Jakarta (ANTARA) - Perayaan hari-hari spesial di tahun ini memang terasa sedikit berbeda dari hari biasanya karena adanya pandemi COVID-19. Semua terasa dipaksa untuk beralih secara virtual, tak terkecuali untuk merayakan Hari Batik Nasional, yang jatuh pada 2 Oktober.
Berkawan dengan teknologi mungkin bukan hal yang terdengar sulit, namun perlu adaptasi, tak terkecuali para perajin batik.
Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perajin Batik Indonesia, Dr. H. Komarudin Kudiya, dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (1/10), menyebutkan bahwa pandemi telah memaksa banyak pihak termasuk para pengusaha dan perajin batik untuk beralih ke komunikasi digital.
"Kami terus menjalin komunikasi, bahkan kerja sama dan membuat webinar setiap minggu tentang batik dan donasi untuk pengrajin batik lokal," kata Komarudin.
Sebagai informasi, pada bulan April, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan terjadi pengurangan 2,1 juta pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Komarudin pun menyebut, saat ini terdapat banyak pengrajin batik rumahan (dengan modal di bawah 200 juta) di Cirebon, Jawa Barat, hingga Pekalongan, Jawa Tengah, yang harus gulung tikar karena tidak adanya permintaan. Ini juga berlaku bagi pelaku industri bordir dan tenun, kata dia.
Ketua Galeri Batik YBI Periode 2010-2019 dan aktivis Yayasan Batik Indonesia, Dr. Tumbu Ramelan, menyebutkan bahwa memang, yang paling terdampak adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), atau industri akar rumput.
"Sejauh ini, pengusaha batik telah melaporkan bahwa penjualan mereka menurun drastis hingga sekitar 30 persen," kata Tumbu.
Ia berpendapat, dengan mencoba mengenalkan teknologi ke para pelaku bisnis batik, diharapkan bisa menggugah keterlibatan mereka untuk eksistensi batik, dan membantu industrinya, yang meliputi 200 ribu pembuat batik di seluruh Nusantara.
Memberikan pelatihan, hingga berjualan batik melalui platform daring pun kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah nilai dan filosofi dari secarik kain tradisional Indonesia ini dapat terjaga, seperti layaknya membeli dan belajar langsung dari para perajinnya di daerah.
Tumbu mengatakan, setiap corak batik punya pesan dan ada nilai-nilai universal yang bisa dipetik, terlepas dari media beli maupun pelatihannya saja yang beralih ke media digital.
Toh, kalau dipikir-pikir lagi, ketika batik telah sampai di tangan, pasti akan tumbuh rasa ingin tahu dan cinta akan kain tradisional yang telah diakui UNESCO itu.
"Kita semua tahu bahwa batik memiliki filosofi dan nilai. Dan yang dihargai UNESCO adalah what's behind the batik? Batik, yang pengerjaannya dilakukan turun-temurun, dan lainnya. Batik is intengible," kata Tumbu menambahkan.
Menumbuhkan cinta
Timbul rasa bangga ketika UNESCO dan dunia telah mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya. Namun, tentu hal tersebut perlu didukung dengan keterlibatan masyarakat dan pemerintah, dan pandemi bukanlah alasan untuk berhenti menggaungkan kemegahan estetika dan nilai batik.
cara termudah bagi generasi saat ini untuk melestarikan batik adalah dengan mengenakan dan bangga ketika memakainya.
"Memulai kecintaan kepada batik, caranya sederhana sekali. Pakailah batik. Dengan memakai batik, secara tak langsung sudah berkenalan dengan batik. Dan tentu harus bangga ketika mengenakannya," kata Tumbu.
Menurut dia, batik merupakan kain tradisional yang bisa dikenakan di banyak kejadian penting di kehidupan. Mulai dari kelahiran, menikah, hingga akhir hayat. Batik memiliki banyak nilai dan filosofi menarik yang bisa digali, dan tetap relevan meski berganti zaman.
Saat ini, para desainer mode dan pengrajin batik pun telah mencoba untuk menyederhanakan dan menyesuaikan dengan selera anak muda, agar penggunaannya bisa lebih universal.
"Kami saat ini menciptakan model yang sederhana, dan kami bekerja sama dengan desainer untuk menarik anak-anak muda," kata Tumbu.
