Jakarta (ANTARA) - Panitia Khusus (Pansus) Polymerase Chain Reaction (PCR) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI akan mendalami dugaan penyimpangan dalam kebijakan tes pendeteksi material genetik dari COVID-19 tersebut membebani publik, terutama menyangkut transparansi, akuntabilitas, dan konflik kepentingan.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Ketua Pansus PCR DPD RI Fahira Idris meminta pendapat dari pakar dan lembaga riset dalam rapat dengar pendapat yang berlangsung di Jakarta pada Rabu (9/2).
"Mereka diundang terkait dengan penelitian, investigasi, dan informasi yang dimilikinya perihal dugaan penyimpangan kebijakan tes PCR yang membebani publik, khususnya menyangkut transparansi, akuntabilitas, serta isu konflik kepentingan," kata Fahira Idris.
Pansus PCR DPD RI mengundang Pakar Ekonomi Faisal Basri dan Direktur Nagara Institute Akbar Faisal dalam lanjutan rapat dengar pendapat umum yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Fahira menjelaskan penjelasan Faisal Basri dan Akbar Faisal, terutama terkait data beserta fakta, cukup komprehensif. Data dan fakta tersebut bermanfaat untuk membantu kerja-kerja pansus dalam mengidentifikasi serta mengklarifikasi berbagai dugaan penyimpangan dalam kebijakan tes PCR.
Selain itu, dia menambahkan, penjelasan dua narasumber tersebut membantu pansus dalam merumuskan peta substansi persoalan dan rekomendasi terkait dugaan penyimpangan kebijakan PCR yang membebani publik.
Fahira mengatakan salah satu alasan DPD RI membentuk Pansus PCR adalah untuk mengonfirmasi dan mengumpulkan bukti perihal keyakinan publik, yang menduga bahwa penyelenggaraan alat kesehatan, termasuk PCR, sarat dengan konflik kepentingan.
Publik menduga pejabat penentu kebijakan tes PCR terafiliasi pada korporasi penyedia alat kesehatan, tambahnya.
"Agar isu soal PCR ini tidak menjadi bola liar, DPD RI merasa berkepentingan untuk membentuk pansus. Sebagai representasi masyarakat, daerah, dan lembaga konstitusional berdasarkan amanat Pasal 22 D UUD 1945, Pansus PCR DPD RI menjadi forum yang tepat untuk mendalami persoalan kebijakan PCR di Indonesia," ujarnya.
Beberapa persoalan yang disorot oleh Pansus PCR DPD RI antara lain soal tarif, transparansi, akuntabilitas, hingga sejauh mana keterlibatan pejabat publik dalam bisnis tes PCR, yang sejatinya menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Ketua Pansus PCR DPD RI Fahira Idris meminta pendapat dari pakar dan lembaga riset dalam rapat dengar pendapat yang berlangsung di Jakarta pada Rabu (9/2).
"Mereka diundang terkait dengan penelitian, investigasi, dan informasi yang dimilikinya perihal dugaan penyimpangan kebijakan tes PCR yang membebani publik, khususnya menyangkut transparansi, akuntabilitas, serta isu konflik kepentingan," kata Fahira Idris.
Pansus PCR DPD RI mengundang Pakar Ekonomi Faisal Basri dan Direktur Nagara Institute Akbar Faisal dalam lanjutan rapat dengar pendapat umum yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Fahira menjelaskan penjelasan Faisal Basri dan Akbar Faisal, terutama terkait data beserta fakta, cukup komprehensif. Data dan fakta tersebut bermanfaat untuk membantu kerja-kerja pansus dalam mengidentifikasi serta mengklarifikasi berbagai dugaan penyimpangan dalam kebijakan tes PCR.
Selain itu, dia menambahkan, penjelasan dua narasumber tersebut membantu pansus dalam merumuskan peta substansi persoalan dan rekomendasi terkait dugaan penyimpangan kebijakan PCR yang membebani publik.
Fahira mengatakan salah satu alasan DPD RI membentuk Pansus PCR adalah untuk mengonfirmasi dan mengumpulkan bukti perihal keyakinan publik, yang menduga bahwa penyelenggaraan alat kesehatan, termasuk PCR, sarat dengan konflik kepentingan.
Publik menduga pejabat penentu kebijakan tes PCR terafiliasi pada korporasi penyedia alat kesehatan, tambahnya.
"Agar isu soal PCR ini tidak menjadi bola liar, DPD RI merasa berkepentingan untuk membentuk pansus. Sebagai representasi masyarakat, daerah, dan lembaga konstitusional berdasarkan amanat Pasal 22 D UUD 1945, Pansus PCR DPD RI menjadi forum yang tepat untuk mendalami persoalan kebijakan PCR di Indonesia," ujarnya.
Beberapa persoalan yang disorot oleh Pansus PCR DPD RI antara lain soal tarif, transparansi, akuntabilitas, hingga sejauh mana keterlibatan pejabat publik dalam bisnis tes PCR, yang sejatinya menyangkut hajat hidup orang banyak.