Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad minta pemerintah dapat adil dalam memilih target penerima insentif Rp2,4 juta per orang bagi pekerja dengan upah di bawah Rp5 juta per bulan.
Tauhid mengatakan hal itu harus dilakukan karena insentif Rp2,4 juta hanya diberikan kepada 13 juta orang, sedangkan pekerja di sektor formal ada sekitar 52,2 juta orang.
“Gagasan ini menarik tapi akan menjadi masalah termasuk pertanggungjawabannya di kemudian hari. Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan. Kenapa tidak semuanya karena pekerja formal 50 juta orang,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Tauhid menuturkan sangat tidak adil jika pemerintah menetapkan target penerima insentif berdasarkan basis data kepemilikan BPJS Ketenagakerjaan sebab semua pekerja berarti memiliki hak untuk mendapat Rp2,4 juta.
“Bagaimana memilih 13 juta? Ada ketidakadilan kalau diberikan dan kenapa hanya dari BPJS Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar. Semua punya hak kalau itu untuk pekerja,” ujarnya.
“Itu bukan orang miskin dan tidak akan mendorong konsumsi kalau diberi bantuan karena mereka akan menyimpan uang itu untuk berjaga-jaga dan menahan konsumsi,” tegasnya.
Ia melanjutkan, pengeluaran yang akan dilakukan oleh mereka pada umumnya bukan untuk makanan melainkan pendidikan, kesehatan, liburan seperti hotel dan restoran yang dalam masa pandemi COVID-19 masih terbatas.
Tak hanya itu, Tauhid menyatakan pemberian cash transfer sebesar Rp2,4 juta kepada karyawan dengan upah di bawah Rp5 juta juga akan menimbulkan masalah terkait kesenjangan sosial.
Hal itu berpotensi terjadi karena masih banyak masyarakat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja sektor informal, maupun buruh kasar yang belum mendapatkan bantuan.
“Ini perlu dikritisi sebelum diluncurkan karena besarannya Rp31,2 triliun itu luar biasa kalau dibagikan ke kelompok terbawah desil satu. Itu akan sangat berarti,” tegasnya.
Tauhid mengatakan hal itu harus dilakukan karena insentif Rp2,4 juta hanya diberikan kepada 13 juta orang, sedangkan pekerja di sektor formal ada sekitar 52,2 juta orang.
“Gagasan ini menarik tapi akan menjadi masalah termasuk pertanggungjawabannya di kemudian hari. Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan. Kenapa tidak semuanya karena pekerja formal 50 juta orang,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Tauhid menuturkan sangat tidak adil jika pemerintah menetapkan target penerima insentif berdasarkan basis data kepemilikan BPJS Ketenagakerjaan sebab semua pekerja berarti memiliki hak untuk mendapat Rp2,4 juta.
“Bagaimana memilih 13 juta? Ada ketidakadilan kalau diberikan dan kenapa hanya dari BPJS Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar. Semua punya hak kalau itu untuk pekerja,” ujarnya.
Bukan masyarakat miskin, melainkan kelas menengah
Menurutnya, pekerja dengan penghasilan di bawah Rp5 juta tidak tergolong masyarakat miskin, melainkan kelas menengah yang cenderung sedang menekan konsumsi di masa krisis pandemi.“Itu bukan orang miskin dan tidak akan mendorong konsumsi kalau diberi bantuan karena mereka akan menyimpan uang itu untuk berjaga-jaga dan menahan konsumsi,” tegasnya.
Ia melanjutkan, pengeluaran yang akan dilakukan oleh mereka pada umumnya bukan untuk makanan melainkan pendidikan, kesehatan, liburan seperti hotel dan restoran yang dalam masa pandemi COVID-19 masih terbatas.
Insentif jadi saving
“Ini jadi catatan. Kalau diberikan ke kelompok Rp2,5 juta sampai Rp5 juta maka uang akan jadi saving saja dan jauh mendorong ekonomi untuk tumbuh,” ujarnya.Tak hanya itu, Tauhid menyatakan pemberian cash transfer sebesar Rp2,4 juta kepada karyawan dengan upah di bawah Rp5 juta juga akan menimbulkan masalah terkait kesenjangan sosial.
Hal itu berpotensi terjadi karena masih banyak masyarakat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerja sektor informal, maupun buruh kasar yang belum mendapatkan bantuan.
“Ini perlu dikritisi sebelum diluncurkan karena besarannya Rp31,2 triliun itu luar biasa kalau dibagikan ke kelompok terbawah desil satu. Itu akan sangat berarti,” tegasnya.