Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai sistem InaTEWS masih menjadi andalan untuk mendeteksi potensi bahaya yang ditimbulkan bila terjadi aktivitas dari zona megathrust segmen Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Senin (12/8) malam, mengatakan bahwa InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) itu memungkinkan proses monitoring, prosesing, dan diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami semakin cepat dan akurat.
Sensor-sensor sistem InaTEWS di berbagai titik strategis, baik di darat maupun di laut, kata dia, juga dapat segera meyebarluaskan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di seluruh Indonesia karena sudah terintegrasi antar-instansi.
BMKG menilai pemanfaatan InaTEWS cukup efektif membantu memantau aktivitas gempa dan tsunami di zona megathrust luar wilayah Indonesia. Selain itu, untuk mendeteksi dampak pasca-gempa 7,1 magnitudo dari zona megathrust Nankai di Jepang pada tanggal 8 Agustus 2024.
Ketepatan tersebut juga didukung oleh peralatan penunjang untuk pengamatan gempa bumi berupa sismometer, accerelometer, dan sebanyak 56 unit intensitymeter yang sudah dioperasikan BMKG di jaringan monitoring gempa bumi kuat di Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut dia, setiap sistem tersebut masih menjadi andalan untuk melakukan langkah mitigasi dampak gempa dan tsunami, termasuk potensi gempa besar pada zona megathrust segmen Selat Sunda dan segmen Mentawai-Siberut yang patut menjadi perhatian sampai saat ini.
Daryono menjelaskan bahwa megathrust merupakan zona pertemuan antar-lempeng tektonik bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami.
Indonesia dikelilingi 13 zona megathrust berdasarkan peta sumber bahaya gempa (PuSGen) pada tahun 2017. Zona megathrust segmen Selat Sunda sebagian terbentang di Selatan Jawa-Bali, sementara zona megathrust Mentawai-Siberut di barat Sumatera.
Aktivitas zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut masih menjadi ancaman bahaya terbesar yang dapat terjadi sewaktu-waktu karena berdasarkan data BMKG segmen tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar.
"Oleh karena itu, oleh para ilmuwan, tinggal menunggu waktu saja. Seismic gap megathrust Selat Sunda potensi mencapai 8,7 magnitudo dan megathrust Mentawai-Siberut potensi 8,9 magnitudo," kata dia.
Menyadari potensi yang ada, kata dia, selain memaksimalkan fungsi pada sistem pemantauan, BMKG terus menggencarkan edukasi, pelatihan mitigasi, evakuasi, dan berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Edukasi dan pelatihan tersebut dikemas dalam kegiatan sekolah lapang gempa bumi dan tsunami (SLG), pembentukan masyarakat siaga tsunami, dan mengajar ke sekolah-sekolah (BMKG Goes to School/BGTS).
Dalam berbagai kesempatan, BMKG juga terus menyosialisasikan mengenai kebutuhan beralih menggunakan rumah yang tahan gempa. Bahkan, mewajibkan pemerintah daerah dan masyarakat di daerah yang rawan seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Senin (12/8) malam, mengatakan bahwa InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) itu memungkinkan proses monitoring, prosesing, dan diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami semakin cepat dan akurat.
Sensor-sensor sistem InaTEWS di berbagai titik strategis, baik di darat maupun di laut, kata dia, juga dapat segera meyebarluaskan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di seluruh Indonesia karena sudah terintegrasi antar-instansi.
BMKG menilai pemanfaatan InaTEWS cukup efektif membantu memantau aktivitas gempa dan tsunami di zona megathrust luar wilayah Indonesia. Selain itu, untuk mendeteksi dampak pasca-gempa 7,1 magnitudo dari zona megathrust Nankai di Jepang pada tanggal 8 Agustus 2024.
Ketepatan tersebut juga didukung oleh peralatan penunjang untuk pengamatan gempa bumi berupa sismometer, accerelometer, dan sebanyak 56 unit intensitymeter yang sudah dioperasikan BMKG di jaringan monitoring gempa bumi kuat di Indonesia.
Oleh karena itu, lanjut dia, setiap sistem tersebut masih menjadi andalan untuk melakukan langkah mitigasi dampak gempa dan tsunami, termasuk potensi gempa besar pada zona megathrust segmen Selat Sunda dan segmen Mentawai-Siberut yang patut menjadi perhatian sampai saat ini.
Daryono menjelaskan bahwa megathrust merupakan zona pertemuan antar-lempeng tektonik bumi yang berpotensi memicu gempa kuat dan tsunami.
Indonesia dikelilingi 13 zona megathrust berdasarkan peta sumber bahaya gempa (PuSGen) pada tahun 2017. Zona megathrust segmen Selat Sunda sebagian terbentang di Selatan Jawa-Bali, sementara zona megathrust Mentawai-Siberut di barat Sumatera.
Aktivitas zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut masih menjadi ancaman bahaya terbesar yang dapat terjadi sewaktu-waktu karena berdasarkan data BMKG segmen tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar.
"Oleh karena itu, oleh para ilmuwan, tinggal menunggu waktu saja. Seismic gap megathrust Selat Sunda potensi mencapai 8,7 magnitudo dan megathrust Mentawai-Siberut potensi 8,9 magnitudo," kata dia.
Menyadari potensi yang ada, kata dia, selain memaksimalkan fungsi pada sistem pemantauan, BMKG terus menggencarkan edukasi, pelatihan mitigasi, evakuasi, dan berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Edukasi dan pelatihan tersebut dikemas dalam kegiatan sekolah lapang gempa bumi dan tsunami (SLG), pembentukan masyarakat siaga tsunami, dan mengajar ke sekolah-sekolah (BMKG Goes to School/BGTS).
Dalam berbagai kesempatan, BMKG juga terus menyosialisasikan mengenai kebutuhan beralih menggunakan rumah yang tahan gempa. Bahkan, mewajibkan pemerintah daerah dan masyarakat di daerah yang rawan seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.