Batu Giok Pembangkit Ekonomi Aceh

id Batu Giok Aceh

Banda Aceh (ANTARA Lampung) - Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, merupakan salah satu daerah yang memiliki batuan metamorfosis. Batu alam yang sering dimunculkan dari daerah pegunungan tersebut adalah jenis Giok atau lebih dikenal dengan nama "Batu Lumut Aceh".

Batu alam demikian lebih dikenal juga sebagai jenis semi batu mulia yang mengandung kadar tembus cahaya dengan beragam nama, seperti "batu lumut" atau Indocrase.

Saat ini masyarakat mulai mengincar batu alam tersebut dengan beragam nama lain yang sering disebut-sebut memiliki kasiat serta corak warna tersendiri seperti "Giko" jenis "Nefrid", "Badar Besi", "Bio Solar" dan "Solar". Jenis batu demikian hanya diperoleh di kawasan Gunung Singah Mata, Kecamatan Beutong, Nagan Raya.

Daerah lain penghasil giok seperti nephrite jadeit selain Kabupaten Nagan Raya yaitu Sungai Lumut, Kabupaten Aceh Tengah serta Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Sementara di Kabupaten Aceh Barat sendiri belum diketahui pasti apa nama jenisnya.

Bagi masyarakat Aceh yang saat ini dilanda "demam batu" berlomba-lomba mendapatkan berbagai jenis batu alam untuk koleksi pribadi malahan tidak jarang sudah menjadi sumber ekonomi masyarakat dan menjadi bisnis pengusaha lokal.

Hasan Sani (48) salah seorang pemburu batu alam di pedalaman hutan Nagan Raya mengatakan, di kawasan pegunungan dan hutan Nagan Raya sering ditemukan dua jenis batu Indocrase dan Solar dengan kualitas berbeda.

Berawal dari melihat beberapa masyarakat pedalaman Kabupaten Nagan Raya berhasil menemukan bongkahan bebatuan berwarna kehijaun dengan berat 8,7 ton yang dibeli dengan uang tunai oleh seorang pengusaha berdarah Tiongkok seharga Rp8 miliar.

"Mula-mula saya sedikitpun tidak tertarik, karena kejadian tersebut siapa yang tidak mau mencoba, apalagi batu alam itu sudah ada hanya tergantung keberuntungan siapa yang mencarinya," katanya.

Untuk mendapatkan batu tersebut para pemburu harus menempuh perjalanan kaki selama dua hari di dalam hutan setelah melewati 10-15 kilometer kawasan permukiman penduduk Kecamatan Beutong, Nagan Raya.

Hasan Sani memberanikan diri menaiki pegunungan menempuh perjalanan kaki untuk mencari keberadaan batu metamorfosis. Usahanya tidak sia-sia karena saat ini dirinya sudah memiliki 32 orang anggota membantu melakukan pengambilan batu tersebut menggunakan alat tradisional.

"Beda dengan mencari batu alam di kaki gunung, mereka mungkin menggunakan metode tambang dengan menggali, tapi kalau pencarian di kawasan tengah hutan itu tidak lagi, karena batu-batu yang kita cari menempel di pohon tua atau atas tanah gunung," sebutnya.

Di dalam hutan belantara, batu yang beragam corak warna ditemukan di atas permukaan tanah tanpa harus melakukan penambangan ataupun penggalian tanah, biasanya batu alam berwarna kehijauan terdapat pada himpitan kayu ataupun menempel pada dinding gua serta bebatuan berukuran besar.

Ada beberapa titik lokasi dalam hutan Nagan Raya yang sudah dikenal banyak orang terdapat batu giok dalam pegunungan seperti Alu Batee Meujunte, Alu Raheung, Alu Guha Ilehan, Alu Lampoh Geulidek dan Gunong Panca Leuho.

Pegunungan tersebut dikenal memiliki ketinggian menjulang sehingga pemandangannya dapat memantau sebagian wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya dari lima arah sisi berbeda.

Para pencari batu alam ini harus tidur di dalam goa demi keamanan, mereka harus tinggal di dalam hutan sampai berbulan-bulan, akan tetapi sebagian hasil yang didapatkan dibawa pulang dengan menekuknya dipundak.

Biasanya setiap orang hanya mampu membawa pulang 10-15 kilogram batu dengan cara melangsir, di setiap titik tertentu dengan jarak tempuh 100 kilometer di dalam hutan akan ada rekan atau kelompok lain yang membawa turun ke kaki pegunungan.

"Dalam goa itu kalau kami bangun pagi kena sedikit sinar cahaya berkilau-kilau sangat indah seperti permata, tapi bukan itu yang kami cari ada batu lain yang kadang berwarna buram tapi mengandung indocrase," ceritanya.

Dia menyatakan, persoalan harga batu alam yang dihasilkan para pemburu berfariasi mulai dari Rp100 ribu sampai bernilai jutaan rupiah per kilogram, tergantung kepada jenis dan kualitas yang dilihat para pembeli.
   
