Bandarlampung (ANTARA) - Dengan perawakan mungil dan bersahaja, tidak akan ada yang mengira Idi Bantara merupakan peraih Kalpataru (penghargaan tertinggi di bidang lingkungan) bersama 10 orang pahlawan lingkungan lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.
 
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 20 Agustus 1966, tersebut menjadi teladan bagi pegawai-pegawai pemerintah di Provinsi Lampung untuk lebih peduli lingkungan dan menjadi pahlawan lingkungan mewakili daerahnya.
 
Penghargaan Kalpataru merupakan bentuk apresiasi tinggi negara kepada masyarakatnya atas inovasi serta kontribusinya untuk lingkungan serta memberi dampak positif bagi masyarakat.
 
Keuletan, tangan besi, kejujuran, dan kesabaran dari pria berkumis yang akrab disapa Pak Idi dalam menyelesaikan konflik kehutanan dengan menekankan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi, salah satunya di kawasan konflik akibat adanya peristiwa perambahan hutan lindung oleh masyarakat, hingga membentuk desa definitif yang telah bertahun-tahun tidak dapat terselesaikan, yaitu di Register 38 yang berada di Gunung Balak, Provinsi Lampung, yang sejak 1935 ditetapkan sebagai kawasan hutan.
 
Konflik antara pemerintah dengan masyarakat itu mulai terjadi pada 1963, saat ada perambahan hutan, kemudian dilanjutkan di 1980 dilakukan pengosongan secara paksa oleh pemerintah untuk pelaksanaan reboisasi yang mengakibatkan konflik berkepanjangan.
 
Pria yang telah mengabdi 39 tahun sebagai pegawai di Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Lampung itu bercerita, peristiwa di Register 38 telah membekaskan dendam dari warga karena mereka diusir daerah daerahnya, kala itu. Tim penyelesaian konflik tidak bisa mengatasi. Akhirnya, Pak Idi nekat masuk ke daerah itu untuk membangun komunikasi sosial dengan masyarakat.
 
Upaya sendirian itu bukanlah perjalanan yang mudah dalam membangun kepercayaan masyarakat, sekaligus melakukan rehabilitasi lahan di wilayah konflik berkepanjangan itu.
 
Penolakan dan pengusiran dari masyarakat, bahkan dari kepala desa, telah ia rasakan. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan Idi Bantara untuk mengajarkan masyarakat akan pentingnya rehabilitasi hutan karena pengalamannya berada di daerah rawan konflik pada 1991-1997 sebagai penyuluh kehutanan di Timor Timur telah memberikannya kekuatan untuk bertahan.
  Idi Bandara, salah seorang pegawai BPDAS Way Seputih Sekampung, yang menerima anugerah Kalpataru, setelah mampu menyelesaikan konflik kehutanan, menunjukkan alpukat Siger RATU PUAN sebagai sarana mengatasi resolusi konflik. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Dengan melakukan pendekatan psikososial untuk melakukan prakondisi wilayah, hal pertama yang dia lakukan adalah profiling dengan warga setempat yang memiliki kegemaran akan tanaman. Pada akhirnya, dia dikenal sebagai Idi “si penyuka tanaman” yang berteman dengan para petani hutan serta gemar bercocok tanam di wilayah itu.
 
Hingga suatu ketika pria yang masih kental berlogat Jawa ketika berbicara itu, dipertemukan oleh penyuluh kehutanan dengan almarhum Anto Abdul Mutholib sang pemilik indukan pohon alpukat varietas asli Lampung yang diberi nama dan disertifikatkan secara resmi oleh pemerintah sebagai alpukat Siger RATU PUAN. Nama alpukat itu merupakan akronim dari Rangkaian Tugas Agroforestry Nasional Program Unggulan Agroforestry Nasional.
 
Setelah berdiskusi dengan banyak pihak disimpulkan bahwa alpukat yang merupakan genetik varietas unggul lokal tersebut akan digunakan menjadi alat untuk menyejahterakan masyarakat di dalam hutan ataupun di desa penyangga, sekaligus sebagai alat perekat hubungan antara masyarakat dengan pemerintah yang telah lama renggang.
 
