Jakarta (ANTARA) - Jarak Vientiane ke Boten adalah 414 km atau hampir tiga kali lipat jarak Jakarta-Bandung di mana proyek kereta api cepat tengah dikerjakan.

Viantiane adalah ibu kota Laos yang dipisahkan dari Thailand oleh Sungai Mekong, sedangkan Boten merupakan kota di Laos utara yang berada di perbatasan dengan China di Provinsi Yunnan.

Awal Desember lalu, Vientiane-Boten resmi dihubungkan oleh jalur kereta cepat yang merupakan pertama di Asia Tenggara, dan menjadi bagian dari jalur Vientiane-Kunming di China sejauh 1.020 km.

Trayek itu adalah bagian dari jalur kereta Pan-Asia dari China sampai Singapura dan seluruh Asia Tenggara daratan.

Jalur kereta cepat China-Singapura yang melewati Laos, Thailand dan Malaysia itu total mencapai 3.600 km.

Ini adalah bagian dari konsep pembangunan infrastruktur Sabuk dan Jalan yang dipromosikan China yang melintasi benua Eropa dan Afrika.

China bukan yang pertama yang ingin menghubungkan Asia Tenggara dengan kereta api karena Inggris dan Prancis sewaktu mengkolonisasi Asia Tenggara juga sudah menginginkan hal seperti itu.

Jalur kereta berkecepatan 160 km per jam dari Vientiane sampai Boten hingga Kunming ibukota Provinsi Yunnan di China itu menelan investasi sebesar 16 miliar dolar AS (Rp229 triliun).

70 persen saham proyek yang diresmikan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Laos Thongloun Sisoulith pada 3 Desember itu dikuasai China. Sisanya 30 persen menjadi tanggungan Laos. Proyek ini sendiri disepakati kedua negara pada 2015.

Kantor berita Laos KPL menyebut proyek ini strategi pemerintah dalam mengubah Laos tidak lagi menjadi negara tanah terkurung (landlock) yang memang tak memiliki perbatasan laut dan sebaliknya dikurung China, Myanmar, Thailand, Kamboja dan Vietnam.

Presiden Thongloun Sisoulith menyebut era baru pembangunan infrastruktur modern di Laos sudah dimulai. "Saya bangga impian rakyat Lao terwujud," kata Sisoulith seperti dikutip AFP.

Jalur kereta cepat ini akan melayani empat perjalanan penumpang dan 14 kereta barang yang akan melewati 75 terowongan, 167 jembatan dan 10 stasiun pemberhentian.

Proyek ini dianggap bakal mendorong pertumbuhan ekonomi di Laos, namun banyak juga yang mempertanyakan bagaimana negara miskin seperti Laos membayar utang 1,06 miliar dolar AS akibat proyek itu.

Kemudian, apakah Laos siap mengeksploitasi sistem transportasi secanggih ini? Apalagi sektor swastanya jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lain.

Bahkan banyak ekonom khawatir proyek kereta cepat ini menjerat salah satu negara termiskin di Asia ini di mana utang dari proyek ini sendiri mencapai sepertiga dari produk domestik brutonya.

Perangkap utang?

Pemerintah Laos sendiri memiliki pinjaman 480 juta dolar AS kepada Bank Ekspor-Impor China untuk menutup dua pertiga dari porsi sahamnya dalam proyek itu. Ini membuat total utang Laos untuk proyek kereta cepat ini menjadi 1,54 miliar dolar AS.

Namun Bank Dunia optimistis proyek itu dapat mengangkat ekonomi Laos karena membuat negara itu menjadi pusat logistik untuk produk Thailand dan China. Cuma ada syaratnya, yakni jika Laos bisa meningkatkan efisiensi dan memperbanyak jalan penghubung.

Faktanya walaupun tidak memiliki perbatasan laut, dua pertiga ekspor Laos ke China diangkut melalui rute laut atau membutuhkan pantai Vietnam agar produk-produknya sampai ke China.

Suara agak pesimistis disampaikan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang tahun lalu menaksir proyek kereta cepat itu mustahil menguntungkan Laos mengingat biayanya yang luar biasa besar.

Taksiran ini mempertajam opini miring sejak 2016 terhadap Prakarsa Sabuk dan Jalan.

Ada kekhawatiran yang kian besar bahwa prakarsa itu menjadi perangkap utang yang membuat negara debitur dengan mudah didikte China.

Laos yang menanggung 30 persen kewajiban mendanai proyek kereta cepat itu sendiri tak memiliki dana sehingga terpaksa meminjam Bank Ekspor-Impor China.

Sekalipun China menaksir satu juta penumpang akan menggunakan kereta cepat Viantiane-Kunming, jalur ini diperkirakan belum akan mendatangkan turis China dalam jumlah besar untuk waktu dekat ini karena China sendiri masih memberlakukan kebijakan pembatasan perjalanan terkait COVID-19.

Laos bisa menaruh harapan kepada terhubungnya jalur Laos ini ke Thailand sampai Singapura. Tapi itu masih lama dan jelas di luar kendali Laos.

