Jakarta (ANTARA) - Puncak kasus harian COVID-19 di Indonesia sudah terlewati pada 30 Januari 2021 dengan titik puncak pada angka 14.518 kasus, setelah pemerintah pusat dan daerah melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro untuk terus menekan mobilitas.

Saat itu angka kasus harian terus menurun sejak tanggal 8 sampai 12 Februari 2021 di kisaran 8.000 kasus, dan saat ini sudah berada pada kisaran 5.000 kasus.

Tentu penurunan paparan COVID-19 itu tidak mengesampingkan vaksinasi bagi tenaga kesehatan, TNI/Polri, pedagang, ulama, lansia dan sekarang tenaga kependidikan. Walaupun angka orang yang sudah divaksin masih relatif kecil yaitu 5,2 juta orang dibanding target sampai akhir Juni sebanyak 45 juta orang.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan vaksinasi dilakukan untuk 2-3 juta orang per hari sebagai persiapan memasuki semester kedua tahun 2021 tatkala vaksin COVID-19 mulai banyak berdatangan.

Dari segi ketersediaan vaksin COVID-19 yang ada sekarang berjumlah 90 juta dosis, baru akan menyasar 45 juta orang yang divaksin sampai Juni 2021. Lalu, tahap enam bulan selanjutnya kemudian menyasar 140 juta yang harus disuntik sehingga perlu persiapan yang matang.

PPKM skala mikro yang secara konsisten diterapkan di sejumlah daerah telah menunjukkan adanya penurunan mobilitas yang menjadi faktor pendorong penyebaran virus yang mudah menular melalui droplet (cipratan) penderitanya itu.

Banyak daerah yang merasakan manfaat PPKM berskala mikro itu, dengan mengurangi zona merah kembali ke zona oranye dan dari oranye menjadi kuning dan seterusnya.

Momentum ini harus terus dipertahankan, apalagi angka orang yang sudah divaksin masih relatif sedikit dan angka positivity rate di Indonesia yang masih tinggi yaitu di kisaran 12 persen.

Sebelumnya angka "positivity rate" sempat tinggi yaitu 36 persen pada 16 Februari 2021, namun terus berfluktuasi, dan pada Maret angka positivity rate menjadi 12,9 persen. Namun menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka ideal positivity rate maksimal 5 persen, artinya angka itu di Indonesia begitu tinggi.

Dengan angka-angka itu, maka kebijakan Kementerian Perhubungan yang akan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mudik Lebaran masih dianggap terlalu berani dan bisa diprediksi akan kembali meningkatkan angka kasus harian.

Harus diingat kebijakan untuk membolehkan mudik pada saat libur Idul Fitri 22-25 Mei 2020, telah meningkatkan kasus positif beberapa minggu kemudian, Pada 6 Juni 2020 sampai dengan akhir Juni 2020 di mana terjadi peningkatan kasus sampai dengan sekitar 70-90 persen.

Sebelumnya angka pertambahan kasus harian berada di kisaran 600 kasus, namun tiba-tiba dia naik jadi 1.100 per harinya.

Jangan sampai kebijakan membolehkan mudik pada tahun ini akan kembali meningkatkan kasus harian, apalagi budaya "ewuh pakewuh" masih melekat di masyarakat sehingga dikhawatirkan suasana Lebaran dalam lingkungan keluarga akan menurunkan kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan.

Ingat risiko penularan di kluster keluarga 10 kali lebih tinggi dibanding kluster lain, dan suasana Lebaran akan membuat kerumunan baru di skala kecil yaitu keluarga.

Asumsi pelonggaran

Asumsi yang dilontarkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam melonggarkan mudik bagi masyarakat adalah program vaksinasi yang sudah berjalan, kemudahan dalam penapisan COVID-19 menggunakan GeNose, serta masyarakat pun dirasa sudah mampu beradaptasi dengan protokol kesehatan.

