Jakarta (ANTARA) - Wabah COVID-19 yang melanda negara-negara di dunia saat ini memunculkan fenomena global yang menempatkan tenaga medis dalam posisi sebagai pembela hak asasi manusia (HAM), menurut Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI Achsanul Habib.
"Satu hal yang muncul di tengah pandemi ini adalah menguatnya keyakinan pada fenomena para pembela HAM, yakni kelompok tenaga medis, pekerja garda depan yang membantu menjaga publik dari ancaman kesehatan," kata Achsanul dalam webinar yang digelar oleh Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu RI, Rabu.
Dengan begitu, dia menambahkan bahwa status pembela HAM itu juga berlaku bagi siapa pun termasuk setiap orang yang memperjuangkan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
OHCHR, Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Urusan HAM, mendefinisikan pembela HAM sebagai semua orang, baik secara individual ataupun dalam kaitannya dengan orang lain, yang mempromosikan atau melindungi HAM secara damai.
Di samping itu, pandemi yang disebut "belum pernah terjadi sebelumnya" ini juga secara umum menciptakan tantangan pada sejumlah aspek HAM, antara lain hak-hak ekonomi-sosial, berdasarkan referensi dari sejumlah badan di bawah naungan PBB.
"Yakni orang-orang menjadi miskin, pengangguran. Sebagai contoh, ada 500 juta orang baru yang jatuh di bawah garis kemiskinan sejak adanya pandemi ini," ujar Achsanul.
Kemudian juga pada hak untuk mengakses layanan kesehatan, hak berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, hak bergerak, hak-hak kelompok rentan, "ditambah dengan maraknya berita palsu atau hoaks yang beredar."
Bagaimanapun, ketika ancaman kesehatan menjadi prioritas utama dalam masa pandemi serta pemenuhan hak kesehatan dengan standar tinggi wajib dilakukan, negara juga harus menjamin penghormatan terhadap HAM agar tercapai titik keseimbangan, ujar Achsanul memungkasi.
"Satu hal yang muncul di tengah pandemi ini adalah menguatnya keyakinan pada fenomena para pembela HAM, yakni kelompok tenaga medis, pekerja garda depan yang membantu menjaga publik dari ancaman kesehatan," kata Achsanul dalam webinar yang digelar oleh Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu RI, Rabu.
Dengan begitu, dia menambahkan bahwa status pembela HAM itu juga berlaku bagi siapa pun termasuk setiap orang yang memperjuangkan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
OHCHR, Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Urusan HAM, mendefinisikan pembela HAM sebagai semua orang, baik secara individual ataupun dalam kaitannya dengan orang lain, yang mempromosikan atau melindungi HAM secara damai.
Di samping itu, pandemi yang disebut "belum pernah terjadi sebelumnya" ini juga secara umum menciptakan tantangan pada sejumlah aspek HAM, antara lain hak-hak ekonomi-sosial, berdasarkan referensi dari sejumlah badan di bawah naungan PBB.
"Yakni orang-orang menjadi miskin, pengangguran. Sebagai contoh, ada 500 juta orang baru yang jatuh di bawah garis kemiskinan sejak adanya pandemi ini," ujar Achsanul.
Kemudian juga pada hak untuk mengakses layanan kesehatan, hak berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, hak bergerak, hak-hak kelompok rentan, "ditambah dengan maraknya berita palsu atau hoaks yang beredar."
Bagaimanapun, ketika ancaman kesehatan menjadi prioritas utama dalam masa pandemi serta pemenuhan hak kesehatan dengan standar tinggi wajib dilakukan, negara juga harus menjamin penghormatan terhadap HAM agar tercapai titik keseimbangan, ujar Achsanul memungkasi.