuanya, dan berusaha selalu membantu pekerjaan orang tua. Bahkan tidak jarang sepulang sekolah, ia juga menawarkan tenaganya kepada petani lain di desanya untuk mendapatkan uang agar bisa membayar sekolah dan meringankan beban orang tuanya.

Orang tuanya juga memelihara kambing milik orang lain (menggaduh) dengan cara bagi hasil. Namun agar kambing gaduhan ini bermanfaat, Sutyarso sadar harus bertanggung jawab mencarikan rumput, memelihara, dan menggembalakan dengan baik. Semua itu harus dijalaninya dengan tekad dan niat kuat, belajar sambil bekerja pun tekun ia jalani hingga tamat SMA.

Dia menuturkan, saat itu untuk menjadi guru SMP harus mengambil kuliah satu tahun masuk ke PGSLTP (pendidikan guru sekolah lanjutan tingkat pertama) atau sekarang dikenal pendidikan D-1.

              Hidup Merantau
Namun, setamat SMA tahun 1976 itu orang tuanya mengatakan, "Aku wis ora sanggup nguliahke kowe, wis kono nyusulo kakangmu neng Jakarta, golek gawean trus kuliaho dewe." ("Aku sudah tidak sanggup membiayai kuliah, sebagai orang tua merestui untuk merantau ke Jakarta menyusul kakakmu untuk mencari pekerjaan supaya bisa kuliah dengan biaya sendiri.").

Berbekal ijazah SMA dan restu orang tua, maka pada tahun 1977, dia meninggalkan dusun kelahirannya untuk merantau ke Lampung kemudian ke Jakarta. Ia akhirnya bisa bekerja di Jakarta sebagai kuli bangunan, tukang penjaga pintu masuk (sobek karcis) Kebun Binatang Ragunan, tukang cuci piring di rumah makan, dan lain-lain perkerjaan serabutan bisa dijalaninya.

Semua pekerjaan itu digelutinya selama tiga tahun, dan setelah merasa memiliki cukup uang yang disimpan dan atas dukungan kakaknya, kemudian Sutyarso mendaftar kuliah di Fakultas Biologi Universitas Nasional.  
Bekerja sambil kuliah tetap tegar ia jalani, tetapi mulai tingkat dua kuliah, pekerjaan/buruh kasar yang lama ia tingggalkan dan beralih menjadi guru SMP seperti yang ia cita-citakan. Setelah lulus Sarjana Muda Biologi (BSc) kemudian menjadi guru SMA dan Asisten Dosen hingga tamat sarjana biologi (Drs) pada tahun 1986.

Dengan bekal ijazah Sarjana Biologi ini, Sutyarso melamar dan mengikuti tes CPNS dosen di Universitas Lampung (Unila). Terhitng mulai 1 Maret 1987 resmi menjadi dosen pada Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan MIPA FKIP Unila.

Setelah resmi menjadi dosen inilah, Sutyarso mengaku lebih percaya diri. Ia pun berusaha melupakan masa-masa sulitnya, dan mulai melirik serta mencari gadis yang bersedia menjadi istrinya. Ia kemudian dipertemukan dan berjodoh dengan gadis cantik dan salehah berasal dari Tanah Betawi bernama Siti Latifah yang dinikahinya pada tahun 1988.

Tuntutan institusi yang mengharuskan seorang dosen berpendidikan magister (S-2) dan doktor (S-3), mendorongnya lagi untuk melanjutkan pendidikan S-2. Namun, saat itu istrinya tetap tinggal di Tanah Betawi tinggal bersama di rumah mertua atau disebutnya "perumahan mertua indah" Jakarta.

Ia merasa diuntungkan dengan aturan harus melanjutkan kuliah lagi itu, dan pada tahun 1989 diputuskan melanjutkan pendidikan pascasarjana (S-2) di Program Studi Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta.

Namun mereka berbekal kecerdasan yang minimal, tapi dengan dukungan istri yang maksimal, tekad Sutyarso kuat untuk lulus magister (S-2) pada tahun 1992, dan kemudian lulus doktor (S-3) pada tahun 1997. "Di balik keberhasilan seorang suami, ada istri yang tangguh di belakangnya," ujarnya seraya tersenyum, mengenang masa-masa lalunya tersebut.

Dia pun mulai tampil ke publik dan mendapatkan kesempatan wawancara, antara lain di Kantor Berita ANTARA berkaitan bidang ilmu dan profesi yang ditekuninya. Pada salah satu wawancara dari hasil risetnya, dia menyebutkan bahwa jenis kelamin anak kita dapat "diatur" dan direncanakan secara ilmiah. "Semuanya memang tetap berhantung pada kuasa Allah SWT, tapi sebagai manusia secara ilmiah dan logis kita dapat berusaha memiliki anak seperti yang kita inginkan, laki-laki atau perempuan, dengan cara dan teknik tertentu," ujarnya pula.

Sutyarso pun menjadi terkenal atas pernyataan ilmiahnya itu. "Sampai sekarang masih ingat wawancara bertahun-tahun lalu itu, istilah sekarang sempat menjadi viral, padahal sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru, dan sebagian wawancara justru dilakukan melalui telepon," katanya lagi.

Selain sebagai dosen, dengan ruangan kerja sehari-hari di FMIPA Unila yang terbilang tidaklah luas dan jauh dari kesan mewah itu, Sutyarso mendapatkan tugas tambahan, antara lain Ketua Program Studi Biologi Persiapan Fakultas MIPA Unila (1992-1994), Ketua Jurusan Biologi Fakultas MIPA Unila (1998-2000), Pembantu Dekan Bidang Akademik (PD I) Fakultas MIPA Unila (2001-2005), Kepala Bagian Ilmu Biomedik Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) Unila (2005-2008), Dekan Fakultas MIPA Unila (2008-2011), dan Dekan Fakultas Kedokteran Unila (2011-2015).