GeNose C19, alat deteksi COVID-19 berbasis embusan napas karya tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. PT KAI menyediakan layanan tes GeNoSe tahap awal di Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Tugu Yogyakarta dengan tarif Rp 20.000, yang tentu lebih murah dibanding alat tes lainnya, yang kisarannya di atas Rp100 ribu.

Asumsi itu harus dikaji lebih dalam karena angka vaksinasi menurut sejumlah epidemolog masih kecil dibanding jumlah penduduk Indonesia sehingga dampak untuk menekan sebaran COVID-9 masih belum signifikan.

Demikian juga penapisan dengan GeNose hanya di titik-titik tertentu sehingga secara nasional masih belum signifikan untuk mengecek semua pelaku mudik.

Sementara protokol kesehatan justru makin sulit diterapkan di tingkat terkecil seperti perkampungan dan keluarga, apalagi mudik erat kaitannya dengan silaturahim sehingga tidak mungkin pemudik hanya menuju silaturahim dengan satu dua keluarga saja.

Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani juga meminta pemerintah mengkaji dengan saksama mudik Lebaran karena berdasarkan pengalaman sebelumnya telah menunjukkan bahwa lonjakan kasus terjadi setiap kali terjadi mobilitas masyarakat pada saat liburan panjang.

Ia juga mengungkap data dari laporan Satgas Penanganan COVID-19, di mana kasus kematian meningkat 74,80 persen pada periode 22-28 Februari 2021. Penyebab tingginya angka kematian COVID-19 itu erat kaitannya dengan kebijakan testing, tracing, dan treatment (3T) yang masih lemah.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo juga mengakui kebijakan menetapkan libur panjang kerap dibarengi dengan peningkatan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia sehingga pada libur Imlek dan libur Isra Mi'raj beberapa waktu lalu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas kelompok masyarakat bepergian ke luar kota.

Satgas COVID-19 saat itu melakukan pembatasan kepada aparatur sipil negara (ASN), pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga anggota TNI-Polri yang dilarang ke luar kota.

Terbukti pembatasan itu mampu menjaga momentum penurunan kasus harian sehingga sejumlah pihak juga berharap menjaga momentum itu menjadi hal yang perlu didahulukan dibanding dengan keuntungan ekonomi yang diramalkan akan meningkat akibat pelonggaran aturan mudik Lebaran 1442 Hijriyah/2021 Masehi ini.

Alasan ekonomi

Namun di sisi lain, pemerintah tampaknya ingin memberikan kelonggaran pada sisi pergerakan ekonomi yang masih terus tertekan sebagai akibat adanya PPKM skala mikro yang beberapa kali diperpanjang.

Diperkirakan pemerintah tetap akan mengeluarkan kebijakan untuk membolehkan mudik dengan sejumlah cacatan yang ketat yang sempat disampaikan Kementerian Perhubungan.

Beberapa cacatan yang bisa digunakan pemerintah untuk menekan penyebaran COVID selama mudik antara lain pertama memberikan memberikan vaksinasi kepada petugas sektor transportasi umum seperti supir, kernet dan petugas di terminal, bandara, pelabuhan dan angkutan umum lainnnya. Masih ada waktu untuk mendata awak angkutan umum dan melakukan vaksinasi secara massal.

Kedua memastikan pelaku mudik melalui transportasi umum dan pemudik berkendaraan pribadi bebas dari paparan COVID-19. Ketiga protokol kesehatan yang ketat di dalam angkutan umum seperti jaga jarak, tetap pakai masker dan pembatasan berbicara di angkutan umum.

Keempat, memberikan sosialisasi bagi pemudik untuk tetap menerapkan protokol kesehatan selama bersilaturahim bersama keluarga di kampung halaman mereka. Artinya menjaga jarak, menggunakan masker dan sering cuci tangan tetap dilakukan selama melakukan silaturahim bersama keluarga besar di kampung. Pemudik juga penting untuk mempunyai catatan kontak mereka selama mudik sehingga saat ditemukan salah satu anggota keluarga ada yang terkena COVID-9 maka sangat memudahkan pelacakan kasusnya.

