Menelisik Kemurnian Suara LSM Lingkungan di Indonesia

id Menelisik Kemurnian Suara LSM Lingkungan, Jejak Gerakan LSM Lingkungan, Kiprah LSM Lingkungan

Perspektif dan kesimpulan dalam diskursus di atas tentu kembali kepada kita masing-masing. Murni atau hipokrit dan berbahayakah suara LSM lingkungan?
Bogor (ANTARA Lampung) - Salah satu hal yang menarik dalam memperbincangkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan di Indonesia adalah tentang "kemurnian suara" mereka dalam memperjuangkan berbagai isu lingkungan yang tanpa henti mereka gaungkan sejak 45 tahun lalu di negeri ini.

Isu "kemurnian suara" LSM lingkungan tersebut menjadi penting untuk ditelisik, karena selama ini banyak kejanggalan yang menjadi atribut gerakan LSM lingkungan di Indonesia.

Selain berbagai karakteristik "the frankly minority" yang sering mereka mainkan dalam menyuarakan berbagai isu lingkungan, maka beberapa kejanggalan lain yang patut kita perhatikan adalah orientasi gerakan mereka, serta sumber dana gerakan dan program mereka.

Dalam konteks orientasi gerakan, pada dasarnya "ideologi ecocentris" yang disuarakan LSM lingkungan adalah bukan hal baru, bukan pula pemikiran yang salah, melainkan adalah memang merupakan salah satu orientasi pembangunan yang patut untuk diambil, dilaksanakan, dan ditegakkan bersama.

Namun demikian, pola sikap serta tindakan dan gerakan mereka terasa sangat ganjil ketika mereka sangat tendensius untuk menyudutkan semua pihak dan bahkan mencatut nama rakyat, serta mereka berkecenderungan untuk memperkeruh konflik dan menarik keuntungan dari konflik yang terjadi dan mereka perkeruh tersebut.

Sebagaimana setiap mata uang pasti punya dua sisi, maka sikap pro dan kontra tentu tak terelakkan dalam proses memaknai berbagai dinamika yang terjadi selama ini.

Bagi mereka yang pro, tentunya berbagai gerakan LSM lingkungan selama ini adalah wujud dari sifat heroik yang patut dipuji.

Namun bagi yang kontra, sikap-sikap LSM lingkungan yang selalu menyalahkan pihak yang mereka "bidik", serta tidak pernah LSM lingkungan menunjukkan suatu opsi resolutif--agar penyelesaian konflik bersifat objektif serta mempunyai mutual-benefit dan tercipta semangat kolaborasi yang kondusif untuk optimasi kinerja pada masa pascakonflik--tentunya akan melahirkan berbagai pertanyaan dan sangkalan yang perlu dicarikan jawabnya secara objektif.

Lebih lanjut, kenyataan yang menunjukkan semakin tidak terkontrol dan bahkan menjadi semakin subur sepak terjang LSM lingkungan--bersamaan dengan absennya kontrol pemerintah dan hilang keseimbangan berita yang dilansir oleh para jurnalis dan media massa--tentu juga menjadi pertanyaan tersendiri pula bagi kelompok yang kontra.

Dalam konteks sumber dana gerakan mereka, pertanyaan mendasar yang perlu kita cuatkan adalah dari manakah sesungguhnya mereka mendapatkan dana untuk membiayai semua gerakan mereka dan mendapatkan gaji sebagai sumber penghidupan mereka, siapa saja kah individu-individu yang mereka nyatakan sebagai donatur publik pengisi pundi-pundi mereka, dan seperti apakah komitmen mereka dengan para donatur publik tersebut.

Semua pertanyaan mendasar itu mencuat tidak saja karena adanya kenyataan yang menunjukkan semakin "menggurita"-nya kelompok serta organisasi sayap dan gerakan mereka, melainkan juga karena adanya fenomena "hipokrit" dalam keseharian mereka.

Setiap saat mereka selalu menjual isu penderitaan rakyat kecil, sedangkan di antara mereka banyak yang hidup dalam kemewahan, mempunyai kantor mewah dan ber-AC, mampu mengadakan berbagai seminar dan FGD (diskusi kelompok terarah) di hotel-hotel berbintang, serta bergaji lebih tinggi dari seorang profesor dan lain sebagainya, termasuk mampu berbondong-bondong menghadiri acara prestisius seperti COP-21 di Paris, Prancis beberapa waktu lalu.

Jawaban atas semua pertanyaan tersebut di atas tentulah bukan hal yang bisa dan  mudah untuk dijelaskan secara "letter-lecht".