"Jika batik kesannya dulu identik warnanya gelap, sekarang kami menciptakan batik dengan warna pastel dengan motif yang lebih sederhana, dan diharapkan bisa sesuai dengan selera anak muda," ujarnya melanjutkan.
Tumbu pun mengatakan, pihaknya dan komunitas batik lainnya juga giat untuk terlibat mempromosikan batik ke sekolah hingga kampus. Dalam kegiatannya, pihaknya memberikan contoh mengenakan batik dengan simpel tanpa perlu khawatir nilai-nilai di dalamnya akan hilang.
"Kita memberi contoh memakai batik yang lebih sederhana, memperlonggar dan lebih santai dalam keseharian," kata dia.
Namun, tentu saja, melestarikan batik pun membutuhkan perjuangan yang berkelanjutan, dan melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah hingga masyarakat.
"Kita membutuhkan keterlibatan pemerintah juga. Masyarakat bergerak, pengrajin bergerak. Batik adalah seni, yang dikerjakan oleh artisan dan tentu harusnya mendapatkan tempat spesial. Ada kesinambungan dari seluruh ekosistem di dalamnya," ujar Tumbu.
Optimisme pemerintah
Di sisi lain, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Dr. Hilmar Farid Setiadi, optimistis bahwa eksistensi batik dan industrinya akan semakin tumbuh dan dikenal luas, baik secara domestik maupun internasional.
Menurut Hilmar, pertumbuhan industri rumah tangga hingga yang besar di sektor batik ia nilai membaik, seiring dengan peluang pasar di Indonesia yang luas. Ia pun menyebut, batik juga sudah mulai dikenal dan banyak digunakan di pasar global.
"Pertumbuhan batik luar biasa. Industri rumah tangga sampai yang besar pun tumbuh. Market juga masih luas banget. Teman-teman di UNESCO, mereka kebanyakan punya batik, dan bisa dibilang sudah merupakan pakaian yang mendunia," kata Hilmar.
"Kita selangkah lagi untuk menjelaskan ke mereka kalau setiap corak batik punya message dan ada nilai-nilai universal yang bisa dipetik," ujarnya menambahkan.
Menurut Hilmar, tantangan paling besar dalam membuat batik dan dikenal lebih dalam, adalah membuat setiap corak dengan teknik spesifik tertentu, sehingga narasi dan filosofinya muncul dan menjadikan kain tradisional Indonesia ini kian bermakna.
Ketika disinggung mengenai inovasi dan kreativitas, ia mengatakan, saat ini sudah banyak batik yang diperkenalkan melalui produk dan media lain. Contohnya antara lain perlengkapan interior rumah, hingga produk fesyen seperti tas.
Selain itu, ia berpendapat bahwa industri batik tidak bisa berjalan sendiri, namun membutuhkan kerja sama antara banyak pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, hingga pelaku di industri kreatif.
"Batik bisa diperkenalkan lebih luas lagi melalui industri kreatif seperti audiovisual, game, dan lainnya. Jangan cuma jadi dekorasi dan diambil visualnya saja, tapi diharapkan bisa menjadi core component di produk itu, karena narasinya juga penting," kata Hilmar.
"Potensi, saya PD (percaya diri) banget Indonesia punya kekayaan intelektual yang besar, dan kita baru mengelola sedikit darinya, dan kalau dikerjain dengan sungguh-sungguh, pasti berpengaruh sangat besar," imbuhnya.
Pada akhirnya, kita semua pun sepakat, bahwa untuk mempertahankan eksistensi sesuatu memerlukan tangan-tangan yang mau menopang, dan suara-suara yang mau menggugah kesadaran orang lain. Tak terkecuali batik, yang merupakan sebuah identitas bangsa, dengan jutaan keindahan dan makna di dalamnya.
Yuk, intip lemari baju Anda, ambil batik yang sekiranya mungkin jarang dikenakan, untuk kemudian diambil, dan mulai mengulik lebih dalam mengenai motif, dan cerita di baliknya. Karena langkah kecil, bisa memberikan dampak besar di masa depan nanti.
Beralih media digital saat ini pun, kiranya bukan menjadi penghalang untuk terus mengenalkan batik kepada khalayak. Dengan akses tanpa batas, dengan kreativitas yang dimiliki oleh anak-anak bangsa, agaknya menambah optimisme dan semangat untuk terus memperjuangkan batik di negeri sendiri maupun secara global.
