Prosesi Jumat Agung Di Larantuka

id Jumat Agung

Prosesi Jumat Agung Di Larantuka

ALAN SALIB. Sejumlah umat Kristiani melakukan Tablo Jalan Salib di Gereja Katedral Makassar, Sulsel, Jumat (6/3). Seluruh umat Kristiani memperingati Jumat Agung yaitu wafatnya Yesus Kristus. (FOTO ANTARA/Yusran Uccang)

Larantuka hanyalah sebuah kota kecil terletak di kaki Gunung (Ile) Mandiri yang langsung berhadapan dengan lautan sempit di antara Pulau Adonara dan ujung timur Pulau Flores.
           
Menjelang prosesi Jumat Agung pada 6 April 2012, sebuah tradisi sakral dalam agama Katolik untuk memperingati wafat Yesus kristus,  di Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur itu sudah mulai dipadati para peziarah Katolik dari berbagai kota dan desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan berbagai kota di Indonesia serta dari mancanegara.
           
Menurut Ketua Panitia Prosesi Samana Santa Kaum Awam Birokrat AntonTonce Matutina, hingga perayaan Rabu (4/4) Trewa, sudah tercatat ratusan peziarah Katolik dari berbagai kota dan desa di NTT serta dari beberapa kota lainnya di Indonesia, memasuki Kota Larantuka untuk menyambut perayaan Prosesi Jumat Agung yang telah dilaksanakan sejak 500 tahun lampau.
          
"Semua kamar hotel sudah penuh karena para tamu dari luar yang ingin mengikuti proses Jumat Agung sudah memesan kamar sejak Februari lalu. Mereka langsung membayar di muka sehingga para pemilik hotel tidak berani menerima tamu lain," kata Matutina yang juga Sekretaris Daerah Kabupaten Flores Timur itu.
           
Persoalan minimnya fasilitas hotel, bukanlah sebuah persoalan bagi panitia dalam mengatasi membludaknya para peziarah Katolik untuk menyaksikan atraksi wisata agung di hari Jumat Agung itu, karena rumah penduduk juga disiapkan untuk menampung peziarah tanpa ada pungutan biaya sepersen pun dari mereka.
          
Tradisi keagamaan yang merupakan warisan Portugis itu, sudah berlangsung lebih dari 500 tahun ketika bangsa Portugis menyebarkan agama Katolik dan berdagang cendana di Kepulauan Nusa Tenggara. Prosesi Jumat Agung itu diawali dari perayaan Rabu Trewa yang tahun ini jatuh pada 4 April 2012.
         
Trewa dalam tradisi Gereja Katolik artinya bunyi-bunyian, namun ritual keagamaan yang satu ini, sudah jarang dilakukan oleh Gereja Katolik lainnya, kecuali gereja-gereja Katolik yang ada di wilayah Keuskupan Larantuka, yang terbentang mulai dari Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor dan Lembata.
         
Gereja Katolik setempat mengizinkan bunyi musik atau bunyi benda lainnya seperti lonceng gereja hingga pukul 20.00 Wita. Selepas pukul 20.00 Wita menjelang perayaan Kamis Putih pada keesokan harinya, tidak lagi terdengar bunyi-bunyian tersebut. Larantuka larut dalam sepi mengenang kisah sengsara Yesus Kristus sampai wafat di kayu salib pada Jumat Agung (6/4).
         
Sebelum tibanya Jumat Agung, umat Katolik dan para peziarah lainnya merayakan misa untuk mengenang perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus dengan murid-muridNya pada perayaan Kamis Putih (5/4).
          
Kota kecil di ujung timur Pulau Flores itu masih tetap sunyi senyap sepertinya halnya Nyepi bagi umat Hindu di Bali. Pada pagi harinya di hari Kamis Putih itu, arca Tuan Ma (patung Bunda Maria) yang tersimpan di Kapel Maria Pante Kebis itu mulai dimandikan oleh lima suku besar di Larantuka.
          
Upacara pemandian ini tertutup untuk umum. Namun, setelah pemandian, para peziarah biasanya mengambil air mandi bekas pemandian Tuan Ma di sebuah bak penampungan lalu dipindahkan ke botol untuk dibawa pulang. Air bekas pemandian Tuan Ma itu diyakini memiliki khasiat.

    
                                         Satu Tahun Sekali
    
Tuan Ma hanya dikeluarkan setahun sekali saat tibanya perayaan Paskah. Untuk pertama kalinya, hanya keluarga kerajaan yang boleh mencium Tuan Ma. Sekitar pukul 22.00 Wita pada Kamis Putih itu, umat mulai melakukan lamentasi (ratapan Nabi Yeremia) hingga Jumat pagi di Gereja Katedral Larantuka.
          
Dari titik lamentasi itu, para peziarah diizinkan untuk mencium Tuan Ma di Kapel Pante Kebis dan Tuan Ana di Kapel Lohayong. Ritual mencium Tuan Ma dan Tuan Ana ini berlangsung hingga Jumat pukul 13.00 Wita.
           
