Magelang (ANTARA) - Kebanyakan orang hadir di acara seni budaya untuk menyaksikan dengan gembira berbagai pementasan atau menjadi bagian dari deretan komponen penghadir kemeriahan panggung pertunjukan.
Rupanya tak demikian bagi budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (69), ketika datang ke Festival Lima Gunung XXI/2022 yang diprakarsai Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Para pegiat utama komunitas itu berasal dari kalangan seniman petani berbasis dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang. Sahabat Cak Nun sejak muda, budayawan Sutanto Mendut (68), merintis komunitas itu lebih dari dua dasawarsa lalu.
Hasil karya utama komunitas yang telah membangun jejaring antardusun, daerah setempat, berbagai kota di Indonesia dan luar negeri itu, bernama Festival Lima Gunung. Festival berbiaya modal sosial dusun dan gunung tersebut, pada tahun ini sebagai penyelenggaraan ke-21 tanpa jeda, meskipun dua tahun terakhir (2020-2021) Bumi diguncang pandemi COVID-19.
Tahun ini, puncak Festival Lima Gunung XXI dengan tema "Wahyu Rumagang" --terkait dengan kebangkitan manusia menjalani kehidupan masa depan-- selama 30 September hingga 2 Oktober 2022 di kawasan Gunung Andong, di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Agenda tahunan dengan modal sosial, manajemen dusun, dan ketulusan warga dusun sebagai tuan rumah festival itu, oleh Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) --putri Presiden Ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-- dikemukakan sebagai bermanfaat besar untuk melestarikan kebudayaan, menjaga kearifan lokal, dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan.
Panitia festival tahun ini mencatat 63 grup kesenian di komunitas, daerah setempat, beberapa provinsi dan sejumlah negara, dengan total sekitar 1.300 seniman dan nonseniman menggelar pementasan tari, musik, teater, pembacaan puisi, performa seni, pentas kolaborasi, pameran seni rupa, pidato kebudayaan, dan kirab budaya. Selama tiga hari itu, dusun lokasi festival ingar-bingar dan semringah oleh berbagai pementasan kesenian.
Tamu festival datang dari berbagai kalangan dalam dan luar negeri, termasuk para mahasiswa program Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ada puluhan tamu festival menginap secara gratis di rumah-rumah warga dengan fasilitas dusun yang ada, termasuk keperluan makan.
Mereka hadir ke festival, selain menonton pergelaran seni budaya, juga sekaligus menikmati hawa sejuk gunung dan berinteraksi dengan masyarakat petani hortikultura di lahan subur setempat.
Warga dusun yang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung, selain sibuk mewujudkan semangat memiliki agenda seni budaya yang telah mendunia itu, juga menjamu siapa saja yang datang ke dusunnya dengan energi keramahan, spirit kekeluargaan, dan autentikasi dusun, baik menyangkut hal ihwal kasat mata maupun yang terkesan absurd.
Putri Presiden Ke-4 Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), ditandu oleh para seniman dalam kirab budaya puncak Festival Lima Gunung XXI/2022 di kawasan Gunung Andong Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (2/10/2022). ANTARA/Hari Atmoko
Mereka yang menyaksikan rangkaian pertunjukan, sesekali berhadapan dengan hujan yang tak deras amat. Hujan tak menyurutkan acara pementasan. Sejumlah pemuda kemudian menabur garam di tepi panggung 7x12 meter berinstalasi bahan-bahan alam. Warga percaya cara itu untuk meredam hujan.
Instalasi seni berupa "buta ijo" dan gorila disingkirkan dari dekat panggung oleh sejumlah orang, merespons permintaan penari "Jaran Kepang Papat" yang kesurupan pada awal puncak festival dibuka. Di meja lantai dua rumah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, ditempatkan aneka sesaji komplet di atas puluhan piring ditata rapi. Konon, itulah bagian dari kearifan lokal.
Kabut tebal sesekali berarak mengikuti irama embusan angin dan lantunan hawa sejuk kawasan gunung, seakan menjadi sajian pementasan tersendiri dengan panggung utama mereka, Gunung Andong (1.726 mdpl).
