Jakarta (ANTARA) - Akhirnya Lembaga antirasuah alias Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki sejarah baru mulai Jumat, 20 Desember 2019, dengan munculnya pimpinan barunya yang "diawasi" Dewan Pengawas.
Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara telah melantik lima pimpinan baru KPK yang selama masa jabatan 4 tahun mendatang bakal didampingi Dewan Pengawas.
Ketua KPK baru itu adalah Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri yang antara lain didampingi Wakil Ketua Alexander Marwata yang sebelumnya menduduki jabatan yang sama pada periode 2014—2019.
Sementara itu, Dewan Pengawas yang juga berjumlah lima orang diketuai oleh Tumpak Panggabean serta didampingi Artidjo Alkostar yang merupakan mantan hakim agung di Mahkamah Agung yang ditakuti para koruptor karena justru menambah hukuman mereka saat mengajukan kasasiya.
Kepala Negara menegaskan bahwa para anggota Dewan Pengawas itu berasal dari berbagai kalangan mulai dari ahli hukum, jaksa, hakim, hingga polisi.
Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang layak dipercaya. Dewan Pengawas ini untuk pertama kalinya tidak dipilih oleh panitia seleksi, tetapi langsung ditunjuk oleh Kepala Negara setelah menerima usul dan pertimbangan dari berbagai kelompok masyarakat.
Para pimpinan KPK beserta pengawasnya selama beberapa bulan terakhir ini menjadi sorotan alias pusat perhatian, terutama para ahli hukum, politisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.
Kenapa itu sampai terjadi? Salah satu penyebabnya adalah karena sang komjen ketika dahulu bertugas juga di KPK pernah diduga telah bertemu dengan orang-orang yang diduga melakukan tindak kejahatan di bidang ekonomi.
Firli mengeluarkan bantahan, antara lain, dengan menyatakan bahwa pertemuan itu tidak dirancang. Akibatnya, para anggota DPR.RI menyetujui pencalonan Firli yang pernah sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.
Yang lebih menimbulkan sikap pro dan kontra adalah tentang perlu tidaknya pembentukan sebuah badan pengawas. Yang mendukung berdirinya Dewan Pengawas, antara lain mengajukan dalih bahwa di berbagai instansi pemerintah, misalnya Polri, telah ada wadah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Di lingkungan Kejaksaan Agung juga sudah ada lembaga sejenis.
Sebaliknya, kelompok-kelompok yang menentang pembentukan Dewan Pengawas mengajukan argumentasi bahwa KPK yang langsung bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala Negara tidak perlu diawasi, apalagi KPK masih dianggap sebagai sebuah lembaga yang tidak akan berdiri untuk selamanya alias cuma ad hoc.
Dikhawatirkan bahwa jika rencana penyadapan sudah diketahui terlebih dahulu oleh calon tersangka korupsi, yang bersangkutan akan bisa mengambil langkah-langkah menghentikan ulahnya.
Kelompok ini juga menentang gagasan penyadapan yang biasa dilakukan para penyidik KPK. Maka, kini harus terlebih dahulu disetujui atau disahkan oleh Dewan Pengawas karena bisa memakan waktu serta bocor.
Akan tetapi, akhirnya Presiden Joko Widodo, setelah menerima masukan dari berbagai kelompok masyarakat, tetap mendirikan Dewan Pengawas KPK. Pemerintah kini tinggal menunggu apakah hak uji materi alias judicial review akan tetap berlanjut atau tidak di Mahkamah Konsitusi.
Kalaupun jadi ada judicial review, tentu sudah harus diperhitungkan berbagai konsekuensi logisnya, termasuk misalnya sekali lagi pembatalan pembentukan Dewan Pengawas.
Tetap Dirindukan
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo belum lama berselang mengungkapkan bahwa selama 4 tahun terakhir ini sebanyak 608 kasus yang ditangani para penyidik dan pimpinan KPK dengan perkiraan kerugian negara puluhan triliunan rupiah.
Rakyat Indonesia pasti sudah mendengar berbagai kasus besar yang ditangani KPK. Contoh nyatanya adalah pembuatan KPT elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Selanjutnya, yang muncul selama beberapa hari terakhir ini adalah kasus gagal bayar di PT (Persero) Jiwasraya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini hanya sanggup mengembalikan kewajiban keuangannya sekitar Rp2 triliun, padahal kewajibannya tidak kurang dari Rp10,2 triliun.