                                       Kebangkitan Ekonomi Kreatif
Pemerintah Kabupaten Nagan Raya saat ini sedang mengupayakan percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat, salah satunya diharapkan mampu bangkit melalui pengembangan industri batu alam ini.

Tidak sedikit masyarakat pedalaman daerah tersebut sudah beralih profesi menjadi pemburu batu alam karena harga jualnya sangat menjanjikan, terlebih lagi tingkat kebutuhannya saat ini semakin tinggi.

Mulai dari masyarakat non skil sudah mendapatkan penghasilan, sampai kepada terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat Aceh yang memiliki kemampuan dalam pengolahan batu alam setengah jadi.

Pemda Nagan Raya melalui Dinas Pertambangan dan Energi.(Distamben) mengeluarkan peraturan pelarangan bagi pihak manapun mengeluarkan batu alam mentah keluar daerah karena itu merugikan daerah.

"Boleh batu alam dari Nagan Raya dibawa ke luar akan tetapi sudah dalam bentuk barang jadi seperti acesories batu cincin dan semacamnya setelah diolah oleh para pengrajin daerah," kata Kadistamben Nagan Raya Syamsul Kamal.

Bukan bermaksud melarang masyarakat berbisnis, akan tetapi semua itu untuk menjaga hasil bumi daerah setempat dimanfaatkan dengan baik dan menguntungkan masyarakatnya.

Apabila hanya bentuk bongkahan batu yang dikeluarkan, maka harga jualnya lebih rendah ketimbang barang jadi, melalui pengolahan masyarakat setempat juga berkesempatan terbuka lapangan kerja sebagai para seniman batu alam.

Selama masyarakat Aceh dilanda "demam batu", selama 2014 sudah beberpa kali tertangkap oknum masyarakat yang mencoba menyelundupkan batu giok dengan beragam namanya keluar daerah.

Upaya tersebut mampu dikondisikan oleh aparat berwajib bersama tim gabungan pemerintah setempat, beberapa pelaku ditangkap dan batu alam disita untuk daerah karena dikeluarkan tanpa izin.

Tidak tanggung-tanggung bagi seorang pembisnis sedia menanamkan modal mencapai ratusan juta rupiah hanya untuk membangun lapak kaki lima ataupun menampung batu yang ditemukan masyarakat di pegunungan.

Kamurudin SE, adalah salah seorang pembisnis batu alam asal Kabupaten Aceh Barat bersedia menampung produksi bebatuan yang dihasilkan dari Kabupaten Nagan Raya yang saat ini sudah memiliki beberapa unit usaha.

"Bisnis ini harus kita coba kembangkan, karena sangat banyak dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi di Aceh, selain berkeuntungan bagi masyarakat, bisnis ini juga sangat menjanjikan," katanya.

Kamarudin yang memiliki relasi pengusaha keluar daerah saat ini mengaku tengah mencari peluang atau menjajaki kerjasama dengan pengusaha di kota-kota besar seperti Jakarata, bila perlu untuk luar negeri.

Selama penjajakan kerja sama keluar daerah, pengusaha batu alam Aceh ini baru mengirimkan sample, ternyata batu alam Aceh yang sudah berbentuk aksesories sangat diminati sehingga bisnis tersebut akan terus dikembangkan.

Selain itu, masyarakat yang berkerja pada usahanya itu ada beberapa yang sudah dapat dikatakan bangkit, sudah mampu membeli kendaraan pribadi serta membangun rumah dengan hasil keringat mereka secara tradisional.

Kamarudin berprinsip, ada beberapa hal yang sangat menjanjikan dalam bisnis batu alam produksi Aceh ini, di antaranya mampu memperkenalkan produk lokal serta memiliki keuntungan besar bila sudah diolah bahan jadi.

Meski demikian, bisnis mereka lebih mengutamakan batu alam dengan satu jenis nama yaitu batu lumut Aceh seperti Nefriet, meskipun saat ini harganya jatuh di tingkat lokal akan tetapi dia yakin hanya jenis itu yang akan mampu menguncang dunia usaha bisnis batu akik.

"Sekarang ini batu itu memang murah di Aceh, tapi di luar belum tentu karena jenis batu ini yang mengangkat Aceh, sementara beberapa nama jenis lain yang dikatagorikan mahal belum tentu mampu bertahan bila ditinjau secara ekonomi," imbuhnya.

Menurut para pembisnis di Aceh, mencuapnya batu alam menjadi idola masyarakat merupakan peluang bagi provinsi ujung barat Indonesia itu bangkit melalui produksi lokal yang unggul.

Selama ini Aceh lebih dikenal sebagai daerah konsumtif, karena belum ada satupun produksi lokal yang dianggap daerah luar menjadi produksi unggulan dalam bisnis dunia usaha.

Karenanya, kesempatan tersebut tidak akan disia-siakan oleh masyarakat Aceh untuk mengangkat nama daerah sehingga diharapkan mimpi menjadikan Giok Aceh sebagai produksi lokal dikonsumsi dunia dapat terwujud melalui penjajakan kerja sama yang tengah dipacu.