Setelah melakukan duplikasi dari pohon indukan, kemudian melalui skema rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) tanaman alpukat Siger RATU PUAN yang sebelumnya dikenal sebagai PSK Lampung (Pokat Solusi Konflik Lampung) yang memiliki karakteristik buah panjang bulat, berkulit hijau segar, dengan daging buah berwarna kuning dan berasa lembut di lidah, serta terasa manis dan creamy itu di tanam di lahan tengah hutan yang dikelola oleh sembilan petani hutan dengan luas 15 hektare.
 
Karena kondisi lahannya tidak berdekatan, melainkan berbentuk area-area yang memiliki jarak per satu hektare mencapai 2 kilometer, membuat pengukuran tanah sempat terkendala, terlebih lagi dengan kondisi tanah berbatu semakin menambah terjal area tanam alpukat tersebut.
 
Selain itu dalam upaya mencairkan konflik di Register 38, tepatnya di Desa Giri Mulyo, adapula kendala dimana 20 persen masyarakat tidak setuju untuk melakukan tanam alpukat karena mereka menginginkan pembebasan lahan, sehingga ada demonstrasi setiap hari, kemudian anggaran penyediaan bibit yang dialokasikan pemerintah tidak mencukupi untuk pengembangan kebun alpukat yang satu hektarenya harus menyediakan dana Rp30-Rp40 juta.
 
Pak Idi akhirnya menemukan mekanisme, kalau hutan lindung isinya tanaman kopi harus berkoordinasi bijinya generatif, tapi kalau daerah ditanam singkong, jagung harus bibit unggul vegetatif. Meskipun demikian, masalah pendanaan untuk membuat kebun alpukat tidak cukup karena pemerintah hanya menyediakan Rp6,9 juta per hektare.

Dia terpaksa berbicara dari hati ke hati dengan para petani yang ternyata mereka setuju Rp5 juta dari anggaran pemerintah hanya untuk penyediaan bibit unggul, sesuai arti dari nama alpukat PUAN dalam Bahasa Lampung yang diartikan sebagai bibit unggul, sedangkan biaya pembuatan lubang tanam, kompos, perawatan, dan lainnya ditanggung mandiri oleh petani hutan. Setiap 1 hektare, petani harus mengeluarkan biaya Rp20 juta.

Mau tidak mau, Pak Idi harus berkorban mengeluarkan dana pribadi untuk memuluskan upaya mulia itu. Saat COVID-19 melanda, dia mengumpulkan semua dana perjalanan dinasnya untuk membantu masyarakat.
 
Komunikasi yang baik hari hati telah menghasilkan kedekatan dengan masyarakat, khususnya upaya penanaman pohon alpukat Siger RATU PUAN di seluruh Lampung sejak 2020 hingga luasannya mencapai 4.000 hektare.
 
Sementara di luar areal RHL dilakukan secara swadaya sepenuhnya oleh masyarakat, sebanyak 2 juta batang alpukat yang merupakan bantuan bibit dari pemerintah. Total luas tanam pohon alpukat Siger RATU PUAN, saat ini mencapai 10 ribu hektare.
 
Hasil itu menjadi perenungan batin bagi Pak Idi, ketika kita memanusiakan manusia dan berkomunikasi aktif, maka semua bisa dilakukan dengan aman dan  nyaman.

Ia berharap, apa yang dilakukan masyarakat Desa Giri Mulyo itu menjadi model percontohan untuk penyelesaian konflik, sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat sembari melakukan rehabilitasi lahan dan hutan.
 
Saat ini petani hutan binaan di daerah-daerah yang dulunya berkonflik itu bisa mendapatkan keuntungan jutaan, sebab pada 2023 panen per pohon alpukat dapat menghasilkan 200-300 kilogram buah.
 