Rangkaian prosesi Jumat Agung dimulai dengan perarakan Tuan Ma dan Tuan Ana ke Katedral Reinha Rosari Larantuka. Mulai pukul 14.00 Wita, Tuan Ma menjemput Tuan Ana, lalu masuk ke gereja dengan iringan ribuan peziarah Katolik yang datang dari berbagai belahan nusantara dan mancanegara.
            
Duta Besar Portugal untuk Indonesia Carlos Manuel Leitao Frota bersama isteri Ny Arlinda Chavez Frota, kata Matutina, dipastikan menghadiri prosesi Jumat Agung di Kota Larantuka, selain Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan beberapa menteri KIB II juga direncanakan mengikuti prosesi Semana Santa di Larantuka.
           
"Pejabat negara yang sudah pasti mengikuti prosesi Jumat Agung di Larantuka adalah Dubes Portugal beserta istri dan juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Kalau beberapa menteri lainnya seperti Menhan belum ada kepastian," katanya.
           
Prosesi Jumat Agung dapat dihayati sebagai perenungan mengikuti perjalanan Bunda Maria yang begitu berduka cita dalam mengikuti penderitaan putranya Yesus Kristus.
           
Larantuka secara historis-religis, juga terkenal dengan sebutan Kota Reinha. Kota tua kecil yang terletak di kaki Ile Mandiri itu telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria.
          
Sejarah mencatat, semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, sejak itu pula pengaruh Portugis mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.
          
Salah satu peninggalan terbesar dan tetap tinggal dan dilanjutkan hingga dewasa ini adalah pelaksanaan ritus prosesi Jumat Agung pada musim Paskah setiap tahun.
           
Dalam tradisi gereja Katolik di Flores Timur, khusunya di Larantuka, hari Kamis Putih difokuskan oleh umat Katolik setempat untuk melakukan kegiatan "tikan turo" atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada keesokan harinya (6/4).
          
Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan sebutan kota Reinha Rosari itu, hening mencekam karena sedang dilakukan kegiatan "tikan turo" oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan pada Jumat Agung) sesuai promesanya (nasar).
          
Ketika itu juga, aktivitas di kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dimulai dengan upacara "Muda Tuan" (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) oleh petugas conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah.
          
Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi dengan busana perkabungan berupa sehelai mantel warna hitam, ungu atau beludru biru.
          
Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa,  bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan itu dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).
           
Sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka itu.
            
Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai melakukan kegiatan "cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana" dalam suasana hening dan sakral.

                                              
                                    Sejarah Katolik di Larantuka
     
Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda pula.
           
Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.
           
Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut ceritra legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
          
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
          
Sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
           
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
           
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
          
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Selama lima abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.
          
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
          
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar "Semana Santa" dan Prosesi Jumad Agung atau "Sesta Vera". Kedua ritual ini dikenal sebagai "anak sejarah nagi" juga sebagai `gembala tradisi` di tanah nagi-Larantuka.
          
Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya.
          
Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin. Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci.
          
Pada hari Jumat pagi sekitar pukul 10:00 Wita, ritus Tuan Meninu (Arca Yesus) dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu (Laskar Laut) diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral.
          
Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja Larantuka dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih.
          
Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15:00 Wita, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.
         
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan buah perhentian (armida), yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St. Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce dan Armida Desa Lohayong.
          
Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.
          
Prosesi Jumat Agung adalah sebuah perarakan yang begitu semarak dan sakral. Sejak perarakan keluar dari gereja, para "ana muji" melagukan "popule meus" yang mengisahkan tentang keluhan Allah akan rahmat dan kebaikan-Nya yang disia-siakan oleh umat-Nya.
          
Sementara puteri-puteri Yerusalem meratapi penderitaan dan kesengsaraan Kristus dalam alunan "ejus domine". Disetiap Armida (perhentian), dalam keheningan nan bening, ketika semua doa dan lagu dihentikan berkumandanglah ratapan Kristus yang memilukan...Ovos omnes est dolor sicut dolor meus¿" (Wahai kalian yang melintas dijalan ini adakah deritamu sehebat deritaku).
         
Lagu pilu ini dinyanyikan oleh seorang perempuan berkerudung biru, sembari secara perlahan-lahan membuka gulungan berlukiskan "ecce homo" atau wajah Yesus bermahkota duri yang berlumuran darah.
          
Momentum ini kembali mengingatkan peristiwa Veronika menyapu wajah Yesus ketika dalam perjalanan berdarah menuju bukit tengkorak (Golgota) yang kemudian disusul dengan lagu "sinyor deo missericordia" yang begitu agung oleh barisan Confreria.
           
Prosesi Jumat Agung di kota kecil Larantuka itu tetap akan abadi, karena tradisi keagamaan itu telah berubah wujud menjadi sebuah wisata rohani yang mengundang begitu banyak peziarah Katolik untuk melihat dari dekat warisan budaya peninggalan bangsa Portugal di ujung timur Pulau Flores itu.