'Profesor' Batu dari Rawa Bening

id 'Profesor' Batu Akik, Batu Rawa Bening, Bisnis Batu Akik

Palembang (ANTARA Lampung) - Ikhsan, pria berusia 55 tahun yang kesehariannya berdagang batu akik di Rawa Bening, Jakarta, mendapat nama panggilan baru seiring dengan demam batu alam yang melanda masyarakat di seluruh penjuru daerah.

Tak tanggung-tanggung, dia dipanggil profesor oleh kalangan perbatuan yang biasa menyambangi Rawa Bening, lokasi penjualan batu akik terbesar di Asia Tenggara.

Gelar prestisius yang lazim disematkan pada kalangan akademik peseorangan atas kepakaran ini dianggap pantas bagi Ikhsan karena dinilai lingkungannya sangat piawai dalam menilai batu akik sebagai batu alam khas dalam negeri.

Kelebihan yang mencolok dari kakek satu cucu ini, yakni dapat memastikan keabsahan sebuah batu--asli atau palsu--hanya menggunakan alat bantu senter penerang, serta kandungan yang ada di dalamnya.

Tidak heran jika dia dijadikan tempat berkonsultasi para kolektor untuk sekadar memastikan keaslian, jenis, komposisi, hingga nilai jual karena di Rawa Bening tak lebih dari lima orang yang mendapatkan gelar profesor ini.

"Ini karena sudah terbiasa saja, sejak kecil saya sudah melihat pembuatan batu akik, mulai dari memotong, mengosok, hingga membingkai. Jadi, sudah memakai 'feeling'. Akan tetapi, saya juga tidak percaya jika ada orang yang benar-benar paham 100 persen soal batu akik," kata Ikhsan yang dijumpai di sela Festival Batu Akik Sumatera Selatan di Palembang, Jumat (5/6).

Kepiawaian ayah dua anak ini bukan didapatkan serta-merta, melainkan berkat ketekunannya dalam mengeluti bisnis batu sejak 30 tahun lalu.

Ia mengemukakan bahwa kesukaan ini bermula dari sang ayah tercinta yang menjadi pedagang pengikat batu di Rawa Bening.

"Sejak kecil saya memang suka dengan batu, senang melihat seni yang ada di dalamnya sebagai perpaduan dari warna, serat, dan asal usul. Itulah saya tidak bisa fanatik dengan hobi pada satu jenis batu saja," kata pedagang yang memiliki gerai di lantai satu Pasar Rawa Bening ini.

Lantaran itu Ikhsan pun tidak pernah menyesal ketika memutuskan berhenti dari tempat bekerja karena ingin fokus berbisnis batu akik.

Setelah selesai kuliah di Universitas Jayabaya mengambil Jurusan Ekonomi Perusahaan, dia yang sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta selama enam bulan memutuskan untuk fokus berdagang batu.

Meski berdagang batu, dia juga tetap menjalani hobi sebagai kolektor batu dan ternyata kesukaan ini menurun pada anak pertama.

"Seperti kata orang, yang paling enak itu jika bekerja seiring dengan hobi, dan bersyukur sekali saya merasakan itu. Jika ada batu bagus, biasanya saya simpan dulu untuk dipandang dan dilihat-lihat, nanti jika sudah bosan baru dijual," kata Ikhsan sambil tertawa.

Lantaran kemahirannya yang sudah diakui itu, Ikhsan pun tidak memungkiri mendapatkan sejumlah keuntungan.

Tangan dinginnya yang andal dalam memilih batu sering digunakan rekan sesama pebisnis ketika memilih bahan.

"Batu yang saya pilih (masih bahan berbentuk butiran, Red) sering diambil teman. Batu yang dengan harga per butir Rp50 ribu bisa melonjak jadi Rp500 ribu ketika sudah masuk lemari kaca," kata dia.  
   
Konsumen yang datang pun beragam, mulai dari artis, pejabat, hingga anggota DPR. Mereka turut memperbaiki kesejahteraannya sejalan dengan bertambahnya pundi-pundi uang.

Tak terhenti di situ, saat ini Ikhsan juga kebanjiran permintaan menjadi juri kontes batu di beberapa kota di Indonesia.

Padahal, dia sama sekali belum pernah mengeyam pendidikan formal terkait dengan batu alam.

"Sekolah mengenai batu ini adanya di Hong Kong, itu pun khusus untuk batu mulia, yang batu akik belum ada. Ke depan, saya dan rekan-rekan mendorong ada sekolahnya dengan menggaet kalangan autodidak dan gemolog dari pemerintah," kata dia.

Tak lupa, Ikhsan pun membangun komunitas para pedagang batu akik di Rawa Bening, Purna Cakra, untuk menjaga kesejahteraan para pedagang dan membesarkan batu alam dalam negeri.

Menurut dia, pemerintah harus turun tangan dalam mengangkat potensi ekonomi yang ada pada bisnis batu akik ini, terutama dalam membawa batu alam khas Indonesia menembus pasar dunia.

Batu akik ini tidak bisa disamakan dengan produk terdahulu yang sempat "booming", seperti ikan lohan dan tanaman gelombang cinta atau burung cucak rawa.

"Ini beda, banyak keunggulannya seperti benda mati yang tidak perlu perawatan seperti beda hidup, memiliki unsur kelangkaan karena sulit didapatkan, dan bisa jadi investasi," kata dia.

Ia percaya kehebohan dalam batu akik ini dilatari karena masyarakat baru mengetahui potensi batu alam yang dimiliki Indonesia, mengingat sejatinya keandalan ini sudah diketahui oleh konsumen dari luar negeri.

"Artinya, ini tinggal dikelola saja, bukan sesuatu yang bisa hilang begitu saja. Saya dan teman-teman berharap 'deman' batu akik ini dapat dikelola agar bisa menyejahterakan rakyat," kata dia.