BPJS Jadi Sorotan Muktamar NU-Muhammadiyah

id BPJS Jadi Sorotan, BPJS Haram, BPJS

Jombang, Jatim (ANTARA Lampung) - Hanya selang dua bulan, persoalan seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang disikapi Majelis Ulama Indonesia (MUI), 7--9 Juni 2015, pun menjadi sorotan dalam Muktamar NU dan Muhammadiyah di awal Agustus 2015.

Dalam pertemuan Komisi Fatwa MUI di Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, 7--9 Juni 2015, MUI mengeluarkan Keputusan Komisi Masail Fiqhiyyah Mu'ashirah (Masalah Fiqih Kontemporer) Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V/2015 tentang Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan.

Inti dari Fatwa MUI adalah penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan mengandung unsur gharar (menipu), maisir (judi), dan riba (bunga bank), terutama dalam akad antarpihak. Oleh karena itu, MUI mendorong pemerintah membentuk pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah.

Dalam Fatwa itu, MUI tidak secara langsung menyebut haram untuk BPJS Kesehatan. Namun, istilah haram itu merujuk pada istilah riba (bunga bank) yang dalam pandangan MUI memang haram sehingga awak media pun menyederhanakan dengan kesimpulan bahwa BPJS Kesehatan itu haram. "Dunia" wacana pun ramai.

Terlepas dari wacana yang ramai itu, para ulama Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1--6 Agustus 2015, menyatakan dapat menerima dan memperbolehkan BPJS Kesehatan karena konsep BPJS bukan asuransi, melainkan "syirkah ta'awwun".

Dalam pandangan yang sama, Muhammadiyah--pada Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassa, 3--7 Agustus 2015--juga menilai BPJS Kesehatan Syariah itu tidak perlu karena lebih penting memperbaiki yang telah ada agar tidak merugikan masyarakat maupun provider (penyedia) dari layanan kesehatan.

Anggota pimpinan sidang Komisi Bahtsul Masail dalam Muktamar Ke-33 NU K.H. Asyhar Shofwan, M.H.I. menegaskan bahwa BPJS itu tergolong dalam konsep "syirkah ta'awwun" (perkumpulan untuk gotong royong) yang sifatnya sukarela, bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa "haram" oleh MUI.

Dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian) di arena Muktamar Ke-33 NU di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Senin (3/8) malam itu, K.H. Asyhar Shofwan yang juga Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PWNU Jatim itu menegaskan bahwa asuransi memang haram.

"Nahdlatul Ulama sendiri sudah menghukumi asuransi itu haram karena sifatnya profit, kecuali asuransi yang dilakukan oelh Pemerintah, seperti Jasa Raharja, karena sifatnya santunan. Kalau BPJS itu asuransi, tentu haram," katanya.

Didampingi rekannya, K.H. Romadlon Khotib yang juga salah seorang ketua LBM PWNU Jatim dalam kepemimpinan sidang komisi Bahsul Masail itu, dia mengatakan bahwa NU sendiri menilai BPJS itu bukan asuransi, melainkan "syirkah ta'awwun" karena itu hukumnya boleh.

"Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan itu agar masyarakat tidak memahami BPJS Kesehatan sebagaimana asuransi pada umumnya," katanya.

Menurut dia, BPJS Kesehatan sebagai "syirkah ta'awwun" itu hendaknya dipahami sebagai saling membantu sebagaimana orang yang bersedekah kepada sesama sehingga tidak sama dengan asuransi yang profit. "Sebagai sedekah, masyarakat harus ikhlas dalam membayar," katanya.

Ia mengatakan bahwa masyarakat yang tidak ikhlas dalam membayar (memberi) "sedekah" melalui BPJS Kesehatan itu akan selalu mau membayar ketika sakit dan tidak membayar lagi ketika sehat. "Yang namanya 'sedekah' itu harus dalam keadaan sakit atau sehat," katanya.

Oleh karena itu, NU dalam sidang Komisi Bahtsul Masail pada Muktamar ke-33 NU itu merekomendasikan tiga hal untuk menjadikan BPJS Kesehatan sebagai "syirkah ta'awwun" dan harus disosialisasikan kepada masyarakat secara terus-menerus.

"Tiga rekomendasi kami tentang BPJS Kesehatan adalah tidak ada pemaksaan, status peserta BPJS harus selalu di-'update' karena orang miskin itu tidak miskin selamanya atau sebaliknya, dan manfaat gotong royong untuk saling membantu itu harus disosialisasikan terus," katanya.

Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Umum MUI K.H. Makruf Amin menjelaskan suatu produk bisa dianggap bersistem syariah jika mendapatkan opini kesyariahan dari Dewan Syariah Nasional.

"Nah, BPJS Kesehatan tidak mengajukan untuk meminta fatwa atau opini kesyariahan ke Dewan Syariah Nasional," kata K.H. Makruf Amin yang juga Rais Syuriah PBNU itu.

Selain itu, MUI juga mempersoalkan uang yang dikumpulkan itu didepositkan di bank konvensional sehingga mengandung riba. Oleh karena itu, MUI bisa menerima BPJS, asalkan sistem yang dipersoalkan MUI itu diperbaiki.

                                            BPJS Kesehatan Syariah
Terkait dengan BPJS Kesehatan Syariah untuk menghilangkan unsur riba yang diwacanakan K.H. Makruf Amin, Ketua Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Syafiq A. Mughni menganggap hal itu tidak perlu.

"Pembentukan BPJS Kesehatan Syariah tidak perlu dilakukan oleh Pemerintah karena lebih penting memperbaiki yang telah ada. Sistemnya harus disempurnakan agar ada revisi-revisi terhadap ketentuan BPJS karena banyak ketentuan yang merugikan masyarakat maupun provider (penyedia) dari layanan kesehatan itu," katanya.

Di sela Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar (5/8), mantan Ketua PW Muhammadiyah Jatim itu memandang perlu perubahan atau revisi sistem dalam BPJS Kesehatan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

"Jika BPJS Kesehatan sesuai dengan kaidah keislaman, otomatis badan penjamin kesehatan syariah tidak perlu didirikan. Jadi, saya kira tidak perlu dibuat BPJS Kesehatan Syariah yang baru, tetapi yang ada selama ini saja diperbaiki agar tidak melanggar prinsip-prinsip syariah," ucapnya.

Menurut Syafiq, ada beberapa kelemahan BPJS Kesehatan yang merugikan pelanggan dan penyedia layanan kesehatan. "Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan itu bersentuhan dengan lembaga kesehatan milik Muhammadiyah, seperti rumah sakit dan klinik," katanya.

Karena itu, Muhammadiyah juga dirugikan karena peraturan yang berubah mendadak dan menyimpang dari nota kesepakatan bersama.

Dalam Muktamar Jombang itu pula, A'wan PBNU Prof. Mohammad Nuh menyatakan rasa bangga saat mengikuti Sidang Komisi Program di Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang.

"Yang menarik, program yang direncanakan sudah dirancang menyambut Satu Abad NU (1926--2026) dengan program jangka panjang, menengah, dan pendek, yakni tahunan, lima tahun, dan 10 tahun," katanya.

Jadi, kata Nuh yang juga Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis) yang membawahi RSI Surabaya dan Universitas NU Surabaya (Unusa) itu, periode kepengurusan yang hanya lima tahun itu tetap merujuk pada perencanaan hingga 2026.

                                                    Badan Kerukunan Beragama
Selain masalah BPJS Kesehatan yang dikupas dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian), Muktamar Ke-33 NU di Jombang juga membahas soal penenggelaman kapal asing, pemakzulan pemimpin, advokat yang membela klien bersalah dalam perspektif fiqih dan eksploitasi alam secara berlebihan.

Topik bahasan lain yang juga penting dalam Muktamar Jombang adalah metode Istinbath Hukum (bayani, qiyasi, maqashidi), pasar bebas, hukuman mati, perlindungan umat beragama melalui UU, memperpendek masa tunggu calon haji, perlindungan TKI, pencatatan nikah bagi mereka yang beragama Islam, dan sebagainya.

Dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah (perundang-undangan) pada Muktamar Ke-33 NU di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, muktamirin mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Badan Nasional Kerukunan Umat Beragama.

"Badan khusus itu penting sebagai kelanjutan dari FKUB yang selama ini sudah ada pada tingkat kabupaten/kota hingga provinsi. Namun, kami usulkan agar dibentuk hingga tingkat nasional karena masalah keagamaan akhir-akhir ini cukup mencolok," kata pimpinan sidang komisi itu, Prof. K.H.M. Ridwan Lubis, di Jombang, 4 Agustus 2015.

Anggota Musytasyar PBNU asal Sumatra itu menjelaskan usulan itu muncul ketika peserta sidang membahas tentang UU Perlindungan Umat Beragama dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah (PP Nomor 55/2007), apalagi ada sejumlah materi pendidikan agama di sekolah yang dimasuki materi-materi versi Wahabi.

