Balikpapan (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan mengatakan Polda Kalimantan Timur tidak perlu memanggil sejumlah jurnalis untuk dimintai keterangan terkait kasus pemukulan oleh WNA Korea karena pemberitaan sudah menaati kode etik jurnalistik.

"Informasi dari pemberitaan yang dibuat teman-teman sudah cukup," kata Ketua AJI Balikpapan Teddy Rumenang di Balikpapan, Rabu (11/5).

Rangkaian pemberitaan terkait kasus pemukulan yang dilakukan warga Korea terhadap warga negara Indonesia (WNI) sudah dibuat dengan disiplin verifikasi dan menaati kode etik jurnalistik, tambahnya.

Polda Kaltim berencana meminta keterangan dari jurnalis IDN Times, Prokal.co, dan kompas.com yang bertugas di Balikpapan berkenaan dengan berita terkait kasus pemukulan tersebut. Sumber utama pemberitaan soal kasus itu adalah pernyataan-pernyataan dalam jumpa pers dari para pihak yang terlibat, katanya.

Dalam etika jurnalistik, jurnalis hanya menyampaikan fakta atau kejadian nyata. Apabila perlu narasumber untuk menjelaskan fakta itu, maka narasumber yang dipilih harus kompeten. Artinya, sangat diusahakan dari yang mengalami langsung atau melihat langsung dari kejadian yang diberitakan, jelasnya.

Teddy menambahkan jika polisi ingin membangun kasus dari keterangan yang dimiliki jurnalis, yang mungkin tidak termuat di berita, maka hal itu berpotensi melanggar Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ayat tersebut menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak tolak, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan nama dan identitas lain dari narasumber beritanya.

"Bila jurnalis saja bisa mendapatkan informasi yang dianggap penting tersebut, apalagi polisi yang memiliki wewenang dan keahlian untuk itu," kata Teddy.

Hak Tolak melekat kepada profesi jurnalis sebagai hak yang diberikan negara agar jurnalis dan media bisa memenuhi perannya sebagai pilar ke empat demokrasi, sebagai pengawas dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tambahnya.

Menurut dia, terkadang ada pihak memiliki informasi penting yang harus diungkapkan pada publik, namun takut membocorkan informasi itu kepada publik karena bisa membahayakan dirinya dan keluarganya.

Oleh karena itu, katanya, dengan hak tolak itu, pers bisa menjadi jaminan bahwa informasi itu sampai kepada publik sementara narasumber tetap dapat hidup aman.

"Memaksa pers mengungkapkan siapa narasumber itu, selain melanggar UU, juga membuat pers menjadi kehilangan kepercayaan publik. Tanpa pers yang terpercaya, tidak ada demokrasi," ujarnya.


Pewarta : Novi Abdi
Editor : Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2024