Selamat Hari Batik Nasional.
Berkawan dengan teknologi mungkin bukan hal yang terdengar sulit, namun perlu adaptasi, tak terkecuali para perajin batik.
Ketua Asosiasi Pengusaha dan Perajin Batik Indonesia, Dr. H. Komarudin Kudiya, dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (1/10), menyebutkan bahwa pandemi telah memaksa banyak pihak termasuk para pengusaha dan perajin batik untuk beralih ke komunikasi digital.
"Kami terus menjalin komunikasi, bahkan kerja sama dan membuat webinar setiap minggu tentang batik dan donasi untuk pengrajin batik lokal," kata Komarudin.
Sebagai informasi, pada bulan April, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan terjadi pengurangan 2,1 juta pekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Komarudin pun menyebut, saat ini terdapat banyak pengrajin batik rumahan (dengan modal di bawah 200 juta) di Cirebon, Jawa Barat, hingga Pekalongan, Jawa Tengah, yang harus gulung tikar karena tidak adanya permintaan. Ini juga berlaku bagi pelaku industri bordir dan tenun, kata dia.
Ketua Galeri Batik YBI Periode 2010-2019 dan aktivis Yayasan Batik Indonesia, Dr. Tumbu Ramelan, menyebutkan bahwa memang, yang paling terdampak adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), atau industri akar rumput.
"Sejauh ini, pengusaha batik telah melaporkan bahwa penjualan mereka menurun drastis hingga sekitar 30 persen," kata Tumbu.
Ia berpendapat, dengan mencoba mengenalkan teknologi ke para pelaku bisnis batik, diharapkan bisa menggugah keterlibatan mereka untuk eksistensi batik, dan membantu industrinya, yang meliputi 200 ribu pembuat batik di seluruh Nusantara.
Memberikan pelatihan, hingga berjualan batik melalui platform daring pun kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah nilai dan filosofi dari secarik kain tradisional Indonesia ini dapat terjaga, seperti layaknya membeli dan belajar langsung dari para perajinnya di daerah.
Tumbu mengatakan, setiap corak batik punya pesan dan ada nilai-nilai universal yang bisa dipetik, terlepas dari media beli maupun pelatihannya saja yang beralih ke media digital.
Toh, kalau dipikir-pikir lagi, ketika batik telah sampai di tangan, pasti akan tumbuh rasa ingin tahu dan cinta akan kain tradisional yang telah diakui UNESCO itu.
"Kita semua tahu bahwa batik memiliki filosofi dan nilai. Dan yang dihargai UNESCO adalah what's behind the batik? Batik, yang pengerjaannya dilakukan turun-temurun, dan lainnya. Batik is intengible," kata Tumbu menambahkan.
Menumbuhkan cinta
Timbul rasa bangga ketika UNESCO dan dunia telah mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya. Namun, tentu hal tersebut perlu didukung dengan keterlibatan masyarakat dan pemerintah, dan pandemi bukanlah alasan untuk berhenti menggaungkan kemegahan estetika dan nilai batik.
cara termudah bagi generasi saat ini untuk melestarikan batik adalah dengan mengenakan dan bangga ketika memakainya.
"Memulai kecintaan kepada batik, caranya sederhana sekali. Pakailah batik. Dengan memakai batik, secara tak langsung sudah berkenalan dengan batik. Dan tentu harus bangga ketika mengenakannya," kata Tumbu.
Menurut dia, batik merupakan kain tradisional yang bisa dikenakan di banyak kejadian penting di kehidupan. Mulai dari kelahiran, menikah, hingga akhir hayat. Batik memiliki banyak nilai dan filosofi menarik yang bisa digali, dan tetap relevan meski berganti zaman.
Saat ini, para desainer mode dan pengrajin batik pun telah mencoba untuk menyederhanakan dan menyesuaikan dengan selera anak muda, agar penggunaannya bisa lebih universal.
"Kami saat ini menciptakan model yang sederhana, dan kami bekerja sama dengan desainer untuk menarik anak-anak muda," kata Tumbu.
"Jika batik kesannya dulu identik warnanya gelap, sekarang kami menciptakan batik dengan warna pastel dengan motif yang lebih sederhana, dan diharapkan bisa sesuai dengan selera anak muda," ujarnya melanjutkan.
