Muslim Prancis Khawatir Akibat Dari Peristiwa Toulouse

id Muslim Prancis Khawatir Akibat Dari Peristiwa Toulouse

"Merah tewas tapi ia menghidupkan kembali Islamofobia. Sayangnya, umat Muslim dituding berada di balik setiap tindakan salah dan Islam menjadi topik panas dalam perdebatan politik."
Paris (ANTARA/Xinhua-OANA) - Kendati penembakan dengan mengendarai skuter di Toulouse berakhir dengan tewasnya pria bersenjata yang mendapat ilham dari Al_Qaeda, bagi umat Muslim di Prancis, babak penembakan berantai itu belum lah usai.

Mereka khawatir peristiwa tragis tersebut akan meningkatkan ketakutan dan keprihatinan terhadap Islam di negeri itu, tempat minoritas Muslim dan keamanan menjadi topik pembicaraan panas selama beberapa pekan menjelang pemilihan presiden.

Mohamed Merah dicurigai membunuh tiga personel pasukan-para nasional dari etnik minoritas dan empat orang Yahudi dalam dua pekan belakangan di kota besar Toulouse serta Montauban di bagian selatan negeri tersebut.

Tersangka yang bersenjata itu tewas Kamis (22/3), saat ia berusaha melepaskan tembakan untuk menyelamatkan diri setelah polisi mengepung satu rumah selama 21 jam di Toulouse.

Asma, seorang mahasiswi bercadar dari fakultas ekonomi, menyampaikan keprihatinan mengenai peningkatan rasisme dan sikap tak bertoleransi terhadap umat Muslim.

"Merah tewas tapi ia menghidupkan kembali Islamofobia. Sayangnya, umat Muslim dituding berada di balik setiap tindakan salah dan Islam menjadi topik panas dalam perdebatan politik," kata mahasiswi Aljazair yang berusia 24 tahun tersebut. Ia menolak untuk menyebutkan nama lengkapnya kepada Xinhua --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Ahad pagi.

Asma menyerukan pemikiran baru untuk mengetahui apa motif Merah memilih radikalisme.

"Lebih baik mencari penyebab nyata peristiwa semacam itu daripada menggunakan Islam sebagai kambing hitam. Saya berharap Prancis dapat mengesampingkan praduga dan secara sungguh-sungguh menghormati prinsip kebebasan, persaudaraan dan kesamaan di Republik ini," ia menambahkan.

Satu studi baru-baru ini oleh biro statistik nasiona, INSEE, memperlihatkan 229.000 pendatang non-Eropa yang berusia 15 tahun atau lebih yang tinggal di daratan utama Prancis tak bekerja, dan angka pengangguran mencapai 23,1 persen.

Para penjahat muda yang menafsirkan Islam menurut pendapat mereka sendiri memicu kemarahan, terutama dari pengikut sayap kanan-jauh, yang menyatakan pembunuhan "adalah bukti" bahwa Prancis "secara membahayakan telah meremehkan ancaman dari fundamentalisme Islam".

Pemimpin Partai Front Nasional --yang anti-imigrasi, Marine Le Pen mengatakan, Prancis mesti mengobarkan perang melawan kelompok agama dan politik radikal.

Sementara itu calon dari partai UMP dan Presiden petahana (incumbent), Nicolas Sarkozy --yang mencela "serangan teror" yang dilandasi atas "motivasi rasisme", mengatakan "Prancis takkan mentoleransi indoktrinasi ideologi di tanahnya."

Namun negeri itu "tak boleh tergoda oleh aksi balas dendam", katanya.

Sarkozy mengumumkan penindasan atas orang yang mengikuti jejaring ekstrem. Semua tindakan itu menghidupkan kenangan mengenai pemilihan presiden 2007, ketika sikapnya terhadap keamanan dan masyarakat minoritas Muslim membantu dia meraih kekuasaan.

Bagi Amine Rayhani, seorang insinyur telekomunikasi, pendatang dan Islam telah menjadi topik utama kampanye pemilihan umum dan para calon dari berbagai partai akan mengobarkan perasaan tak aman dan Islamofobia semata-mata untuk mengantungi tiket menuju Istana Elysee.

"Apa yang terjadi di Toulouse pada masa itu akan mengubah pusat perhatian kepada orang Muslim dan risiko yang mereka timbulkan atas negara sekuler untuk mengumpulkan suara, dan mengabaikan prilaku semacam itu dapat memecah-bela rakyat serta menyulut rasisme," kata pendatang dari Tunisia tersebut.

Prancis, tempat tinggal masyarakat Muslim terbesar di Eropa --sebanyak lima juta orang, sudah melarang kaum Muslimah memakai jilbab dan lambang lain agama di sekolah. (ANTARA).