Puncaknya, tahun 2016 lalu, Sutyarso mengusulkan jabatan fungsional profesor (guru besar) ke Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) sebagai guru besar tetap di Unila dalam bidang Ilmu Biomedik.

              Penuaan dan Seksualitas
Pada pidato ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar biomedik di Unila itu, Sutyarso mengangkat topik "Penuaan dan Fungsi Seksual", satu topik yang dipastikan akan menjadi perhatian publik.

Dia menjelaskan bahwa batasan proses penuaan (aging) sebagai proses alamiah dari semua kehidupan terkesan tidak bisa berbuat apa-apa, tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk menghambat  proses penuaan itu, sudahlah usang. Berbagai patogenesis tentang aging mulai dari penurunan kadar hormon pada usia lanjut (lansia), penurunan sistem kekebalan (imunitas) tubuh, fungsi seksual dan seksualitas, defisiensi nutrisi, radikal bebas, apoptosis, kerusakan DNA sampai predisposisi genetik telah membawa kita pada konsep pendekatan multipatologi.

Menurutnya, kini orang mulai menyadari bahwa proses menua sesungguhnya harus dianggap sebagai penyakit dan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. "Ini merupakan penyakit degeneratif dan berjalan progresif dengan merusak setiap sel, jaringan dan organ tubuh manusia yang selanjutnya berakhir fatal," katanya pula.

Ia menjelaskan, sebagai antisipasi, dunia kedokteran mulai menerima konsep aging dapat dicegah dan diobati (aging is preventable and aging is treatable). Dengan demikian berbagai upaya pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan untuk mengatasi gangguan defisiensi nutrisi, suplemen, hormon, imunitas, anti-oksidan, gaya hidup, seksualitas, obesitas sampai terapi stem-cells dan terapi gen telah diteliti untuk menghentikan, menghambat bahkan Aging Reversal atau membalikkan proses menua.  

Sutyarso menguraikan, seksualitas tetap menjadi komponen penting dari kualitas hidup sepanjang rentang hidupnya. Spektrum seksualitas pada penuaan meliputi biologi, psikologi, dan sosial. Dengan demikian ekspresi penuh seksualitas sangat tergantung pada faktor biologi, psikologis, dan faktor sosial. Hormon testosteron merupakan penggerak seksualitas pada pria dan wanita, namun pengaruhnya dimodulasi secara psikologis dan sosial.

"Pengaruh penuaan pada seksualitas bisa menjadi besar dan mencemaskan, tetapi dengan pendidikan yang memadai, seksualitas bisa tetap ada dan menyenangkan sepanjang hidup.  Ada banyak informasi salah tentang seksualitas, sementara itu diskusi seksualitas menjadi sangat terbuka sejak 40 tahun terakhir, akan tetapi sebagian orang tua bahkan dari generasi ke generasi berikutnya menganggap bahwa seksualitas tetap sebuah subjek tabu. Penting untuk diketahui bahwa bagi banyak wanita yang lebih tua 'keintiman dan berpelukan' lebih penting daripada hubungan seksual," ujarnya lagi.

Berkaitan sejauh mana penuaan mempengaruhi fungsi seksual sangat bergantung pada faktor psikologis, farmakologis, dan penyakit. Dalam paparan pidato ilmiah itulah, Prof Sutyarso membahas secara detail perubahan fisiologis terkait seks yang terjadi sebagai bagian dari proses penuaan normal pada pria dan wanita. Begitupula pengaruh pada fungsi seksual dari masalah psikologis terkait usia.

"Pemahaman tentang perubahan seksual yang menyertai penuaan normal dapat membantu dokter memberikan konseling pasien yang realistis dan mendorong mempertahankan seksualitas pada pasangan usia tua," katanya lagi.

Sutyarso termasuk salah satu perintis berdiri Fakultas Kedokteran Unila yang kini semakin berkembang. Ia pun mengajar di FMIPA dan FK Unila, serta membimbing para mahasiswa S-1 hingga S-3. "Semua ini memang telah menjadi cita-cita saya sejak dulu, untuk terus menjadi guru. Dimana pun saya bertugas, sudah seharusnya tetap dapat berkarya sesuai keilmuan dan kemampuan yang saya miliki dan telah peroleh selama ini," kata dia.

Dia berharap, dari FK Unila ini akan lahir para dokter profesional dan berkualitas yang peduli pada masyarakat sekitar dan siap mengabdi pada bangsanya.

"Tidaklah mudah menggapai jabatan guru besar ini, rasanya terlalu berliku dan terjal bahkan hampir putus asa, namun berkat perjuangan dan dukungan teman-teman dosen, jurusan, pegawai, fakultas dan universitas, beserta semua jajarannya, akhirnya saya ditetapkan sebagai guru besar di Fakultas MIPA Unila terhitung 1 Maret 2017," katanya pula.

Pada akhirnya, ia dan keluarga (istri Siti Latifah, dan anak-anak tersayang Tika, Qorri, Nida, dan Asid) mensyukuri semua capaian telah digapainya saat ini. "Insya Allah tidak akan berhenti bersyukur dan tetap mengharap taufik, hidayah, pertolongan, barokah dari Allah SWT untuk lebih sukses dalam iman dan takwa," ujar Prof Sutyarso lagi.

Bersama keluarga, ia pun telah menjalani ibadah umrah ke Tanah Suci Mekkah sebagai salah satu wujud rasa syukur sekaligus mengharap hidayah dan berkah dari Allah SWT atas semua karunia telah diperolehnya.