Sebagai suatu bentuk "gerakan politik" (dalam hal ini adalah politik lingkungan), tentunya pemikiran serta sepak terjang mereka tak akan luput dari "permainan kotor" politik itu sendiri.

Untuk menjawabnya perlu dilakukan suatu proses pengamatan, penelusuran data, penelaahan, analisa dan pemaknaan, serta proses sintesa dan penarikan benang merah dalam menghasilkan suatu silogisme dan kesimpulan yang objektif.

        Skema dan Orientasi
Mencermati berbagai skema dana lingkungan yang ada di Indonesia selama 30 tahun terakhir, terlihat polanya selalu bermula dengan "dana hibah", dan kemudian berujung pada "dana utang", baik yang bersifat G-to-G (pemerintah kepada pemerintah), bersifat G-to-P (pemerintah kepada publik), maupun yang bersifat B-to-B (bisnis kepada bisnis).

Sebagai contoh, di berbagai website terlihat bahwa dalam konteks REDD, Jepang memberikan 11 juta dolar AS hibah untuk dukungan monitoring dan reforestasi hutan, dan memberikan 751 juta dolar AS pinjaman (bersama Prancis) untuk mitigasi perubahan iklim.

Bank Dunia memberikan 3,6 juta dolar AS untuk Dana Kemitraan Karbon Kehutanan, serta memberikan 80 juta dolar AS utang.

Sedangkan Norwegia diduga kuat telah melakukan "publication make up" dan kebohongan publik dengan pemberitaan seakan-akan memberikan hibah 1 miliar dolar AS untuk reformasi kebijakan, pengembangan strategi dan pengurangan emisi karbon di Indonesia, padahal sesungguhnya besaran hibahnya hanyalah beberapa puluh juta dolar AS saja, sedangkan sisanya adalah utang.

Masih dalam konteks REDD, hasil penelusuran pada berbagai website menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2008--2014 selain jumlah tersebut di atas, setidaknya juga tercatat 230 juta dolar AS dana diterima berbagai pihak di Indonesia berasal dari AS, Korea Selatan, Inggris, Australia, Jerman, ITTO, dan PBB (UNDP, UNEP, serta FAO).

Berbagai website yang ditelusuri tidak menggambarkan secara transparan apakah sesungguhnya status dana tersebut hibahkah atau utangkah.

Namun ada satu hal yang menarik untuk kita garis bawahi, yaitu umumya dana-dana tersebut penggunaanya adalah untuk "dukungan teknis", untuk "monitoring", untuk "asistensi teknis" serta sebagian kecil untuk "demonstration activity".

Sejalan dengan skema G-to-G yang mendasarinya, maka dapat pula dikatakan bahwa dana tersebut pasti dinikmati oleh para expatriat negara pemberi, serta dinikmati oleh pejabat dan jajaran birokrasi pemerintah (dari pusat hingga daerah), tenaga ahli nasional (bisa akademisi ataupun teknokrat lainnya), dan tentunya oleh semua LSM lingkungan yang terlibat.

Jika dikaitkan dengan porsi "demonstration activity" yang relatif sangat kecil, maka bisa dipastikan pula dana yang diterima rakyat kecil (yang namanya selalu dijual LSM lingkungan untuk menyuarakan isu lingkungan) sangatlah kecil pula, yang tentunya dana untuk "field input" sudah pasti lebih kecil lagi.

Terkait masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) beberapa waktu lalu, barangkali perlu pula bagi kita untuk mencermati dan memaknai informasi terkait dana-dana lingkungan (beserta program-programnya) yang terdapat di bawah lembaga Climate and Land Use Alliance (CLUA)  yang berpusat di San Francisco, California, AS.

Penelusuran website institusi tersebut pada 7 dan 20 Januari 2016 menunjukkan bahwa untuk Indonesia Initiative Grand And Contract List, sejak tahun 2010 sampai sekarang, dalam website tersebut (http://www.climateandlandusealliance.org) terlihat jelas lebih dari 44 juta dolar AS hibah dana lingkungan telah dikucurkan kepada berbagai LSM lingkungan dan institusi lain di Indonesia.

Beberapa "civil society" di Indonesia yang menjadi penerima dana lingkungan dari institusi tersebut, di antaranya adalah HuMa (575 ribu dolar AS), Jerat (114 ribu dolar AS), FPP (3.573,477 dolar AS), AMAN (699,826 dolar AS), JKPP (800 ribu dolar AS), KKI WARSI (595,289 dolar AS), Kemitraan (1.230,400 dolar AS), Mongabay Org Corp (735 ribu dolar AS), RAN (2.096,000 dolar AS), Samdhana Inc. (3.922,429 dolar AS), WetlandS Int. (249,962 dolar AS), WWF (200,445 dolar AS), dan WALHI (536,662 dolar AS).