Pertanyaan yang timbul di antara masyarakat adalah apakah selama ini telah terjadi korupsi ataukah tidak di PT Jiwasraya ini? Kalau tidak ada korupsi satu rupiah pun masa sebuah BUMN di bidang asuransi ini tidak mampu melaksanakan pembayaran polis kepada pesertanya.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang bisa dibilang merajalela di berbagai provinsi hingga kabupaten/kota. Sebut saja kasus yang melanda Zumi Zola, mantan Gubernur Jambi.
Selain itu, juga dI Aceh hingga Sumatera Utara serta berbagai kota dan kabupaten lainnya, seperti Bekasi hingga Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ulah "berkorupsi ria" juga menghinggapi DPRD Malang.
Oleh karena itu, sekali pun ada beberapa “makhluk” di Senayan, Jakarta yang dicurigai banyak sekali warga negara Indonesia yang ingin sekali melemahkan atau mengucilkan atau malahan "membunuh" KPK, rakyat tentu sangat berharap agar KPK selama 4 tahun mendatang tetap gagah perkasa untuk mengganyang korupsi siapa pun pelakunya dan berapa pun jumlahnya.
Nilai APBN 2020 saja sudah lebih dari Rp2.000 triliun. Sementara APBD Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta saja sudah melampaui Rp87 triliun. Jadi, bisa dibayangkan bahwa karena nilai APBN dan 34 provinsi saja terus bertambah maka bisa timbul selera untuk terus "berkorupsi ria".
Kasus di Jakarta, misalnya, memperlihatkan masih ada upaya nekat untuk “mencuri” uang negara dengan 1.001 macam dalih, misalnya pembelian lem perekat puluhan miliar rupiah ataupun pembelian alat tulis kantor (ATK) yang juga miliaran rupiah.
Oleh karena itu, rakyat tetap berharap supaya KPK ditambah dewan pengawasnya untuk tidak berhenti mengejar para tersangka korupsi, lalu menyeretnya ke meja hijau.
Firli dan Alexander Marwata serta tiga mitra kerjanya harus bekerja keras untuk membasmi tindak pidana korupsi walaupun mungkin tidak bisa menghapusnya hingga angka nol persen.
Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas harus tetap sadar bahwa jutaan orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga harus meminta-minta di pinggir jalan, mengorek-ngorek tempat sampah agar bisa menghasilkan uang demi istri/suami dan anak-anak mereka.
Tegasnya, jangan lupakan sama sekali harapan serta tuntutan rakyat. *
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982—2018, pernah meliput acara kepresidenan pada tahun 1987—2009.
Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara telah melantik lima pimpinan baru KPK yang selama masa jabatan 4 tahun mendatang bakal didampingi Dewan Pengawas.
Ketua KPK baru itu adalah Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri yang antara lain didampingi Wakil Ketua Alexander Marwata yang sebelumnya menduduki jabatan yang sama pada periode 2014—2019.
Sementara itu, Dewan Pengawas yang juga berjumlah lima orang diketuai oleh Tumpak Panggabean serta didampingi Artidjo Alkostar yang merupakan mantan hakim agung di Mahkamah Agung yang ditakuti para koruptor karena justru menambah hukuman mereka saat mengajukan kasasiya.
Kepala Negara menegaskan bahwa para anggota Dewan Pengawas itu berasal dari berbagai kalangan mulai dari ahli hukum, jaksa, hakim, hingga polisi.
Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang yang layak dipercaya. Dewan Pengawas ini untuk pertama kalinya tidak dipilih oleh panitia seleksi, tetapi langsung ditunjuk oleh Kepala Negara setelah menerima usul dan pertimbangan dari berbagai kelompok masyarakat.
Para pimpinan KPK beserta pengawasnya selama beberapa bulan terakhir ini menjadi sorotan alias pusat perhatian, terutama para ahli hukum, politisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.
Kenapa itu sampai terjadi? Salah satu penyebabnya adalah karena sang komjen ketika dahulu bertugas juga di KPK pernah diduga telah bertemu dengan orang-orang yang diduga melakukan tindak kejahatan di bidang ekonomi.
Firli mengeluarkan bantahan, antara lain, dengan menyatakan bahwa pertemuan itu tidak dirancang. Akibatnya, para anggota DPR.RI menyetujui pencalonan Firli yang pernah sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.
Yang lebih menimbulkan sikap pro dan kontra adalah tentang perlu tidaknya pembentukan sebuah badan pengawas. Yang mendukung berdirinya Dewan Pengawas, antara lain mengajukan dalih bahwa di berbagai instansi pemerintah, misalnya Polri, telah ada wadah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Di lingkungan Kejaksaan Agung juga sudah ada lembaga sejenis.