Kelima, lokasi wisata yang akan menjadi tujuan libur Lebaran juga diperketat dengan membatasi pengunjung untuk mencegah kerumunan yang berlebihan, dan ketegasan manajemen pengelola wisata untuk menyediakan sarana protokol kesehatan yang lengkap. Ini bisa dilakukan asesmen oleh Satgas COVID-9 setempat.

Terkait dengan butir kelima adalah hotel dan penginapan juga diminta juga menerapkan aturan protokol kesehatan yang ketat seperti melakukan disinfeksi sarana umum, meniadakan makan prasmanan dan juga meminta tamu yang akan menginap untuk menunjukkan surat keterangan negatif dari hasil antigen atau PCR yang masih berlaku.

Dan terakhir adalah pentingnya dilakukan pengecekan (testing) secara random di tingkat desa untuk menyisir apakah masih ada pemudik yang terkonfirmasi positif COVID-9 dan dilakukan karantina yang ketat agar tidak menginfeksi keluarga yang lain.

Selain testing, tracing, dan treatment juga harus dijalankan, sehingga pemerintah daerah juga diminta kesiapan untuk mengecek ketersediaan ruang perawatan dan ruang karantina berjaga-jaga jika ada lonjakan kasus.

Seperti tahun lalu, walaupun ada larangan untuk mudik dan memang ada penurunan angka mudik yang sangat signifikan, namun lonjakan kasus penularan COVID-19 dua minggu sesudah liburan ternyata terjadi cukup tinggi.

Berdasarkan data Kemenhub, tahun 2020 lalu adanya pelarangan mudik membuat penurunan pengguna transportasi umum mencapai 98,5 persen dibandingkan periode H-7 sampai H-7 Idul Fitri tahun sebelumnya. Jumlah penumpang moda angkutan umum tercatat hanya 297.453 atau tidak sampai satu juta orang.

40 kali lipat

Dengan kebijakan membolehkan mudik, Kemenhub memprediksi pada mudik pada 2021 pengguna transportasi umum akan mencapai 11,89 juta penumpang. Walaupun jumlahnya turun 41 persen dibanding tahun 2019 yang mencapai 20,04 juta orang, namun justru angka itu 40 puluh kali lipat dibanding tahun 2020.

Wajar saja epidemolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, jika kebijakan membolehkan mudik benar-benar dijalankan maka pemerintah harus menerima konsekuensi lonjakan kasus COVID-19.

Tidak bisa dibayangkan dampak lonjakan angka kasus positif COVID-19 yang sangat mungkin terjadi, mengingat di tahun 2020 saja usai libur Idul Fitri terjadi peningkatan kasus harian sekitar 70-90 persen, dan sempat membuat rumah sakit kewalahan menyediakan ruang perawatan dan karantina.

Jika pakai hitungan matematis maka peningkatan angka pemudik angkutan umum yang mencapai 40 kali lipat tahun ini bisa memunculkan gelombang dahsyat paparan virus corona, belum lagi ada faktor munculnya varian baru virus corona B117. Jangan sampa memunculkan puncak baru pada grafik harian paparan COVID-19.

Apalagi jika tidak ada upaya daerah tujuan mudik untuk melakukan pemeriksaan pemudik secara ketat maka dipastikan pula, lonjakan kasus akan terjadi dan bersiap lagi uang dan tenaga akan terkuras untuk upaya pemulihan.

Akankah sebanding dengan keuntungan ekonomi yang diraih? Banyak yang meramalkan angka keuntungan ekonomi tidak akan bisa sebanding dengan pengorbanan yang terjadi, apalagi menyangkut nyawa manusia.

Jadi sangat diharapkan mudik untuk tetap dilarang, dan pemerintah untuk terus melanjutkan PPKM Mikro dengan harapan angka paparan harian dan positivity rate terus menurun. Tahan nafsu mudik tahun ini dan semoga menjadi modal untuk pelonggaran mudik tahun depan.


 


Pewarta : Budhi Santoso
Editor : Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024