Mengatasi Konflik Gajah dan Manusia Di TNWK

id gajag tnbbs, konflik gajah dengan manusia

 Mengatasi Konflik Gajah dan Manusia Di TNWK

Pawang Alfian dan gajah jinak di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. (FOTO ANTARA )

...masyarakat mendukung program TNWK dan bisa menjaga hutannya, sehingga hutan dan satwa di dalamnya tetap lestari, katanya.
Lampung Timur (ANTARA Lampung) - Konflik satwa liar khususnya gajah sumatera dengan warga sekitar hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung hingga kini belum tertuntaskan.

Namun berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi masalah konflik antara manusia dan gajah liar yang selama ini masih terjadi di sekitar kawasan hutan ini.

Belakangan para petani dari desa penyangga di sekitar hutan TNWK menyatakan siap mendatangi kantor Balai TNWK untuk mempertanyakan penanganan konflik gajah dengan warga sekitar.

Keberadaan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang sering keluar hutan dan merusak tanaman petani serta menimbulkan keresahan bagi warga desa penyangga menjadi korban amukan gajah liar itu.

Ketua Forum Rembuk Desa Penyangga Supratikno menyebutkan di Desa Brajaluhur, Brajaharjosari, dan Brajayekti seringkali pada malam hari, gajah liar dari hutan TNWK masuk perkampungan.

Petani penyangga itu meminta Balai TNWK serius menangani konflik antara gajah liar dengan warga khususnya petani setempat.

Akibatnya, warga setempat harus rajin melakukan ronda bersama berjaga-jaga untuk mengantisipasi gajah liar masuk dan merusak pertanaman produktif yang mereka usahakan serta dapat mengancam pula jiwa mereka.

Warga sekitar hutan itu pun berkeluh-kesah, mengingat dalam menangani konflik dengan gajah itu, mereka harus berhati-hati menyikapinya karena gajah termasuk satwa liar jenis langka yang terancam punah, sehingga harus dilindungi.

Warga tak bisa bertindak sembarangan menangani gajah liar yang masuk kebun maupun permukiman warga, namun jika dibiarkan, gajah liar yang biasanya bergerombol itu dipastikan bisa merusak pertanaman yang dibudidayakan maupun merusak permukiman warga setempat.

Namun, bila penanganan gajah liar masuk kebun dan permukiman itu tidak segera ditangani secara tuntas, dikhawatirkan warga menjadi kesal dan tak tertutup kemungkinan melakukan tindakan yang dapat mencelakai satwa berbelalai panjang itu.

Balai TNWK juga berupaya mengatani masalah itu, antara lain dengan membuat program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan setempat.

Menurut Ir Subakir, Kepala Balai TNWK, dari Lampung Timur, Kamis (8/12), selama ini konflik manusia dengan gajah masih sering terjadi, mengingat areal tanam dan permukiman warga letaknya berdekatan dengan hutan TNWK dan hanya dipisahkan aliran sungai sekitar hutan.

Menurut dia, konflik yang terjadi adalah perebutan ruang lahan, sehingga gajah-gajah liar dari TNWK itu keluar hutan untuk mencari makanan pada areal tanaman yang dibudidayakan warga.

Akibatnya kerugian ekonomi bagi warga, bahkan sering timbul korban di antara kedua belah pihak.

Upaya untuk meminimalkan konflik ini, Balai TNWK membuat beberapa program kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, di antaranya membuat keramba apung ikan di sepanjang sungai kawasan hutan setempat.

"Masyarakat minta dibuatkan keramba apung ikan karena hutan Way Kambas dengan permukiman warga dibatasi kanal atau sungai, kalau dibuatkan keramba ikan di sepanjang sungai ini warga akan menjaganya dan otomatis jika gajah keluar hutan maka warga bisa mengusirnya," kata Subakir lagi.

Menurutnya, keberadaan keramba apung ikan itu bisa mencegah terjadi konflik warga dengan gajah, selain berdampak sebagai tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar kawasan hutan itu.

Subaik yang juga mantan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Lampung itu berharap kegiatan pemberdayaan ekonomi bisa membuat warga sekitar kawasan hutan lebih aktif menjaga hutan dan isinya.

"Mudah-mudahan sungai ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya dan masyarakat sekitar kawasan hutan TNWK bisa hidup berdampingan dengan satwa-satwa liar di dalam hutan TNWK dengan tidak melakukan aktivitas yang merusak," ujar dia lagi.

Menurut Drs Maryanto, Kabid Ketahanan Sosial dan Budaya Masyarakat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Lampung Timur menyatakan mendukung program keramba apung ikan yang bertujuan menyejahterakan masyarakat setempat.

"Harapannya masyarakat mendukung program TNWK dan bisa menjaga hutannya, sehingga hutan dan satwa di dalamnya tetap lestari," katanya.