Rupanya pas jikalau Cak Nun dengan ketokohan mumpuni itu pun harus mengaku berada di tengah festival komunitas tersebut sebagai beroleh waktu untuk bertanya pada diri sendiri tentang siapa sesungguhnya jati diri.
Festival digelar warga petani gunung di tengah harga sayuran terpuruk kali ini, mampu menghadirkan pemaknaan mendalam dan wajah spektakuler seni budaya tentang kehidupan manusia.
Dengan nada mengkritik, namun menghadirkan tawa penonton, Cak Nun menyebut festival itu dipastikan bukan diselenggarakan setan, tetapi manusia beramal saleh, ikhlas, hidup dalam silaturahim, dan memahami kebebasan manusiawi untuk bergembira serta bersyukur atas anugerah semesta.
Ibarat kisah pewayangan dalam lakon "Dewa Ruci" di mana Bima masuk dasar samudra untuk menemukan banyu "perwitasari", siapa saja yang menghadiri festival dibawa kepada usaha spiritual meriwayatkan kehidupan masing-masing hingga berjumpa dengan jati diri manusia autentik Indonesia.
Gotong royong
Jati diri manusia Indonesia lewat Festival Lima Gunung itu membuktikan modal sosial bangsa berupa gotong royong yang tetap dihidupi masyarakat.
Semangat gotong royong bagian penting dari rumusan nilai-nilai Pancasila yang diwariskan para pendiri bangsa. Gotong royong juga bukan semata-mata antarmanusia, akan tetapi juga dengan alam. Nilai tersebut menjadi semangat kebersamaan menjaga bangsa, negara, dan semesta, termasuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan demi hamparan hidup bersama yang makin bermakna.
Jagat batin dipentaskan seniman petani dusun dalam festival itu, tidak disangka oleh Yenny Wahid sebagai penghargaan kepada dirinya yang dikeluarkan Komunitas Lima Gunung, tahun ini.
Dalam festival kali ini, komunitas tersebut pertama kali memberikan anugerah tak bendawi bernama "Lima Gunung Award". Anugerah itu berupa penghargaan batin mereka atas ketokohan Yenny Wahid karena dinilai mampu hadir dengan elok di berbagai kalangan.
Bukan hanya melalui ungkapan terperanjat disampaikan Yenny. Gestur kedua tangannya yang spontan memegang dua penari anak di kanan dan kirinya bersimpuh di panggung festival itu, menunjukkan keterkejutan dia ketika namanya disebut pembawa acara, Sih Agung Prasetya, sebagai peraih penghargaan batin Komunitas Lima Gunung.
Begitu juga raut wajah dengan kepala berkerudung hijab yang seketika menegang dan kedua bola mata terbelalak dengan mulut sesaat menganga, menandai betapa dalam momentum satu dua detik itu ia dengan jujur kaget karena memperoleh anugerah tersebut.
Kedua telapak tangannya bertangkup dan dengan tetap bersimpuh dikelilingi para penyaji pementasan dengan berbagai kostum kesenian, ia membungkukkan badan kepada publik festival. Tanda Yenny dengan hormat menerima penghargaan batin desa, "Lima Gunung Award" itu.
Keheningan pengumuman penghargaan kemudian pecah dengan tepuk tangan meriah massa, setelah Yenny Wahid dengan aba-aba para tokoh utama Komunitas Lima Gunung memukul gong besar di atas panggung "Wahyu Rumagang" itu, 21 kali.
Bagi dia, bukan penghargaan yang menyentuh hati, tetapi ungkapan perasaan batin yang mengiringi mereka untuk memberikan penghargaan itu, membuat hatinya tersentuh. Pemberian "Lima Gunung Award" secara tegas disebutnya dengan logat Jawa sebagai "rasa" yang memang tidak bisa direkayasa.
Berbagai kalangan optimistis Festival Lima Gunung akan berumur panjang karena kekuatan autentik masyarakat petani dusun.
