Memudarnya dinamika poros kekuatan politik di DPR

id Memudarnya dinamika poros kekuatan politik di DPR

Jakarta (ANTARA Lampung) - Memasuki usia satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada 20 Oktober 2015 dinamika poros kekuatan politik di DPR berangsur-angsur berubah dan semakin memudar.

Pada awal dilantiknya anggota DPR RI periode 2014-2019, terjadi dua poros kekuatan politik yang terfragmentasi dalam Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat (KMP dan KIH) yang saat ini sudah memudar dan tidak menggema lagi.

Dua poros kekuatan politik tersebut semula saling bersaing ketat dengan manuver-manuver yang sempat membuat kerja DPR RI "dead lock" selama hampir satu bulan.

Adanya rasa ketidakpuasan terhadap pimpinan DPR RI yang dikuasai politisi dari KMP, sempat terjadi "penyanderaan" anggota alat kelengkapan dewan dan munculnya pimpinan DPR RI tandingan, tapi kemudian mereda setelah adanya saling lobi dari perwakilan dua kekuatan.

Adalah Pramono Anung dari PDI Perjuangan dan Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang menjadi pelopor lobi untuk menyamakan visi dan menyatukan dua poros kekuatan politik di parlemen, sampai pada kesepakatan damai, pada 15 November 2014.

DPR RI kemudian berjalan dengan semua organnya yakni komisi dan alat kelengkapan dewan, meskipun kadang-kadang masih ada riak-riak kekuatan KMP dan KIH.

Namun menjelang pemerintahan Presiden Joko Widodo memasuki usia satu tahun, terjadi pergeseran lagi pada peta kekuatan di DPR RI.

Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu anggota dari KMP menyatakan pindah haluan ke KIH, pada Rabu, 2 September 2015, tapi dinamika politik di DPR RI tidak lagi sedinamis seperti pada awal terbentuknya DPR RI periode 2014-2019.

"Kepindahan" PAN dari KMP ke KIH ini disikapi KMP relatif datar dengan hanya menggelar rapat klarifikasi meminta penjelasan dari Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan.

Namun, tidak muncul sanksi dari KMP terhadap PAN yang melakukan "lompat pagar" meskipun KMP mengklaim telah membuat kesepakatan koalisi permanen.

Pengumuman resmi kepindahan PAN ke KIH disampaikan Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, di Istana Merdeka Jakarta, Rabu, 2 September 2015.

"Pada hari ini, kami menyatakan bergabung. Kalau sebelumnya mendukung, kini kami menyatakan bergabung dengan Pemerintah untuk sukseskan program Pemerintah," kata Zulkifli.

Pada kesempatan tersebut, Zulkifli Hasan didampingi Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno serta Ketua Majelis Pertimbangan PAN Sutrisno Bachir.

Menurut Zulkifli, keputusan PAN bergabung ke koalisi pendukung pemerintahan sudah dikonsultasikan dengan Majelis Pertimbangan Partai dan juga seluruh jajaran internal partai itu.

"Keputusan ini untuk kepentingan NKRI, bukan untuk kepentingan pribadi, partai, atau golongan," kata Zulkifli.

Bergabungnya PAN ke KIH, mengubah peta kekuatan politik di DPR RI dan memunculkan spekulasi baru bahwa PAN "kepingin" jabatan di pemerintahan.

Bergabungnya PAN ke KIH disambut baik Presiden Joko Widodo yang menilai membawa angin segar bagi pemerintahan yang dipimpinnya dan diharapkan dapat menambah semangat baru.

Konsekuensi dari kepindahan PAN ke KIH mengubah peta kekuatan politik di parlemen yang semakin menguatkan KIH.

Jika sebelumnya jumlah kursi KIH di DPR RI hanya 207 kursi, yakni PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkiatan Bangsa/PKB (47 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi).

Dengan masuknya PAN (49 kursi), maka jumlah kursi KIH di DPR RI menjadi 256 anggota legislator.

Sementara itu, KMP yang sebelumnya memiliki 292 kursi di DPR RI, yakni Partai Golkar (91 kursi), Partai Gerindra (73 kursi), Partai Keadilan Sejahtera/PKS (40 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP (39 kursi).

Dengan keluarnya PAN, maka kursi KMP menjadi 243 kursi.

Sementara itu, Partai Demokrat (61 kursi), mengklaim sebagai partai penyeimbang meskipun pada awal terbentuknya DPR RI periode 2014-2019 memberikan suaranya untuk KMP.

