Den Haag, Belanda (ANTARA) - Bencana banjir tahun 1953 yang menelan banyak korban jiwa dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di Belanda menjadi pengalaman pahit yang mengisi memori kolektif banyak orang dari lintas generasi di negara itu.

Bak pesan pepatah "pengalaman adalah guru terbaik", banjir yang dipicu oleh badai Laut Utara pada 31 Januari malam dan 1 Februari pagi 67 tahun silam itu meneguhkan tekad pemerintah dan rakyat Belanda untuk tidak lagi mengalami hal serupa.

Di antara orang yang mengingat baik bencana banjir yang melanda sebagian besar wilayah Holland Selatan, Zeeland, dan Brabant Utara pada 1953 itu adalah Jeroen Kramer, juru bicara Het Kering Huis.

"Kami belajar dari kesalahan kami," kata Kramer kepada delapan jurnalis Indonesia yang pada Ahad sore (16/2) berkesempatan melihat dari dekat Maeslantkering, infrastruktur raksasa penghambat badai Laut Utara yang selesai dibangun pada 1997.

Bagi bangsa Belanda, air merupakan "DNA" mereka, dan kehadiran sarana penghambat badai Laut Utara Maeslant ini membuat lebih dari dua juta jiwa penduduk Rotterdam dapat tidur nyenyak saat badai menerjang, katanya.

Menurut dia, setidaknya dalam 80 tahun mendatang, mega-proyek infrastruktur delta Maeslantkering ini masih dirasakan cukup untuk melindungi penduduk Rotterdam dan ekonomi kota pelabuhan penting yang berada di Holland Selatan itu.

Sejak kehadirannya, baru dua kali mega-infrastruktur Maeslantkering yang dibangun antara 1991 dan 1997 ini menutup guna menghambat luapan air laut akibat badai Laut Utara yang dahsyat, yakni pada 9 November 2007 dan awal 2018.

Belanda tak dapat menolak takdirnya sebagai bangsa yang mendiami wilayah berpermukaan rendah dan bahkan sebagian berada di bawah permukaan laut. Namun, kondisi alami yang demikian itu tak lantas membuat bangsa ini menyerah dengan nasib.



Sebaliknya, sejak berabad-abad lampau, mereka mengembangkan kemampuan teknologi air dan kebaharian mereka untuk mampu keluar dari pusaran bencana yang senantiasa mengancam di tengah luas daratan negeri itu yang demikian terbatas.

Di tengah ancaman alami yang bertambah dengan naiknya air muka laut akibat pemanasan global di banyak tempat di dunia, Belanda menjawab semua tantangan yang ada dengan membangun sejumlah infrastruktur delta guna mengantisipasi ancaman banjir.

Infrastruktur Maestlantkering yang dilengkapi dua lengan baja yang dapat bergerak secara otomatis sehingga pada saat terbuka menjadikannya alur keluar masuk kapal ini adalah jawaban Pemerintah Belanda untuk memastikan keselamatan rakyatnya. Jeroen Kramer, juru bicara Het Kering Huis, menjelaskan tentang upaya Belanda menghadapi ancaman banjir melalui pembangunan infrastruktur delta (16/2/2020). (ANTARA/Rahmad Nasution)
Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Ibu Kota Jakarta, misalnya, merupakan kota yang dikhawatirkan banyak pihak terancam "tenggelam" pada 2050.

Ancaman serius terhadap Jakarta itu demikian nyata. Pada awal 2020, misalnya, banjir besar kembali melanda sebagian wilayah Jakarta dan beberapa kota lain di sekitarnya.

Ancaman terhadap eksistensi Jakarta itu semakin nyata akibat belum terkendalinya penggunaan air tanah di kota itu serta naiknya muka air laut akibat pemanasan global yang mengancam banyak kota di dunia. Jakarta bukan tidak memiliki jawaban.

Tatkala masih menjadi gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang kini Presiden RI untuk periode kedua telah pernah meminta pemerintah pusat agar mempercepat pelaksanaan rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau "giant sea wall".

"Kami minta percepat dan mulai tahun 2014," kata Jokowi pada 6 Maret 2013. Argumentasi Jokowi saat itu adalah kalkulasi bisnis pengerjaan tanggul laut raksasa yang semula direncanakan dimulai pada 2020 menjadi 2014 itu sudah selesai.

"Banyak yang tunjuk tangan mau bangun." Pembangunan tanggul laut raksasa di utara Jakarta tersebut semula ditargetkan bisa menambah ruang untuk membangun perumahan dan lahan usaha bagi nelayan.

"Jadinya, Jakarta tambahan 4.000 hektare lagi. Bisa digunakan untuk perumahan dan nelayan," katanya.

Rencana pembangunan tanggul laut raksasa yang diperkirakan memerlukan dana hingga ratusan triliun rupiah tersebut sudah disuarakan sejak DKI Jakarta dipimpin Gubernur Fauzi Bowo.

Hingga memasuki bulan kedua 2020, belum tampak tanda-tanda rencana pembangunan tanggul laut raksasa untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman menjadi kota bawah laut pada 2050 itu dimulai.

Alih-alih dimulai, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, menurut laporan media nasional, meminta pemerintah pusat untuk meninjau ulang rencana proyek pembangunan tanggul laut raksasa tersebut karena banyak studi yang mempertanyakan fungsinya.
Terlepas dari apakah tanggul laut raksasa yang sudah dirasakan tepat atau model lain yang dirasakan lebih pas untuk melindungi penduduk dan denyut perekonomian Jakarta, pemerintah pusat dan Pemprov DKI harus menghadirkan solusi nyata.

Apa yang telah dilakukan Belanda dengan membangun berbagai proyek infrastruktur pengendalian banjir untuk memastikan keselamatan rakyat beserta kota-kota dan desa-desanya dari bencana serupa tahun 1953 layak dicontoh.

Bahkan, cara Belanda melindungi keselamatan lebih dari 17.2 juta jiwa rakyatnya dari ancaman banjir melalui pembangunan 15 infrastruktur delta (Deltawerken) dalam rentang waktu antara 1958 dan 1997 telah  menginspirasi sejumlah negara.

Di antara negara-negara yang terinspirasi oleh model sarana pengendalian banjir ala Belanda itu adalah Amerika Serikat pasca-bencana banjir Badai Katrina pada Agustus 2005 yang menewaskan sedikitnya 1.200 orang serta Rusia. Bagaimana dengan nasib Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia?
 

Pewarta : Rahmad Nasution
Editor : Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024