Tumbu pun mengatakan, pihaknya dan komunitas batik lainnya juga giat untuk terlibat mempromosikan batik ke sekolah hingga kampus. Dalam kegiatannya, pihaknya memberikan contoh mengenakan batik dengan simpel tanpa perlu khawatir nilai-nilai di dalamnya akan hilang.
"Kita memberi contoh memakai batik yang lebih sederhana, memperlonggar dan lebih santai dalam keseharian," kata dia.
Namun, tentu saja, melestarikan batik pun membutuhkan perjuangan yang berkelanjutan, dan melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah hingga masyarakat.
"Kita membutuhkan keterlibatan pemerintah juga. Masyarakat bergerak, pengrajin bergerak. Batik adalah seni, yang dikerjakan oleh artisan dan tentu harusnya mendapatkan tempat spesial. Ada kesinambungan dari seluruh ekosistem di dalamnya," ujar Tumbu.
Optimisme pemerintah
Di sisi lain, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Dr. Hilmar Farid Setiadi, optimistis bahwa eksistensi batik dan industrinya akan semakin tumbuh dan dikenal luas, baik secara domestik maupun internasional.
Menurut Hilmar, pertumbuhan industri rumah tangga hingga yang besar di sektor batik ia nilai membaik, seiring dengan peluang pasar di Indonesia yang luas. Ia pun menyebut, batik juga sudah mulai dikenal dan banyak digunakan di pasar global.
"Pertumbuhan batik luar biasa. Industri rumah tangga sampai yang besar pun tumbuh. Market juga masih luas banget. Teman-teman di UNESCO, mereka kebanyakan punya batik, dan bisa dibilang sudah merupakan pakaian yang mendunia," kata Hilmar.
"Kita selangkah lagi untuk menjelaskan ke mereka kalau setiap corak batik punya message dan ada nilai-nilai universal yang bisa dipetik," ujarnya menambahkan.
Menurut Hilmar, tantangan paling besar dalam membuat batik dan dikenal lebih dalam, adalah membuat setiap corak dengan teknik spesifik tertentu, sehingga narasi dan filosofinya muncul dan menjadikan kain tradisional Indonesia ini kian bermakna.
Ketika disinggung mengenai inovasi dan kreativitas, ia mengatakan, saat ini sudah banyak batik yang diperkenalkan melalui produk dan media lain. Contohnya antara lain perlengkapan interior rumah, hingga produk fesyen seperti tas.
Selain itu, ia berpendapat bahwa industri batik tidak bisa berjalan sendiri, namun membutuhkan kerja sama antara banyak pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, hingga pelaku di industri kreatif.
"Batik bisa diperkenalkan lebih luas lagi melalui industri kreatif seperti audiovisual, game, dan lainnya. Jangan cuma jadi dekorasi dan diambil visualnya saja, tapi diharapkan bisa menjadi core component di produk itu, karena narasinya juga penting," kata Hilmar.
"Potensi, saya PD (percaya diri) banget Indonesia punya kekayaan intelektual yang besar, dan kita baru mengelola sedikit darinya, dan kalau dikerjain dengan sungguh-sungguh, pasti berpengaruh sangat besar," imbuhnya.
Pada akhirnya, kita semua pun sepakat, bahwa untuk mempertahankan eksistensi sesuatu memerlukan tangan-tangan yang mau menopang, dan suara-suara yang mau menggugah kesadaran orang lain. Tak terkecuali batik, yang merupakan sebuah identitas bangsa, dengan jutaan keindahan dan makna di dalamnya.
Yuk, intip lemari baju Anda, ambil batik yang sekiranya mungkin jarang dikenakan, untuk kemudian diambil, dan mulai mengulik lebih dalam mengenai motif, dan cerita di baliknya. Karena langkah kecil, bisa memberikan dampak besar di masa depan nanti.
Beralih media digital saat ini pun, kiranya bukan menjadi penghalang untuk terus mengenalkan batik kepada khalayak. Dengan akses tanpa batas, dengan kreativitas yang dimiliki oleh anak-anak bangsa, agaknya menambah optimisme dan semangat untuk terus memperjuangkan batik di negeri sendiri maupun secara global.
Selamat Hari Batik Nasional.