Menempa Anak Kreatif Mengolah Kata

id Anak Kreatif, Olah Kata

Jakarta (ANTARA Lampung) - Saat inilah puncak kemudahan bagi manusia untuk berkreasi dalam kata-kata. Ketika penulis Arswendo Atmowiloto menerbitkan Mengarang Itu Gampang, kemajuan teknologi informasi belum sedahsyat sekarang.

Kini semua sarana untuk mengarang tersedia di mana-mana. Anak-anak yang miskin pun, yang di rumah mereka tak tersedia komputer, masih bisa mengetik di warung-warung internet.

Kehadiran komputer jinjing, tablet, atau telepon pintar yang membanjir, membuat anak-anak makin leluasa untuk mengeksplorasi bakat mengarang mereka.

Anak-anak sesungguhnya dikarunia bakat mengungkapkan pikiran dan perasaan lewat kata-kata setidaknya sejak dia sanggup membaca dan menulis dengan lancar.

Bagi anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga terpelajar, bahan-bahan bacaan untuknya tersedia cukup melimpah, bakat mengarang itu akan dengan lebih cepat dikembangkan.

Dengan situasi demikian, peluang Indonesia untuk menghasilkan para pengarang pada masa depan kian lebar. Apa sebetulnya yang membuat seorang pengarang bisa berkembang pesat dan menjadi besar?

Ternyata, dalam dunia kepengarangan, ucapan Thomas Alva Edison masih berlaku. Bahwa kerja keras lebih penting dan menentukan daripada bakat.

Untuk belajar mengarang, cukuplah kata-kata William Faulkner diikuti: hanya dengan membaca-membaca dan membaca Anda belajar mengarang.

Dalam salah satu teori psikologi, hewan maupun manusia diberi kemampuan mengimitasi, meniru, untuk menghasilkan kecakapan-kecakapan dalam hidupnya. Anak-anak tikus melihat induknya cara bersiasat menghindari ancaman terkaman kucing. Anak-anak pun mengembangkan kemampuan menulisnya dengan meniru apa yang dibacanya.

Maka, beruntunglah anak-anak yang sejak dini sudah diperkenalkan oleh tulisan-tulisan yang setara dengan kemampuannya mencerap isi tulisan dan tentu saja tulisan itu cukup berbobot sebagai karya tulis.

Saat ini, anak-anak lebih beruntung karena situasi zaman yang mereka alami dibandingkan dengan situasi zaman orang tua mereka. Bukan cuma dukungan teknologi, melainkan juga alam demokrasi yang tak dinikmati oleh orang tua yang besar dan berkembang pada era tirani sebelum reformasi.

Anak-anak sekarang lebih ekspresif, bebas mengungkapkan pikiran tanpa restriksi. Itu sebabnya tak mengherankan jika karya-karya kreatif dalam dunia kepengarangan saat ini lebih kaya dan melimpah daripada era sebelum reformasi.

Namun, zaman serba mudah dalam berolah kata saat ini mempunyai godaannya sendiri. Zaman digital yang warna-warni dan dengan cepat menyuguhkan perubahan bentuk dalam berbagai format hiburan membuat manusia dengan mudah pindah fokus dan rentan untuk tetap sintas dalam menekuni dunia kepengarangan.

Jadi, persoalan yang dihadapi anak-anak sekarang bukannya kurangnya kapasitas diri, melainkan peluang distraksi dan disorientasi dalam menekuni dunia tulis-menulis secara intens.

Begitu menekuni dunia tulis-menulis dan tidak lama dalam hitungan beberapa tahun kemudian, anak-anak akan tergoda untuk menekuni dunia sinematografi. Distraksi atau terfragmentasinya konsentrasi dalam menekuni dunia yang digeluti merupakan kendala tersendiri dalam meraih prestasi.

Namun, bila anak-anak dapat melewati kendala yang bernama distraksi fokus itu, anak-anak akan melewati salah satu godaan untuk menjadi penulis atau pengarang yang berprospek.

Menjadi pengarang sebagai kreator pengolah kata tidak perlu harus tinggal di pusat-pusat pengetahuan dan fasilitas pendidikan terbaik. Dahulu, untuk menjadi orang sukses, Jakarta adalah ladang penempaan diri. Kini, masa seperti itu telah usang.

Pusat-pusat informasi kita tidak lagi di dunia riil, tetapi di dunia maya. Siapa pun bisa mengakses sumber pengetahuan dari mana pun dan melahirkan karya juga dari mana pun.

Godaan kedua zaman melimpahnya pengetahuan saat ini adalah adanya gairah berlebihan berlomba memburu kuantitas karya. Tampaknya saat ini tidak mudah untuk menahan diri melepas karya sebelum benar-benar dipikirkan secara matang.

Dalam dunia puisi misalnya, para penyair menghasilkan ratusan puisi dalam setahun. Kontradiktif dibandingkan era ketika para penyair hanya menghasilkan sejumput puisi selama sekian tahun.

Maka, tidak berlakulah apa yang dialami penyair legendaris Cahairil Anwar, yang mencari dan menemukan satu kata yang paling pas selama berpekan-pekan untuk merampungkan satu puisi. Zaman Chairil memang penuh romantika kreasi. Jumlah majalah atau media yang menerbitkan karya-karya penyair pada masa itu juga sangat terbatas.

Kini, tidak perlu menunggu penerbit jika seseorang hendak mempublikasikan karyanya. Menerbitkan karya secara swadaya sudah lazim dan lebih keren lagi, bagi yang punya dana, menerbitkan karya di penerbit termasyhur pun taksulit asalkan karya itu langsung dibeli sendiri oleh sang penulis.

Godaan ketiga untuk menjadi pengarang zaman ini adalah minimnya pembacaan atas karya klasik yang pernah menjadi bintang karya pada masanya.

Siapa yang sempat menyimak Guy de Maupassant, Nikai Gogol, Yukio Mishima, John Steinbeck, Tolstoi sebelum intens menulis cerita pendek? Mungkin ada, tetapi takbanyak. Terlalu banyak hiburan yang menyita perhatian anak-anak zaman sekarang sehingga membaca karya bermutu pada masa silam tidaklah sempat.

Melimpahnya hiburan animasi yang dihasilkan Hollywood menjadikan karya cerpen klasik kehilangan daya pikat. Cerita-cerita klasik yang dibikin animasinya oleh Hollywood menjadikan anak-anak tak berminat lagi membaca karya aslinya.

Ya, itulah harga yang harus dibayar oleh kemajuan teknologi. Namun, tak apalah. Tidak perlu menangisi sesuatu yang sudah ada gantinya.

Hanya saja, bagi anak-anak yang tak terdistraksi oleh Hollywood dan tetap intens dalam dunia kepengarangan, sambil terus menjelayah dan menyimak karya-karya literer klasik, sesuatu yang bernilai boleh jadi akan lahir dari tangan mereka.

Di tangan mereka inilah karya kreatif akan lahir dan pada gilirannya akan mendukung ekonomi kreatif negeri ini.