MA Tiongkok Tolak Hukuman Mati Korban KDRT

id MA Tiongkok Tolak Hukuman Mati Korban KDRT , China, Bunuh, Siksa, Sakiti, Perempuan

Ini artinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama dalam kasus dimana kekerasan dibalas dengan kekerasan, akan mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, terutama pengadilan."
Beijing (Antara/Reuters) - Mahkamah Agung Tiongkok membatalkan hukuman mati terhadap seorang perempuan yang didakwa membunuh suaminya setelah bertahun-tahun mengalami penyiksaan, kata kuasa hukumnya, Selasa, sebuah keputusan yang menurut para pegiat, menunjukkan keseriusan pemerintah memerangi kekerasan dalam rumah tangga.

Kasus Li Yan yang banyak dibicarakan melalui internet di Tiongkok, menyoroti penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga, dan menarik perhatian kelompok hak asasi manusia internasional.

Keputusan itu "akan memberikan efek teladan" untuk kasus-kasus serupa di masa depan, kata kuasa hukum Li, Guo Jianmei kepada Reuters, dan menjadi kasus pertama pembatalan hukuman mati di Tiongkok dalam kasus pembunuhan terhadap pelaku kekerasan rumah tangga.

"Ini artinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama dalam kasus dimana kekerasan dibalas dengan kekerasan, akan mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, terutama pengadilan," kata Guo, pengacara khusus di bidang hak perempuan.

Saudara lelaki Li menerima surat darinya pada Senin, memberitahukan keputusan pengadilan tersebut.

Mahkamah Agung Tiongkok memerintahkan pengadilan tinggi di provinsi baratdaya Sichuan untuk menyidangkan kembali kasus ini karena bukti tidak cukup dan tidak adanya kejelasan untuk beberapa fakta, kata Guo.

Hasil sidang terhadap Li nanti akan sulit untuk diprediksi, namun sepertinya pengadilan tidak akan menjatuhkan hukuman mati lagi padanya, imbuh Guo.

Li (43) dijatuhi hukuman mati pada 2012 karena membunuh suaminya Tan Yong. Tan secara fisik, seksual dan verbal telah menganiaya Li selama lebih dari tiga tahun, menyundutnya dengan rokok serta memotong salah sau jarinya, kata Guo.

Li memukul suaminya sampai mati dengan sebuah senapan angin setelah suaminya tersebut mengancam akan menembaknya. Ia kemudian memotong-motong mayat suaminya dan merebus potongan tubuh itu, kemungkinan untuk menghilangkannya. Namun alasan sebenarnya tindakan tersebut belum jelas.

Para pendukung Li mengatakan ia tidak selayaknya dihukum mati karena polisi dan dua pengadilan sebelumnya tidak mempertimbangkan penganiayaan yang dideritanya.

Keputusan pengadilan itu "signifikan dan merupakan langkah yang benar", kata William Nee, pengamat pada Amnesty Internasional.

"Kasus Li mempertegas pentingnya otoritas Tiongkok untuk melakukan lebih banyak hal untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan," kata Nee dalam sebuah pernyataan.

Kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada sekitar seperempat keluarga Tiongkok, dan hampir sepersepuluh dari kasus pembunuhan berencana berkaitan dengan kekerasan rumah tangga, kata Mahkamah Agung pada Februari.

Keputusan MA Tiongkok tersebut akan secara efektif memberikan contoh dan petunjuk bagi pengadilan yang lebih rendah, terutama dalam kasus-kasus semacam itu.

Tiongkok yang disebut-sebut oleh kelompok HAM paling banyak menghukum mati dibandingkan negara-negara lain di dunia, tengah membicarakan kemungkinan untuk mengurangi jumlah kasus kejahatan yang diancam hukuman mati.

Penerjemah: S. Haryati/A. Krisna.