Mengharap Tata Kelola Pajak Yang Bebas Korupsi

id Mengharap Tata Kelola Pajak Yang Bebas Korupsi, DP, Hadi Poernomo, Ditjen Pajak, PBB, Uang, Pendapatan, uang, Rupiah, Pendapatan, Laba, Rugi

Mengharap Tata Kelola Pajak Yang Bebas Korupsi

Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang PBB di Bandarlampung tahun 2013 yang naik 100-300 persen dari sebelumnya. (Foto: ANTARA LAMPUNG Dok/Budisantoso Budiman).

Saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak masih cukup rendah. Kalau tata kelola yang baik sudah tercapai, pasti akan meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak."
Jakarta (Antara) - Perhatian publik Indonesia kembali tertuju pada lembaga negara bernama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan setelah salah satu mantan pejabatnya, Hadi Poernomo, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Masih cukup segar di ingatan publik, seorang pegawai pajak bernama Gayus Tambunan menjadi terpidana kasus korupsi dan mendekam  di penjara.

Lebih mengejutkan lagi, Gayus ternyata tertangkap kamera seorang pewarta foto sedang menonton sebuah pertandingan olahraga di Bali, padahal statusnya masih menjadi terpidana.

Namun, kasus dan peradilan untuk Gayus itu mungkin dianggap hal yang biasa karena dia hanya petugas pajak biasa, tidak memiliki jabatan.

Ada adagium yang mengatakan "hukum di Indonesia itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas". Penegak hukum hanya akan menangkap pegawai-pegawai kecil yang korupsi, tapi tidak akan menjerat petinggi-petinggi lembaga yang diduga korupsinya lebih gila-gilaan.

Namun, adagium itu tampaknya dijawab dengan pembuktian oleh KPK. Terbukti, KPK di bawah kepemimpinan Ketua Abraham Samad, berani menahan dan menetapkan status tersangka beberapa pejabat negara.

Mulai dari kepala daerah, menteri, ketua mahkamah konstitusi dan pejabat-pejabat lain sudah merasakan "hangatnya" baju tahanan KPK.

Dan kini, KPK kembali menunjukkan taringnya dengan menetapkan Hadi Poernomo, yang baru satu hari pensiun dari jabatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai tersangka kasus keberatan pajak PT Bank BCA Tbk.

Hadi disangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang saat menjabat Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2002-2004.

Sebagai Dirjen Pajak, Hadi menerbitkan surat keberatan pajak nihil (SKPN) PT Bank BCA Tbk pada 2004 yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp375 miliar.

PT Bank BCA mengajukan surat keberatan pajak kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 17 Juli 2003 karena memiliki nilai kredit bermasalah atau non-performing loan sebesar Rp5,7 triliun.

Pada 13 Maret 2004, Direktur PPH mengirim surat kepada Dirjen Pajak Hadi Poernomo tentang hasil telaah terhadap surat keberatan pajak PT Bank BCA dengan kesimpulan menolak permohonan keberatan wajib pajak BCA.

Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final terhadap surat keberatan pajak BCA, yaitu pada 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan Direktur PPH melalui nota dinas untuk mengubah kesimpulan telaah.

Nota dinas dari Hadi mengubah hasil telaah terhadap surat keberatan pajak PT BCA menjadi menerima surat keberatan itu.

"Saudara HP mengabaikan adanya fakta bahwa materi keberatan pajak yang sama juga diajukan oleh bank-bank lain, tapi ditolak. Dalam kasus BCA, surat keberatan pajaknya diterima," kata Ketua KPK Abraham Samad saat mengumumkan penetapan status tersangka Hadi Poernomo.
   
                            Pencucian Uang
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak KPK untuk menelusuri adanya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Hadi Poernomo setelah dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus keberatan pajak BCA.

"Kita berharap KPK juga akan menelusuri apakah ada tindak pidana pencucian uang yang dilakukan HP. Apalagi, selama ini kekayaannya dinilai tidak wajar," kata Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas.

Firdaus mengatakan bahwa dalam publikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kekayaan Hadi Poernomo relatif mencengangkan. Karena itu, KPK harus menelusuri dari mana harta kekayaan itu diperoleh.

"Sebelumnya disebutkan harta itu dari hibah dan sebagainya. Harus ditelusuri apakah hal itu benar atau diperoleh karena memainkan pajak saat menjabat sebagai dirjen," tuturnya.

Firdaus juga menilai penetapan tersangka Hadi Poernomo yang bertepatan dengan hari pensiunnya sebagai Ketua BPK tidak ada unsur politis melainkan kehati-hatian KPK dalam mengusut kasus tersebut.

Firdaus mengatakan kasus tersebut terjadi pada 2004, dilaporkan pada 2012 dan baru mulai dimulai proses penyidikan pada 2014.

