Dhaka (ANTARA) - Sedikitnya 348 warga Rohingya tewas atau hilang sementara 3.500 lebih anggota kelompok etnik yang teraniaya itu berusaha menempuh perjalanan berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala sepanjang 2022, kata Badan Pengungsi PBB (UNHCR).
Jumlah percobaan penyeberangan laut naik 360 persen dari tahun sebelumnya ketika sekitar 700 orang melakukan tindakan serupa, kata UNHCR melalui pernyataan, Selasa (17/1).
Kebanyakan kapal berangkat dari Myanmar dan Bangladesh sehingga menyoroti keadaan bahwa banyak warga Rohingya di kedua negara tersebut semakin merasa putus asa, kata UNHCR.
Saat ini, Bangladesh menampung lebih dari 1,2 juta warga Rohingya di 33 kamp. Sebagian besar dari orang-orang yang teraniaya itu lari menyelamatkan diri dari penindasan brutal militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada Agustus 2017.
UNHCR mencatat peningkatan jumlah korban jiwa, dengan kenyataan bahwa sedikitnya 348 orang tewas atau hilang di lautan sepanjang 2022. Periode itu menjadi tahun yang paling banyak mencatat korban jiwa sejak 2014.
Dengan tidak adanya respons komprehensif di kawasan untuk mengatasi pergerakan di lautan itu, UNHCR memperingatkan bahwa akan ada banyak orang yang tewas di laut lepas di bawah pengawasan negara-negara pantai.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mendesak otoritas terkait agar menyelesaikan akar masalah pengungsian di Myanmar dan menambahkan bahwa para pengungsi akan terus melakukan perjalanan yang berbahaya jika masalah tersebut tidak teratasi.
Pada 2020, ada sekitar 3.040 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, yang melakukan perjalanan laut. Sekitar 39 kapal mendarat di berbagai negara, terutama Myanmar, Malaysia, Indonesia, serta Bangladesh.
Selama dua bulan terakhir 2022, empat kapal yang mengangkut 450 lebih warga Rohingya tiba di Aceh, Indonesia.
Satu kapal yang membawa 100 warga Rohingya berlabuh di Sri Lanka. Satu kapal lagi dengan sekitar 180 migran dikhawatirkan tenggelam pada awal Desember.
Beberapa di antara mereka adalah korban perdagangan, anak tanpa pendamping, serta penyintas kekerasan seksual dan gender.
Bali Process, yang merupakan forum untuk dialog kebijakan, berbagi informasi, dan kerja sama untuk mengatasi penyelundupan orang, perdagangan manusia dan hal-hal yang terkait dengan kejahatan transnasional, akan mengelar pertemuan setingkat menteri ke-8 pada Februari.
Sumber: Anadolu
Jumlah percobaan penyeberangan laut naik 360 persen dari tahun sebelumnya ketika sekitar 700 orang melakukan tindakan serupa, kata UNHCR melalui pernyataan, Selasa (17/1).
Kebanyakan kapal berangkat dari Myanmar dan Bangladesh sehingga menyoroti keadaan bahwa banyak warga Rohingya di kedua negara tersebut semakin merasa putus asa, kata UNHCR.
Saat ini, Bangladesh menampung lebih dari 1,2 juta warga Rohingya di 33 kamp. Sebagian besar dari orang-orang yang teraniaya itu lari menyelamatkan diri dari penindasan brutal militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada Agustus 2017.
UNHCR mencatat peningkatan jumlah korban jiwa, dengan kenyataan bahwa sedikitnya 348 orang tewas atau hilang di lautan sepanjang 2022. Periode itu menjadi tahun yang paling banyak mencatat korban jiwa sejak 2014.
Dengan tidak adanya respons komprehensif di kawasan untuk mengatasi pergerakan di lautan itu, UNHCR memperingatkan bahwa akan ada banyak orang yang tewas di laut lepas di bawah pengawasan negara-negara pantai.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mendesak otoritas terkait agar menyelesaikan akar masalah pengungsian di Myanmar dan menambahkan bahwa para pengungsi akan terus melakukan perjalanan yang berbahaya jika masalah tersebut tidak teratasi.
Pada 2020, ada sekitar 3.040 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, yang melakukan perjalanan laut. Sekitar 39 kapal mendarat di berbagai negara, terutama Myanmar, Malaysia, Indonesia, serta Bangladesh.
Selama dua bulan terakhir 2022, empat kapal yang mengangkut 450 lebih warga Rohingya tiba di Aceh, Indonesia.
Satu kapal yang membawa 100 warga Rohingya berlabuh di Sri Lanka. Satu kapal lagi dengan sekitar 180 migran dikhawatirkan tenggelam pada awal Desember.
Beberapa di antara mereka adalah korban perdagangan, anak tanpa pendamping, serta penyintas kekerasan seksual dan gender.
Bali Process, yang merupakan forum untuk dialog kebijakan, berbagi informasi, dan kerja sama untuk mengatasi penyelundupan orang, perdagangan manusia dan hal-hal yang terkait dengan kejahatan transnasional, akan mengelar pertemuan setingkat menteri ke-8 pada Februari.
Sumber: Anadolu