"Akhirnya, peserta mengusulkan perlunya badan khusus untuk itu, bahkan fungsinya tidak hanya sekadar menjadi kelanjutan dari FKUB, tetapi bisa juga menangkal radikalisasi, merevisi perda-perda yang bertentangan dengan agama, merevisi buku-buku agama yang tidak moderat, dan juga meredam meluasnya insiden seperti Tolikara," katanya.

Untuk masalah haji yang masa antreannya terlalu panjang, muktamirin merekomendasikan dua hal, yakni pemerintah harus berjuang terus-menerus untuk meminta pemerintah Kerajaan Arab Saudi guna menambah kuota haji bagi Indonesia, lalu memprioritaskan calon haji yang sangat tua untuk berangkat ke Tanah Suci.

Terkait dengan masalah TKI yang menikah di negara orang, muktamirin mendesak pemerintah untuk menyiapkan pencatat nikah untuk mereka, bahkan muktamirin juga mengusulkan perlunya atase agama pada sejumlah KJRI yang banyak TKI, seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Hong Kong.

Untuk masalah pembakaran dan penenggelaman kapal asing yang melanggar hukum di wilayah NKRI yang dilakukan pemerintah, muktamirin menilai hukumnya mubah (boleh) dalam rangka untuk menjaga kedaulatan NKRI.

Penenggelaman dan pembakaran kapal asing yang telah melanggar hukum negara RI dan jelas-jelas menurunkan harkat dan martabat bangsa Indonesia itu bisa dikategorikan sebagai takzir bil mal (sanksi harta). Takzir bisa diganti dengan hukuman lain sepanjang memiliki mashlahah 'ammah.

"Nahdlatul Ulama dapat menerima kebijakan itu karena sanksi harta itu juga pernah dilakukan para sahabat nabi dan sanksi itu harus diberikan secara bertahap. Jadi, sanksi itu harus melalui proses hukum, bukan langsung ditenggelamkan begitu saja," kata anggota sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyyah K.H. Asyhar Shofwan.

Tentang advokat yang melampaui kewenangannya untuk semata-mata memenangkan klien, muktamirin menyatakan advokat yang mendampingi klien memang berkewajiban memastikan bahwa proses hukum yang dijalani oleh kliennya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sehingga kliennya mendapatkan keadilan.

"Namun, kalau menyodorkan bukti-bukti palsu, mengarahkan saksi-saksi untuk berbohong, dan lainnya, seperti dalam kasus korupsi dan narkoba, maka haram hukumnya bila menghalalkan segala cara dan ada unsur manipulasi. Jadi, hukum seorang advokat yang menggunakan segala cara demi memenangkan kliennya adalah haram," katanya.

Alasannya, hal itu menghalangi pihak lain untuk mendapatkan haknya, terdapat unsur manipulasi, atau membantu kezaliman. "Oleh karena itu, hukum honor yang diterima advokat adalah halal. Akan tetapi, bila cara yang dilakukan justru melawan keadilan, hukum honor yang diterimanya juga haram," katanya.

Topik yang juga penting ada dalam Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah (tematik) yang membahas pengambilan hukum (Istinbath) dengan istinbath Jama'i. Istinbath jama'i itulah yang dikhawatirkan merusak tradisi NU karena mendorong seseorang mengambil hukum secara langsung kepada Alquran dan hadis.

Namun, muktamirin akhirnya memutuskan untuk menerima proses itu melalui persyaratan yang ketat. Nahdlatul Ulama menerima proses istinbath jama'i itu melalui lima pendekatan yang ketat, yakni qiyasi, ilhaqi, istislakhi, istisani, dan syardud dariah sehingga tidak jauh dengan proses istinbath selama ini.

"Jadi, proses istinbath itu juga bukan karena hebat, melainkan ada tahapan yang tidak membuat orang menjadi jiroah (sembrono) karena prosesnya bertahap dengan tetap merujuk kitab-kitab yang mu'tabaroh," kata peserta sidang dari PWNU Jatim K.H. Amanullah.

Akhirnya, semua persoalan agama yang kontemporer (kekinian),  maudluiyah (tematik), dan qanuniyah (perundang-undangan) dapat dirumuskan muktamirin dengan tetap merujuk kitab-kitab klasik, seperti Fath al-Mu'in, I'anah al Thalibin, Ihya 'Ulum al-Din, Al-Adzkar al-Nawawiyah,  Al-Ahkam al-Shulthaniyah, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Bughyah al-Mustarsyidin, dan Raudlah al-Thalibin.