Selain itu, lembaga lain di Indonesia yang juga terlihat sebagai penerima dana tersebut adalah SEKALA (1.316,939 dolar AS), CIFOR (415,000 dolar AS), FFI (449,218 dolar AS), dan ICRAF (497,196 dolar AS) serta Stichting Oxfam Novib (700 ribu dolar AS).

Terbaca pula ada universitas yang menerima dana lingkungan dari institusi tersebut, yaitu Universitas Indonesia (22,756 dolar AS) dan University of Maryland (82,943 dolar AS).

Adapun sektor swasta yang terlihat sebagai penerima dana lingkungan dari CLUA, di antaranya adalah InterMatrix Communication (1.311,125 dolar AS), Mckinsey&Co Singapore (1.500,000 dolar AS), dan Maclennan Adams Ltd (78,200 dolar AS) serta PT. Petala Unggul Gesang (309,786 dolar AS.

Pengecekan website pada tanggal 24 Januari 2016 menunjukkan bahwa data penting tentang keterlibatan PT Peta Unggul Gesang tersebut telah "dihilangkan" dari halaman website CLUA, namun jejaknya masih terekam dalam "google-search".

Jika ditelaah, setidaknya ada tiga tujuan terpenting yang diduga kuat menjadi dasar dalam pemberian dana-dana tersebut, yaitu memperlambat dan menghentikan pembangunan perkebunan sawit serta hutan tanaman industri di lahan gambut, merekonversi lahan perkebunan dan hutan tanaman industri di ekosistem gambut untuk menjadi hutan alam kembali, serta mempercepat terjadi "land reform" di Indonesia.

Untuk mencapai tiga tujuan itu, berbagai program menggambarkan bahwa mereka berusaha untuk mengumpulkan data-data kerusakan hutan serta konflik perambahan dan penyerobotan kawasan hutan dan areal kerja perusahaan oleh oknum masyarakat, yang diduga kuat kemudian data ini mereka pelintir dan "blow up" menjadi isu "land reform" dan/atau "land tenure", "menggelitik" terjadi konflik sosial antara masyarakat lokal dengan perusahaan melalui pencuatan isu "community right".

Jika dikaitkan dengan berbagai "kejanggalan" aspek lingkungan dalam proyek infrastruktur Kabinet Kerja yang sedang dipermasalahkan banyak pihak dalam beberapa hari terakhir, kita semua juga menjadi bisa paham mengapa selama ini LSM lingkungan begitu mesra hubungannya dengan pemerintah, mengapa ada pejabat pemerintah yang meniru sikap LSM, sehingga mengapa LSM lingkungan diam seribu bahasa atas kejanggalan aspek lingkungan proyek-proyek infrastruktur tersebut.

Di sisi lain, atas dinamika tersebut di atas tentunya kita semua juga tidak bisa menyalahkan jika ada anak negeri yang berpraduga bahwa berbagai kasus Karhutla selama ini, bisa saja adalah merupakan hasil kejahatan berjamaah para LSM hipokrit yang menjadi antek bangsa asing untuk menghancurkan tonggak-tonggak ekonomi bangsa, menjarah serta menjajah bangsa kita melalui isu lingkungan.

Tentunya sulit pula dihindari jika ada anak negeri yang berpikiran bahwa miliaran rupiah dana lingkungan yang mereka terima sejak 2010 tentunya sangat cukup untuk menciptakan "mafia api", "mafia lahan", serta mafia-mafia lainnya yang menjadi sumber bencana serta Karhutla selama ini, dengan puncak kerusuhan yang sudah mereka rencanakan sesuai dengan prediksi kedatangan bencana El Nino pada 2015.

Hingga di sini, maka perspektif dan kesimpulan dalam diskursus di atas tentu kembali kepada kita masing-masing. Murni atau hipokrit dan berbahayakah suara LSM lingkungan ?

Jika jawabannya "murni" dan "perlu", maka barangkali salah satu tugas utama kita selanjutnya adalah menciptakan atmosfer yang positif untuk menjadikan semua pihak bisa berkinerja secara optimum, serta menjamin keseimbangan dan objektivitas informasi bagi publik.

Jika jawabannya "tidak" dan "berbahaya", maka barangkali kita patut mendorong DPR untuk membuat Pansus-LSM atau pansus lain terkait bahaya konspirasi ekonomi global melalui isu lingkungan, termasuk meminta Presiden untuk membersihkan Kabinet Kerja yang beliau pimpin dari semua komprador bangsa asing dan penikmat rente dana lingkungan global.

*) Penulis adalah pengamat lingkungan, pengajar Pascasarjana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).