Sebaliknya, kelompok-kelompok yang menentang pembentukan Dewan Pengawas mengajukan argumentasi bahwa KPK yang langsung bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala Negara tidak perlu diawasi, apalagi KPK masih dianggap sebagai sebuah lembaga yang tidak akan berdiri untuk selamanya alias cuma ad hoc.
Dikhawatirkan bahwa jika rencana penyadapan sudah diketahui terlebih dahulu oleh calon tersangka korupsi, yang bersangkutan akan bisa mengambil langkah-langkah menghentikan ulahnya.
Kelompok ini juga menentang gagasan penyadapan yang biasa dilakukan para penyidik KPK. Maka, kini harus terlebih dahulu disetujui atau disahkan oleh Dewan Pengawas karena bisa memakan waktu serta bocor.
Akan tetapi, akhirnya Presiden Joko Widodo, setelah menerima masukan dari berbagai kelompok masyarakat, tetap mendirikan Dewan Pengawas KPK. Pemerintah kini tinggal menunggu apakah hak uji materi alias judicial review akan tetap berlanjut atau tidak di Mahkamah Konsitusi.
Kalaupun jadi ada judicial review, tentu sudah harus diperhitungkan berbagai konsekuensi logisnya, termasuk misalnya sekali lagi pembatalan pembentukan Dewan Pengawas.
Tetap Dirindukan
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo belum lama berselang mengungkapkan bahwa selama 4 tahun terakhir ini sebanyak 608 kasus yang ditangani para penyidik dan pimpinan KPK dengan perkiraan kerugian negara puluhan triliunan rupiah.
Rakyat Indonesia pasti sudah mendengar berbagai kasus besar yang ditangani KPK. Contoh nyatanya adalah pembuatan KPT elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Selanjutnya, yang muncul selama beberapa hari terakhir ini adalah kasus gagal bayar di PT (Persero) Jiwasraya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini hanya sanggup mengembalikan kewajiban keuangannya sekitar Rp2 triliun, padahal kewajibannya tidak kurang dari Rp10,2 triliun.
Pertanyaan yang timbul di antara masyarakat adalah apakah selama ini telah terjadi korupsi ataukah tidak di PT Jiwasraya ini? Kalau tidak ada korupsi satu rupiah pun masa sebuah BUMN di bidang asuransi ini tidak mampu melaksanakan pembayaran polis kepada pesertanya.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang bisa dibilang merajalela di berbagai provinsi hingga kabupaten/kota. Sebut saja kasus yang melanda Zumi Zola, mantan Gubernur Jambi.
Selain itu, juga dI Aceh hingga Sumatera Utara serta berbagai kota dan kabupaten lainnya, seperti Bekasi hingga Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ulah "berkorupsi ria" juga menghinggapi DPRD Malang.
Oleh karena itu, sekali pun ada beberapa “makhluk” di Senayan, Jakarta yang dicurigai banyak sekali warga negara Indonesia yang ingin sekali melemahkan atau mengucilkan atau malahan "membunuh" KPK, rakyat tentu sangat berharap agar KPK selama 4 tahun mendatang tetap gagah perkasa untuk mengganyang korupsi siapa pun pelakunya dan berapa pun jumlahnya.
Nilai APBN 2020 saja sudah lebih dari Rp2.000 triliun. Sementara APBD Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta saja sudah melampaui Rp87 triliun. Jadi, bisa dibayangkan bahwa karena nilai APBN dan 34 provinsi saja terus bertambah maka bisa timbul selera untuk terus "berkorupsi ria".
Kasus di Jakarta, misalnya, memperlihatkan masih ada upaya nekat untuk “mencuri” uang negara dengan 1.001 macam dalih, misalnya pembelian lem perekat puluhan miliar rupiah ataupun pembelian alat tulis kantor (ATK) yang juga miliaran rupiah.
Oleh karena itu, rakyat tetap berharap supaya KPK ditambah dewan pengawasnya untuk tidak berhenti mengejar para tersangka korupsi, lalu menyeretnya ke meja hijau.
Firli dan Alexander Marwata serta tiga mitra kerjanya harus bekerja keras untuk membasmi tindak pidana korupsi walaupun mungkin tidak bisa menghapusnya hingga angka nol persen.
Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas harus tetap sadar bahwa jutaan orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga harus meminta-minta di pinggir jalan, mengorek-ngorek tempat sampah agar bisa menghasilkan uang demi istri/suami dan anak-anak mereka.
Tegasnya, jangan lupakan sama sekali harapan serta tuntutan rakyat. *
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982—2018, pernah meliput acara kepresidenan pada tahun 1987—2009.