Setidaknya, festival seni budaya itu telah menjadi hamparan banyu suci "perwitasari", tempat manusia menemukan jati diri personalnya. Tulus.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menemukan banyu "perwitasari" di Festival Lima Gunung
Rupanya tak demikian bagi budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (69), ketika datang ke Festival Lima Gunung XXI/2022 yang diprakarsai Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Para pegiat utama komunitas itu berasal dari kalangan seniman petani berbasis dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh di Kabupaten Magelang. Sahabat Cak Nun sejak muda, budayawan Sutanto Mendut (68), merintis komunitas itu lebih dari dua dasawarsa lalu.
Hasil karya utama komunitas yang telah membangun jejaring antardusun, daerah setempat, berbagai kota di Indonesia dan luar negeri itu, bernama Festival Lima Gunung. Festival berbiaya modal sosial dusun dan gunung tersebut, pada tahun ini sebagai penyelenggaraan ke-21 tanpa jeda, meskipun dua tahun terakhir (2020-2021) Bumi diguncang pandemi COVID-19.
Tahun ini, puncak Festival Lima Gunung XXI dengan tema "Wahyu Rumagang" --terkait dengan kebangkitan manusia menjalani kehidupan masa depan-- selama 30 September hingga 2 Oktober 2022 di kawasan Gunung Andong, di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Agenda tahunan dengan modal sosial, manajemen dusun, dan ketulusan warga dusun sebagai tuan rumah festival itu, oleh Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) --putri Presiden Ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-- dikemukakan sebagai bermanfaat besar untuk melestarikan kebudayaan, menjaga kearifan lokal, dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan.
Panitia festival tahun ini mencatat 63 grup kesenian di komunitas, daerah setempat, beberapa provinsi dan sejumlah negara, dengan total sekitar 1.300 seniman dan nonseniman menggelar pementasan tari, musik, teater, pembacaan puisi, performa seni, pentas kolaborasi, pameran seni rupa, pidato kebudayaan, dan kirab budaya. Selama tiga hari itu, dusun lokasi festival ingar-bingar dan semringah oleh berbagai pementasan kesenian.
Tamu festival datang dari berbagai kalangan dalam dan luar negeri, termasuk para mahasiswa program Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ada puluhan tamu festival menginap secara gratis di rumah-rumah warga dengan fasilitas dusun yang ada, termasuk keperluan makan.
Mereka hadir ke festival, selain menonton pergelaran seni budaya, juga sekaligus menikmati hawa sejuk gunung dan berinteraksi dengan masyarakat petani hortikultura di lahan subur setempat.
Warga dusun yang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung, selain sibuk mewujudkan semangat memiliki agenda seni budaya yang telah mendunia itu, juga menjamu siapa saja yang datang ke dusunnya dengan energi keramahan, spirit kekeluargaan, dan autentikasi dusun, baik menyangkut hal ihwal kasat mata maupun yang terkesan absurd.
Mereka yang menyaksikan rangkaian pertunjukan, sesekali berhadapan dengan hujan yang tak deras amat. Hujan tak menyurutkan acara pementasan. Sejumlah pemuda kemudian menabur garam di tepi panggung 7x12 meter berinstalasi bahan-bahan alam. Warga percaya cara itu untuk meredam hujan.
Instalasi seni berupa "buta ijo" dan gorila disingkirkan dari dekat panggung oleh sejumlah orang, merespons permintaan penari "Jaran Kepang Papat" yang kesurupan pada awal puncak festival dibuka. Di meja lantai dua rumah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, ditempatkan aneka sesaji komplet di atas puluhan piring ditata rapi. Konon, itulah bagian dari kearifan lokal.
Kabut tebal sesekali berarak mengikuti irama embusan angin dan lantunan hawa sejuk kawasan gunung, seakan menjadi sajian pementasan tersendiri dengan panggung utama mereka, Gunung Andong (1.726 mdpl).
Rupanya pas jikalau Cak Nun dengan ketokohan mumpuni itu pun harus mengaku berada di tengah festival komunitas tersebut sebagai beroleh waktu untuk bertanya pada diri sendiri tentang siapa sesungguhnya jati diri.