Futikul, Sektetaris Desa Braja Harjosari mengapresiasi upaya TNWK dalam penanggulangan konflik manusia dan gajah ini. Dia menyatakan warganya siap bekerjasama dengan semua pihak menjaga hutan TNWK.



Korban Gajah Liar

Menurut Wildlife Conservation Indonesia Program (WCS-IP) dalam kurun waktu 2011-2015 terdapat total 18 ekor gajah menjadi korban, dengan 16 ekor di antaranya mati akibat perburuan liar, dan 2 ekor lainnya mati akibat konflik manusia-gajah di TNWK.

Terdapat pula dua korban manusia akibat konflik manusia-gajah yang terjadi sejak tahun 2000 hingga saat ini.

Selain korban jiwa, perebutan ruang antara manusia dan gajah juga berdampak pada lahan perkebunan warga, seperti lahan jagung, padi, dan singkong yang mengalami kerusakan.

Pada Januari-Juli 2016 ini saja, WCS-IP mencatat terdapat 153 konflik manusia-gajah pada 7.31 hektare lahan yang tersebar di 17 desa.

Sedangkan data 2013-2015 menunjukkan total 50,71 hektare areal perkebunan warga dirusak oleh gajah liar.

WCS-IP memperkirakan populasi gajah liar di hutan TNWK Lampung Timur saat ini tersisa 247 ekor.

WCS pun berharap peran aktif para pihak dan instansi terkait dalam memberikan kontribusi nyata bagi perlindungan gajah sumatera itu.

Pemerintah Kabupaten Lampung Timur sepanjang tahun 2008-2015 telah menggelontorkan dana sebesar Rp6.910.421.000 untuk kegiatan mitigasi konflik di desa sekitar TNWK melalui alokasi dana dari APBD kabupaten ini.

Saat itu, untuk menyamakan pemahaman dalam model dan konsep penanganan konflik manusia dengan gajah liar, Pemkab Lampung Timur telah membentuk Tim Kerja Terpadu Penanggulangan Konflik Gajah Manusia, melalui SK Bupati Nomor: 522/341/B/2008 tanggal 6 Maret 2008.

Pemerintah kabupaten setempat juga menyalurkan bantuan ekonomi bagi masyarakat, serta membangun infrastruktur berupa kanal pada batas kawasan hutan dengan kebun dan permukiman penduduk daerah ini.

Desa Braja Harjosari di Kecamatan Braja Selebah adalah salah satu desa penyangga hutan TNWK yang telah mencanangkan sebagai desa wisata.

"Desa kami telah mencanangkan diri sebagai desa wisata," kata Futikul, Sekretaris Desa Braja Harjosari.

Ia menjelaskan bahwa pencanangan sebagai desa wisata itu merupakan hasil kerja sama dengan pihak TNWK dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan TNWK.

Menurut dia, semenjak dicanangkan sebagai desa wisata, desanya itu ramai dikunjungi wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

"Kebanyakan yang datang ke sini turis dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Mereka datang ke sini karena suka yang alami-alami," kata dia.

Dia menyatakan di desanya tersedia penginapan atau home stay bagi wisatawan yang ingin menginap. Selain itu, tersedia kebun buah jambu kristal dan nangka yang disediakan warga pada areal lahan seluas dua hektare.

Ia mengaku kerja sama desanya bersama Balai TNWK dan beberapa pihak dari universitas, sekarang telah menjadi tambahan mata pencarian warganya.

Balai TNWK juga tengah membuat program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan TNWK.

Program pemberdayaan ekonomi oleh Balai TNWK selain dengan membuat program desa wisata, juga akan merealisasikan program pembuatan keramba apung ikan di sepanjang sungai dalam kawasan hutan TNWK.

Program ini diklaim TNWK sebagai upaya untuk meminimalkan konflik warga dengan gajah liar TNWK yang selama ini terjadi, mengingat letak permukiman warga berdekatan dengan hutan TNWK dan hanya dipisahkan aliran sungai sekitar hutan.

"Masyarakat minta dibuatkan keramba apung ikan, mengingat hutan TNWK dengan permukiman warga dibatasi kanal atau sungai, sehingga bila dibuatkan keramba ikan di sepanjang sungai ini, warga akan menjaganya dan otomatis jika gajah keluar hutan maka warga bisa mengusirnya," kata Kepala Balai TNWK Subakir pula.

Menurut Subakir, keberadaan keramba apung ikan itu bisa mencegah terjadi konflik warga dengan gajah liar, selain juga berdampak positif menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar kawasan hutan TNWK itu.

Konflik gajah liar dengan manusia diprediksi akan terus terjadi, berbarengan upaya melibatkan para pihak agar segera mendapatkan pemahaman, sikap, dan tindakan bersama yang komprehensif sebagai solusi permanennya.(Ant)