Jadi total panen bisa mencapai 20 ton per hektare dengan standarisasi harga jual petani Rp5 ribu per buah, dan paling murah Rp25 ribu per kilogram, dengan isi dua buah kelas A. Sementara jika sudah sampai di pasar retail modern bisa dijual dengan harga Rp35 ribu-Rp49 ribu per kilogram.
 
Bagi Idi, fakta di Desa Giri Mulyo itu tergolong unik karena mulai dari pengembangan awal semua dilakukan oleh rakyat,padahal biasanya dikelola oleh perusahaan besar. Khusus di desa itu yang menjadi menjadi bintang, pengelola, menjual, panen semua oleh rakyat. Saat ini sebagai bentuk penghargaan kepada pemilik indukan tanaman alpukat Siger,masyarakat bersepakat untuk membiayai sekolah anak-anak almarhum Anto hingga kuliah sebagai imbal budi dan penghargaan.
 
Dengan belajar mendekatkan diri ke daerah yang dianggap sulit untuk direhabilitasi menggunakan model pendekatan kontekstual, dengan menjadikan kelompok tani hutan sebagai pemeran utama dan garda terdepan untuk menjaga hutan, menjadi langkah konkret untuk menyejahterakan masyarakat, sekaligus melestarikan hutan.
 
Komitmen menjaga hutan ini muncul karena adanya rasa memiliki hutan sebagai sumber penghidupan. Bersamaan dengan itu, aparat penjaga hutan jumlahnya tidak banyak, sedangkan luasan lahan hutan sangat luas. Kondisi ini membutuhkan kesadaran masyarakat yang ada di tengah hutan untuk berpartisipasi, termasuk di desa penyangga.
 
Upaya menyadarkan masyarakat untuk ikut memelihara hutan itu harus sejalan dengan pemenuhan kebutuhan untuk penghidupan. Kalau yang ditanam kayu-kayuan tidak cocok, akhirnya, di Lampung semua diubah dengan menanam tanaman multi-purpose tree species (MPTS), salah satunya alpukat Siger yang saat ini semua daerah konflik penyelesaiannya menggunakan tanaman buah ini. Kini, banyak daerah lain belajar ke Desa Giri Mulyo, karena saat ini ada inovasi menyambungkan batang tanaman alpukat biasa dengan alpukat Siger untuk peremajaan.
 
Anugerah Kalpataru bagi Pak Idi menjadi akumulasi dari semua renungan batin tentang lingkungan. Bagi dia, lingkungan bukan hanya tentang masalah fisik yang terbangun, akan tapi lebih kepada nilai-nilai kemanusiaan.
 
Tutupan hutan, pangan, oksigen, dan infiltrasi air, merupakan dampak dari adanya rasa kemanusiaan dan sebagai sumber penghidupan serta rasa memiliki atas hutan oleh masyarakat pinggir hutan.
 
Tugas pokok Pak Idi sebagai orang BPDAS Way Seputih Sekampung, menurut dia, hanyalah menanam. Sementara inovasi dan resolusi konflik dengan risiko tinggi dan prakondisi yang dia jalani merupakan panggilan batin untuk masyarakat dan hutan.

Harapannya, semua itu menjadi warisan indah bagi anak cucu, sehingga masyarakat di dalam kawasan hutan dan desa penyangga terus mendukung hutan Lampung tetap lestari. Sebab hutan bisa mendukung ekonomi, menumbuhkan kewirausahaan baru, berupa produk hasil hutan bukan kayu, sekaligus membangun jaringan sosial.
 
Kisah Idi Bantara dengan alpukat Siger RATU PUAN yang mampu mencairkan konflik menjadi kebersamaan telah mampu mendorong kesejahteraan petani hutan. Kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, dan komunikasi yang efektif dalam bingkai membangun aspek ekologi, ekonomi, serta sosial, menjadi kunci dalam satu upaya resolusi konflik menuju kedamaian dan kesejahteraan bersama.
 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Idi dan alpukat Siger RATU PUAN penyelesai konflik hutan Lampung

Pewarta : Ruth Intan Sozometa Kanafi
Editor : Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024