Festival digelar warga petani gunung di tengah harga sayuran terpuruk kali ini, mampu menghadirkan pemaknaan mendalam dan wajah spektakuler seni budaya tentang kehidupan manusia.
Dengan nada mengkritik, namun menghadirkan tawa penonton, Cak Nun menyebut festival itu dipastikan bukan diselenggarakan setan, tetapi manusia beramal saleh, ikhlas, hidup dalam silaturahim, dan memahami kebebasan manusiawi untuk bergembira serta bersyukur atas anugerah semesta.
Ibarat kisah pewayangan dalam lakon "Dewa Ruci" di mana Bima masuk dasar samudra untuk menemukan banyu "perwitasari", siapa saja yang menghadiri festival dibawa kepada usaha spiritual meriwayatkan kehidupan masing-masing hingga berjumpa dengan jati diri manusia autentik Indonesia.
Gotong royong
Jati diri manusia Indonesia lewat Festival Lima Gunung itu membuktikan modal sosial bangsa berupa gotong royong yang tetap dihidupi masyarakat.
Semangat gotong royong bagian penting dari rumusan nilai-nilai Pancasila yang diwariskan para pendiri bangsa. Gotong royong juga bukan semata-mata antarmanusia, akan tetapi juga dengan alam. Nilai tersebut menjadi semangat kebersamaan menjaga bangsa, negara, dan semesta, termasuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan demi hamparan hidup bersama yang makin bermakna.
Jagat batin dipentaskan seniman petani dusun dalam festival itu, tidak disangka oleh Yenny Wahid sebagai penghargaan kepada dirinya yang dikeluarkan Komunitas Lima Gunung, tahun ini.
Dalam festival kali ini, komunitas tersebut pertama kali memberikan anugerah tak bendawi bernama "Lima Gunung Award". Anugerah itu berupa penghargaan batin mereka atas ketokohan Yenny Wahid karena dinilai mampu hadir dengan elok di berbagai kalangan.
Bukan hanya melalui ungkapan terperanjat disampaikan Yenny. Gestur kedua tangannya yang spontan memegang dua penari anak di kanan dan kirinya bersimpuh di panggung festival itu, menunjukkan keterkejutan dia ketika namanya disebut pembawa acara, Sih Agung Prasetya, sebagai peraih penghargaan batin Komunitas Lima Gunung.
Begitu juga raut wajah dengan kepala berkerudung hijab yang seketika menegang dan kedua bola mata terbelalak dengan mulut sesaat menganga, menandai betapa dalam momentum satu dua detik itu ia dengan jujur kaget karena memperoleh anugerah tersebut.
Kedua telapak tangannya bertangkup dan dengan tetap bersimpuh dikelilingi para penyaji pementasan dengan berbagai kostum kesenian, ia membungkukkan badan kepada publik festival. Tanda Yenny dengan hormat menerima penghargaan batin desa, "Lima Gunung Award" itu.
Keheningan pengumuman penghargaan kemudian pecah dengan tepuk tangan meriah massa, setelah Yenny Wahid dengan aba-aba para tokoh utama Komunitas Lima Gunung memukul gong besar di atas panggung "Wahyu Rumagang" itu, 21 kali.
Bagi dia, bukan penghargaan yang menyentuh hati, tetapi ungkapan perasaan batin yang mengiringi mereka untuk memberikan penghargaan itu, membuat hatinya tersentuh. Pemberian "Lima Gunung Award" secara tegas disebutnya dengan logat Jawa sebagai "rasa" yang memang tidak bisa direkayasa.
Berbagai kalangan optimistis Festival Lima Gunung akan berumur panjang karena kekuatan autentik masyarakat petani dusun.
Setidaknya, festival seni budaya itu telah menjadi hamparan banyu suci "perwitasari", tempat manusia menemukan jati diri personalnya. Tulus.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menemukan banyu "perwitasari" di Festival Lima Gunung