Bandarlampung (ANTARA) -
"Penerimaan kepabeanan dan cukai ini realisasinya sudah 13,60 persen atau Rp180,05 miliar," ujar Dody saat memaparkan kajian fiskal regional di Bandarlampung, Selasa.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Lampung Mohammad Dody Fachrudin mengatakan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai di daerah itu hingga triwulan I 2024 telah mencapai 13,60 persen.
"Penerimaan kepabeanan dan cukai ini realisasinya sudah 13,60 persen atau Rp180,05 miliar," ujar Dody saat memaparkan kajian fiskal regional di Bandarlampung, Selasa.
Ia mengatakan target yang ditentukan dari penerimaan kepabeanan dan cukai di 2024 sebesar Rp1,32 triliun.
"Pertumbuhan positif terlihat dari penerimaan bea masuk sebesar 14,28 persen tahun ke tahun. Atau sebesar Rp123,8 miliar akibat peningkatan importasi beras," katanya.
Dia melanjutkan bila dari sisi penerimaan cukai tumbuh positif sebesar 1.666 persen atau sebanyak Rp2,58 miliar yang dipengaruhi oleh pemberlakuan PMK 237/PMK.04/2022.
"Namun untuk bea keluar mengalami perlambatan sebesar 77,20 persen sehingga sumbangan kepada kinerja penerimaan sebesar Rp54,63 miliar. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan harga CPO di pasar global," ucap dia.
Ia menjelaskan sedangkan penerimaan dari sisi pajak dalam rangka impor (PDRI) atau dikenal sebagai pajak impor sebesar Rp522,9 miliar.
"Terinci PDRI tersebut Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebesar Rp51,6 miliar, PPh Pasal 22 Impor adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa dari luar negeri Rp136,9 miliar," ujar dia.
Selanjutnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri Rp86,5 miliar dan PPN Impor Rp328,8 miliar.
"Sedangkan untuk neraca perdagangan bertambah 418,39 juta dolar Amerika Serikat, dimana devisa ekspor sebesar 969,83 juta dolar Amerika Serikat sedangkan devisa impor 551,44 juta dolar Amerika Serikat," tambahnya.
Menurut dia, adanya perlambatan kinerja devisa ekspor pada triwulan I 2024 sebesar 92,24 juta dolar Amerika Serikat disebabkan oleh perlambatan devisa batu bara sebesar 37 juta dolar Amerika Serikat.
Kemudian akibat perlambatan devisa minyak kelapa sawit sebesar 12 juta dolar Amerika Serikat.
"Sedangkan penurunan devisa impor disebabkan oleh peningkatan devisa importasi minyak mentah sebesar 122 juta dolar Amerika Serikat, dan peningkatan devisa importasi gula sebesar 6,6 juta dolar Amerika Serikat," kata dia lagi.