Jakarta (ANTARA) - Aktris Happy Salma berpendapat penggambaran sisi kemanusiaan pada karakter yang ia perankan menjadi salah satu daya tarik film “Before, Now & Then (Nana)” karya sutradara Kamila Andini.
“Menurut saya film periode ini bisa masuk ke dalam festival internasional, seperti Berlinale, mungkin karena sisi kemanusiaannya yang tinggi karena tidak mengkultuskan seseorang. Ya, biasa aja,” kata Happy saat dijumpai wartawan di Jakarta, Jumat.
Dalam film tersebut, Happy membawakan karakter utama sebagai Raden Nana Sunani dengan latar waktu era 1960-an. Penggambaran karakter Nana sebagai perempuan pada umumnya membuat aktris itu bersemangat mendalami peran meski menemukan kesulitan.
Baca juga: Ibnu Jamil sebut kesulitan belajar bahasa Sunda untuk peran film "Nana"
“Dia perempuan biasa. Yang menyenangkan adalah saya tidak memerankan tokoh heroik, kepahlawanan, atau apa. Dia sama seperti ibu dan nenek kita yang punya kelebihan dan kekurangan, tapi kita tetap sayang,” ujarnya.
Happy mengatakan kesepakatan di antara tim inti produksi atas penggunaan bahasa Sunda secara penuh dalam dialog telah memberinya keyakinan untuk terlibat di dalam film “Nana”. Apalagi, lanjutnya, film berbahasa Sunda sudah lama tidak muncul di kancah perfilman Indonesia setelah “Lutung Kasarung” (1928) yang dibuat sutradara Belanda.
“Saya orang Sunda, saya harus main di tanah kelahiran saya. Saya belum nonton filmnya, nih. Saya tidak sabar, membayangkan juga nggak tahu ini festivalnya,” tuturnya.
Meski lahir dan tumbuh di tanah Sunda, Happy mengaku kesulitan ketika memahami dialog bahasa Sunda lawas era 50 hingga 60-an. Namun ia merasa beruntung sebab terdapat sejumlah mentor yang difasilitasi oleh tim produksi untuk mendampingi para aktor belajar dan berlatih berbicara bahasa Sunda lawas.
“Kerja keras itu tidak sia-sia. Jadi kalaupun nanti ditanyakan di Berlin Film Festival, kita bisa mempertanggungjawabkan bahwa bahasa yang digunakan juga betul-betul bahasa yang baik dan benar,” katanya.
Menurut Happy, bahasa daerah tidak semestinya menjadi penghambat untuk berkomunikasi dengan siapapun. Kabar mengenai masuknya film “Nana” di Festival Berlin telah mematahkan kekhawatiran bahwa film berbahasa daerah hanya dipasarkan di cakupan lokal.
Happy mengatakan dirinya juga tidak akan menyia-nyiakan kesempatan nanti ketika hadir di Berlinale untuk mempelajari bagaimana para sineas dunia berbicara mengenai isu dan perasaan-perasaan mereka.
“Bahasa daerah bukan penghambat kita untuk menyampaikan sebuah ideologi atau gagasan. Berlinale memberi kepercayaan diri bahwa bisa, kok, selama isunya sampai,” ujar Happy.
Baca juga: Gita Fara bilang unsur lokal bukan penghambat film capai audiens luas
Baca juga: Film "Nana" jadi kado terakhir untuk Mami sebut Jais Darga
Baca juga: "Before, Now & Then" masuk kompetisi utama Festival Film Berlin
“Menurut saya film periode ini bisa masuk ke dalam festival internasional, seperti Berlinale, mungkin karena sisi kemanusiaannya yang tinggi karena tidak mengkultuskan seseorang. Ya, biasa aja,” kata Happy saat dijumpai wartawan di Jakarta, Jumat.
Dalam film tersebut, Happy membawakan karakter utama sebagai Raden Nana Sunani dengan latar waktu era 1960-an. Penggambaran karakter Nana sebagai perempuan pada umumnya membuat aktris itu bersemangat mendalami peran meski menemukan kesulitan.
Baca juga: Ibnu Jamil sebut kesulitan belajar bahasa Sunda untuk peran film "Nana"
“Dia perempuan biasa. Yang menyenangkan adalah saya tidak memerankan tokoh heroik, kepahlawanan, atau apa. Dia sama seperti ibu dan nenek kita yang punya kelebihan dan kekurangan, tapi kita tetap sayang,” ujarnya.
Happy mengatakan kesepakatan di antara tim inti produksi atas penggunaan bahasa Sunda secara penuh dalam dialog telah memberinya keyakinan untuk terlibat di dalam film “Nana”. Apalagi, lanjutnya, film berbahasa Sunda sudah lama tidak muncul di kancah perfilman Indonesia setelah “Lutung Kasarung” (1928) yang dibuat sutradara Belanda.
“Saya orang Sunda, saya harus main di tanah kelahiran saya. Saya belum nonton filmnya, nih. Saya tidak sabar, membayangkan juga nggak tahu ini festivalnya,” tuturnya.
Meski lahir dan tumbuh di tanah Sunda, Happy mengaku kesulitan ketika memahami dialog bahasa Sunda lawas era 50 hingga 60-an. Namun ia merasa beruntung sebab terdapat sejumlah mentor yang difasilitasi oleh tim produksi untuk mendampingi para aktor belajar dan berlatih berbicara bahasa Sunda lawas.
“Kerja keras itu tidak sia-sia. Jadi kalaupun nanti ditanyakan di Berlin Film Festival, kita bisa mempertanggungjawabkan bahwa bahasa yang digunakan juga betul-betul bahasa yang baik dan benar,” katanya.
Menurut Happy, bahasa daerah tidak semestinya menjadi penghambat untuk berkomunikasi dengan siapapun. Kabar mengenai masuknya film “Nana” di Festival Berlin telah mematahkan kekhawatiran bahwa film berbahasa daerah hanya dipasarkan di cakupan lokal.
Happy mengatakan dirinya juga tidak akan menyia-nyiakan kesempatan nanti ketika hadir di Berlinale untuk mempelajari bagaimana para sineas dunia berbicara mengenai isu dan perasaan-perasaan mereka.
“Bahasa daerah bukan penghambat kita untuk menyampaikan sebuah ideologi atau gagasan. Berlinale memberi kepercayaan diri bahwa bisa, kok, selama isunya sampai,” ujar Happy.
Baca juga: Gita Fara bilang unsur lokal bukan penghambat film capai audiens luas
Baca juga: Film "Nana" jadi kado terakhir untuk Mami sebut Jais Darga
Baca juga: "Before, Now & Then" masuk kompetisi utama Festival Film Berlin