Dualisme Kepengurusan Partai Golkar dan PPP Sementara itu, Partai Golkar dan PPP yang bergabung dengan KMP mengalami konflik internal yakni terjadi dualisme kepengurusan karena adanya perbedaan visi afiliasi politik.

Di Partai Golkar, dari hasil Munas di Bali terbentuk DPP Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie serta dari hasil Munas Partai Golkar di Jakarta terbentuk DPP Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono.

Demikian juga dengan PPP, dari hasil Muktamar di Surabaya terbentuk DPP PPP yang diketuai Muhammad Romahurmuziy atau Romy, dan kemudian dari hasil Muktamar di Jakarta terbentuk DPP PPP yang diketuai Djan Faridz.

Dua partai tersebut terus bergelut dalam persoalan internal yang berkepanjangan untuk saling meyakini sebagai kepengurusan yang sah.

Solusi melalui musyawarah dan proses hukum pun dilalui secara berjenjang, mulai dari musyawarah internal dan mahkamah partai, kemudian melalui proses hukum mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara (PTUN), pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN), sampai ke tingkat Mahkamag Agung.

Bertepatan dengan usia satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan bertepatan dengan ulang tahun ke-51 Partai Golkar, pada 20 Oktober 2015, Mahkamag Agung membuat keputusan stategis terhadap konflik Partai Golkar dan PPP.

MA menutuskan, mengabulkan gugatan para penggungat yakni DPP Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie dan DPP PPP kubu Djan Farid.

Putusanya adalah membatalkan putusan pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN) dan mengembalikan pada putusan pengadilan tata usaha negata (PTUN).

Putusan PTUN pada sengketa Partai Golkar yakni, membatalkan SK Menkum HAM yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono serta mengembalikan kepengurusan Partai Golkar kepada hasil Munas di Pekanbaru Riau pada 2009.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, putusan MA terkait sengketa kepengurusan Partai Golkar dan PPP merupakan putusan yang bijaksana.

Menurut Kalla, soal sengketa Partai Golkar, dirinya belum membaca keputusan yang tepat seperti apa, tapi kalau melihat substansinya kembali ke asal, maka Partai Golkar kembali ke hasil Munas Riau, dan PPP kembali ke hasil Muktamar Bandung.

"Putusan MA itu cukup bijaksana," kata Kalla.

Menurut Kalla, dengan adanya putusan tersebut maka kedua kubu, baik di Partai Golkar maupun PPP yang berselisih agar segera melakukan islah.

Putusan MA terhadap sengketa Partai Golkar dan PPP ini juga akan mempengaruhi konstelasi politik di parlemen.

Meskipun dinamikanya makin memudar tapi akan ada perubahan konstelasi politik di parlemen.

Adanya sengketa internal di Partai Golkar dan PPP yang membuat konsolidasi di internal kedua partai tersebut menjadi kurang solid, juga mempengaruhi kinerja parlemen menjadi menurun.

Kinerja DPR dan Produk Legislasi Dengan adanya dinamika dan polemik yang terus bergulir, kinerja DPR RI selama satu tahun ini masih sangat minim.

Padahal DPR RI sudah menambah jumlah tenaga ahli dan staf untuk setiap anggota DPR RI yang seharusnya kinerjanya makin meningkat, tapi realitasnya justru minim.

Kerja DPR RI selama setahun hingga Oktober 2015, baru berhasil menyelesaikan tiga undang-undang dari 38 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2015.

Dari 38 RUU prioritas tahun 2015, DPR RI hanya menyelesaikan dan menyetujui dua RUU menjadu UU, yakni UU Pilkada dan UU Pemda.

Jika dihitung, sejak DPR RI periode 2014-2019 bekerja mulai Oktober 2014, maka ada satu RUU lagi yang disetujui menjadi UU yakni UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).

Padahal, anggaran DPR RI untuk legislasi tidak kecil. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), anggaran DPR RI untuk fungsi legislasi pada 2015 mencapai Rp 245 miliar.

Soal minimnya produk legislasi yang dihasilkan DPR RI, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengelak dengan mengatakan bahwa produk legislasi bukan sepenuhnya tanggung jawab DPR RI, tapi tanggung jawab bersama dengan Pemerintah.

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, tugas DPR RI bukan hanya membuat UU tapi masih banyak tugas lain yang perlu dikerjakan.

"DPR bukan pabrik Undang-undang," kata Fadlizon di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (2/10).

Menurut Fadli, setiap RUU memiliki persoalan sendiri dan waktu pembahasannya tidak sama.

Kita harapkan pada empat tahun ke depan konstelasi politik maupun kinerja DPR RI akan semakin membaik.