Menurut Firdaus, KPK harus berhati-hati dalam pengusutan kasus itu supaya unsur tindak pidana korupsi terpenuhi, yaitu dilakukan oleh pejabat negara, adanya penyalahgunaan wewenang dan memperkaya diri dan orang lain.

"Tentu sangat disayangkan kalau KPK terburu-buru, kemudian pelanggaran yang ditetapkan kemudian hanya pelanggaran administrasi perpajakan. Jadi menurut saya tidak ada unsur politis, hari pensiun, ulang tahun atau tahun politik," katanya.
   
                            Pembenahan
Firdaus mengatakan, perlu ada pembenahan di internal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan supaya kasus yang menjerat mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo tidak kembali terulang.

"Perlu pembenahan prosedur standar operasional ketika wajib pajak mengajukan keberatan. Apakah memungkinkan dirjen menganulir putusan yang sudah diputuskan di tingkat bawah," katanya.

Apalagi, kata Firdaus, peran pajak dalam keuangan negara sangat penting. Kurang lebih 70 persen penerimaan negara berasal dari pajak.

Sementara itu, di sisi lain, dirjen pajak memiliki kewenangan besar dalam menentukan menerima atau menolak keberatan yang diajukan wajib pajak. Karena itu, perlu ada prosedur standar operasional yang baik di Direktorat Jenderal Pajak
 
"Selama ini, KPK hampir selalu melakukan tangkap tangan dalam kasus korupsi di sektor pajak. Biasanya yang ditangkap pejabat pelaksana, kali ini dirjen pajaknya langsung yang ditetapkan sebagai tersangka," tuturnya.

Firdaus mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak juga perlu bersikap transparan sesuai dengan kewenangannya. Menurut dia, tidak ada salahnya membuka siapa saja wajib pajak yang mengajukan keberatan selama tidak mengungkap data yang rahasia.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga perlu meningkatkan kapasitas dan kuantitas personelnya supaya permasalahan perpajakan, termasuk tindak pidana korupsi, bisa diminimalkan.

"Selama ini rasio petugas pajak dengan wajib pajak masih belum memadai. Hal itu dinilai menjadi penyebab kekuranghati-hatian ditjen pajak," kata Firdaus.

Firdaus mengatakan saat ini jumlah petugas pajak yang ada di Indonesia sekitar 30 ribuan. Jumlah itu dinilai masih kurang dan terbatas untuk menangani permasalahan pajak dengan jumlah wajib pajak yang cukup banyak.
    
                       Tata Kelola Perpajakan
Pengamat perpajakan Universitas Indonesia Christine mengatakan, tata kelola perpajakan dulu tidak sebaik saat ini sehingga memungkinkan seorang pejabat melakukan permainan yang bisa memanipulasi pajak.

"Kejadian yang melibatkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo itu kan sudah lama. Struktur tata kelola perpajakan saat itu belum sebagus saat ini," kata Christine.

Pengajar Fakultas Ekonomi UI itu mengatakan, struktur tata kelola perpajakan saat itu mungkin memberikan kewenangan besar kepada direktur jenderal pajak sehingga memungkinkan untuk menganulir keputusan direktur di bawahnya.

Menurut Christine, prinsip-prinsip tata kelola yang baik adalah transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan kewajaran.

"Dari sisi transparansi, misalnya, seharusnya dirjen pajak memberikan penjelasan yang terbuka apa dasarnya menerima atau menolak keberatan wajib pajak. Apalagi, saat itu hanya BCA saja yang keberatannya diterima," tuturnya.

Christine mengatakan, celah untuk "bermain" dan korupsi di sektor perpajakan saat ini sudah semakin sempit karena Direktorat Jenderal Pajak sudah melakukan beberapa pembenahan.

"Tata kelola perpajakan saat ini sudah lebih baik, meskipun belum sepenuhnya sesuai dengan tata kelola yang baik (good governance), namun setidaknya peluang 'bermain' dan korupsi semakin sempit," katanya.

Ia mengatakan, mungkin di masa lalu korupsi di Direktorat Jenderal Pajak sudah menjadi rahasia umum. Namun, saat ini keadaan sudah membaik sehingga peluang untuk korupsi semakin sempit.

"Mungkin peluang masih ada kalau di daerah, seperti di kantor-kantor pajak pratama. Namun di tingkat pusat, peluang itu semakin sempit," tuturnya.

Apalagi, masyarakat saat ini juga semakin kritis dan tidak sedikit yang menjadi "whistle blower" atau orang-orang yang mengekspos kesalahan, ketidakjujuran atau tindakan ilegal di sebuah organisasi.

Dia berharap Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan terus berupaya melakukan pembenahan sehingga seluruh unsur tata kelola yang baik terpenuhi.

"Saat ini tingkat kepatuhan wajib pajak masih cukup rendah. Kalau tata kelola yang baik sudah tercapai, pasti akan meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak," katanya.