Thailand yang sudah menyetujui desain kereta cepat buatan China sampai Laos, terus molor dalam mengeksekusi proyek ini dan diperkirakan baru merampungkan bagiannya pada 2028. Tetapi menurut sejumlah diplomat seperti dilaporkan Yomiuri Shimbun, Thailand berusaha mendanai sendiri proyek kereta cepat ini untuk menghindari intervensi berlebihan China dalam proyek ini.

Sedangkan pemerintah Malaysia baru memulai mempelajari jalur kereta cepat menuju Bangkok dan ini pun masih tergantung kepada jenis rezim yang berkuasa di Kuala Lumpur, selain juga hati-hati dalam melihat kerangka finansial China dalam proyek semacam ini.

Oleh karena itu jalur kereta cepat Laos belum akan segera tersambung ke Thailand, Malaysia dan Singapura. Dan ini juga mengartikan Laos masuk siklus membayar tagihan utang yang besar kepada China.

Laos bukannya tak menyadari hal ini. Tapi mereka dihadapkan kepada dilema antara terus miskin atau meningkatkan konektivitas ke negara tetangga-tetangga demi memajukan dirinya.

"Jika kami tak menerima, kami memang menjadi tak punya utang. Tapi kemudian kami akan terus miskin seperti sekarang," kata seorang pejabat senior Laos pada 2017 kepada David Lampton, profesor hubungan internasional pada Universitas Johns Hopkins.

Bagi China, apa yang terjadi di Laos makin mendorong mereka mewujudkan jalur kereta cepat sampai Singapura, selain jalur kereta lainnya ke Myanmar, Vietnam dan Kamboja yang bukan jalur kereta cepat itu.

Konektivitas mutlak

Sekalipun mitra-mitranya di Asia Tenggara berulang kali diguncang kudeta dan perubahan kepemimpinan politik akibat pemilu, China tak surut memajukan program jalur kereta cepat ini.

Salah satu faktornya adalah terus tegangnya jalur pelayaran Laut China Selatan yang memaksa China memikirkan opsi darat.

"Sulit sekali memajukan proyek-proyek Sabuk dan Jalan melalui jalur laut mengingat adanya ketegangan maritim itu," kata seorang analis China yang enggan menyebutkan namanya seperti dikutip South China Morning Post. "Jalur darat juga dapat menghindari kemungkinan blokade laut."

Dalam konteks ini pula China berusaha keras memajukan jalur kereta cepat China-Eropa sampai terhubung Shanghai di Pasifik, padahal kota ini biasanya menjadi pintu utama China untuk distribusi via laut.

Tiga bulan sebelum jalur kereta cepat Kunming-Vientiane rampung, jalur rel terakhir yang menghubungkan Chengdu ke Lincang di perbatasan China-Myanmar sudah tersambung.

Itu akan menjadi langkah penting karena akhirnya jalur kereta China terhubung sampai Yangon di Myanmar yang tidak masuk jalur kereta cepat tapi tetap dianggap sangat penting oleh China.

China menempuh segala cara untuk terus terhubung dengan sumber-sumber energi di dunia, walaupun memasuki wilayah-wilayah yang tidak stabil.

Mereka berusaha menembus Myanmar yang memiliki perbatasan laut menghadap Teluk Benggala, guna memangkas rute perdagangan lewat Selat Malaka dan Laut China Selatan. Mereka berusaha menghindari risiko bertumpuk di jalur laut.

Tak hanya Asia Tenggara, China juga memiliki jalur darat sampai Eropa dan juga Timur Tengah yang menembus Asia Tengah, bahkan selatan di Pakistan.

Baik kawasan yang dilewati maupun yang menjadi tujuan akhir jalur itu, adalah juga pasar China dan sebagian di antaranya sekaligus sumber energi China, khususnya Timur Tengah dan Asia Tengah.

China tentu tak akan membiarkan 1,3 miliar penduduknya mengalami kesulitan energi yang sering menjadi awal terjadinya rongrongan terhadap stabilitas rezim seperti saat ini terjadi di Kazakhstan, sehingga segala cara ditempuh negeri ini, termasuk membangun jalur kereta cepat di Asia Tenggara.

Dalam konteks pemahaman itu semua, menjadi soal waktu belaka bagi China untuk bisa menghubungkan Kunming ke Singapura.

China bisa bersabar karena sistem politiknya membuat mereka tidak memiliki masalah dalam suksesi kepemimpinan politik. Sebaliknya sebagian besar negara Asia Tenggara terus berganti rezim yang malah di Myanmar dan Thailand diwarnai kudeta. Pergantian rezim acap mengubah kebijakan negara itu, termasuk dalam soal pembangunan infrastruktur.

Kini terserah kepada para pemimpin dan masyarakat Asia Tenggara untuk apakah akan mengejar apa yang sudah dipilih Laos atau menunggu sampai semuanya dianggap tepat.

Yang pasti, konektivitas adalah salah satu rumus besar agar negara semaju mungkin. Tentu saja dengan siapa proyek dikerjasamakan adalah menjadi otonomi dan mutlak urusan sebuah negara berdaulat.
 

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Agus Wira Sukarta
Copyright © ANTARA 2024