Kehancuran Mahakam Tinggal Menunggu Waktu

id Kehancuran Mahakam Tinggal Menunggu Waktu

Samarinda (ANTARA LAMPUNG) - Tidak banyak aliran sungai yang berada di planet bumi ini memiliki kemiripan dengan Sungai Mahakam yang berada di Kalimantan Timur.

Sungai Mahakam sepanjang 980 kilometer, juga tidak dapat dimungkiri bahwa sejak awal kemerdekaan, kekayaan yang ada di perut bumi Mahakam merupakan mesin devisa bagi Indonesia, terutama di sektor kehutanan, pertambangan minyak, gas, dan batubara.

Menelusuri sungai dengan starting point di kampung Long Apari,  sekitar 900 kilometer di bagian hulu Mahakam menuju muara  di kota Samarinda, seakan berada dalam sebuah lukisan bum  yang menggurat alamiah sejak ribuan tahun silam, sementara gemercik air bening yang tak pernah henti mengalir mewarnai keasyikan tersendiri bagi siapa saja yang berpetualang merambah pedalaman Kalimantan itu.

Di bagian hulu Sungai Mahakam inilah, terjadi lekukan geografi dari pegunungan Muller-Sachwaner yang kemudian bersambung dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Barat.

Di sekitar lokasi inilah kemurahan alam terwujud dengan berkembang biaknya ikan Arwana berkualitas tinggi bersisik merah, putih dan perak.

Perahu bermesin yang oleh penduduk setempat disebut 'cis', hingga kini masih merupakan transportasi mahal, karena tarifnya mencapai Rp2 jutaan lebih, untuk perjalanan kurang dari 40 kilometer menuju dermaga berikutnya yang menyediakan jasa angkutan berupa kapal kayu berukuran kecil menuju muara sungai.

Menelusuri lekukan sungai, penumpang seakan berada dalam permainan 'roller coaster' yang kadang-kadang melambung kemudian tiba-tiba menukik menghempas cis di antara riam-riam terjal, sementara sang pengemudi yang selalu berdiri mengamati celah aliran air terlihat tegang dengan sesekali mengangkat tangan pertanda memberi salam sambil berkomat-kamit membaca mantera.

"Tidak banyak yang selamat melewati riam ini," tutur Ayuq, motoris yang sudah 15 tahun menggeluti pekerjaan itu, menunjuk riam berbatu cadas sebesar rumah yang sering meminta korban jiwa setelah badan perahu hancur berkeping-keping menabrak batu.

Walaupun pagi itu kabut masih menyelimuti permukaan sungai, sesekali terdengar suara gaduh mesin 'chainsaw' dari pinggiran sungai, pertanda adanya penebangan kayu, sementara di tikungan riam berikutnya suara bekantan jenis kera berhidung panjang bersahut-sahutan memekakkan pendengaran, bersamaan dengan hilir mudiknya burung enggang mencari tempat berhinggap.

Pemandangan menakjubkan terlihat di sepanjang sungai sekitar kampung Long Bagun, tebing-tebing batu menjulang tinggi sepanjang puluhan kilometer seakan melengkapi pesona Mahakam yang tak pernah sepi dari perburuan manusia-manusia rakus menghancur keseimbangan alam setempat.

Dinding batu mirip bekas sayatan itu dahulunya tempat penyimpanan jenazah suku-suku Dayak, sekaligus merupakan sisa peninggalan sejarah panjang Sungai Mahakam yang pernah mengalami benturan geologi hingga membuat patahan-patahan berupa pegunungan batu marmer yang belum tersentuh kemajuan teklonogi.

Tetapi, suasana hutan belantara Kalimantan ini tidak selestari awalnya lagi, setidaknya sejak penebangan hutan secara massif berlangsung awal 1970-an yang sempat menggunduli 11 dari 15 juta hektare hutan produksi hingga merusak ekosistem sebagai penupang utama paru-paru dunia.

Pembabatan hutan itu hingga kini sudah merambah bagian delta Mahakam di bagian muara sungai yang dahulu sempat menyimpan 150.000 ha tanaman mangrove, dan kini tinggal 23.000 ha yang setiap saat terkikis oleh kegiatan pertambangan dan pengeboran minyak.

Setelah hutan Kalimantan Timur sudah mendekati titik puncak kehancuran, ternyata kerakusan manusia masih tidak puas untuk berhenti sampai di situ.

Era tahun 1980-an berganti dengan babak penghancuran yang lebih dahsyat lagi, yaitu dengan dilakukannya penambangan batubara besar-besaran tanpa pengawasan terhadap kelestarian lingkungan.

Begitupula eksploitasi minyak dan gas yang berada di Blok Mahakam yang dikuras lebih dari 40 tahun, belakangan ini tinggal sisa-sisa kemurahan alam yang kemungkinan hanya mampu bertahan paling lama 25 tahun lagi.
   
                                                       Tinggal Kenangan?
Menelusuri Mahakam belumlah lengkap tanpa menemukan ikan pesut mahakam (Orcaella brevirostris) yang oleh Dinas Pariwisata setempat selalu 'dijual' untuk memancing kehadiran wisatawan. Namun sayang,  ikan langka tersebut belakangan ini hanya terlihat di brosur dan spanduk tanpa pernah lagi terlihat sejak 1980-an.

Jenis hewan mamalia yang sering disebut lumba-lumba air tawar itu, kini kemungkinan hampir punah karena berdasarkan data tahun 2007, populasi hewan tinggal 50 ekor saja dan menempati urutan tertinggi satwa Indonesia yang terancam punah.

Secara taksonomi, pesut mahakam adalah subspesies dari pesut (Irrawaddy dolphin) yang di dunia hanya terdapat di Sungai Mahakam, Sungai Mekong (Vietnam) dan Sungai Irrawaddy.

Walaupun industri kepariwisataan Kalimantan Timur masih mengagung-agungkan pesut Mahakam, tetapi itu hanya tinggal kenangan, karena di habitat asalnya di Danau Semayang (13.000 ha), Danau Melintang (11.000 ha) maupun Danau Jempang (15.000 ha) sudah tidak pernah muncul lagi kepermukaan air.

Begitu pula, keberadaan orangutan ataupun fauna lainnya sudah jarang ditemukan penduduk setempat, akibat kerusakan ekologis yang ditandai dengan meningkatnya abrasi dan erosi.

Bagi rakyat yang tinggal di Kalimantan Timur, Mahakam adalah lumbung utama kekayaan sumber daya alam, sekaligus sebagai dompet APBN, karena setiap tahun tidak kurang dari Rp400 triliun perolehan devisa negara disumbang oleh eksploitasi perut bumi Mahakam itu.

Namun, Mahakam kini tidak lagi seramah dahulu, karena kepentingan bisnis tidak sejalan dengan upaya pelestarian alam, sementara di pihak lain rakyat setempat masih tetap sebagai penonton dengan menyaksikan miliaran kubik kayu, batubara, gas alam cair, serta minyak mentah hilir mudik melintasi sungai Mahakam tanpa henti,  menjelang saat-saat terakhir kehancuran benar-benar terjadi.